PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI
LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh
: Aditia Syaprillah
Pendahuluan
Sejak
jatuhnya rezim otoriter atau rezim orde baru tahun 1998, yang sebagian besar
pelaku sejarahnya adalah mahasiswa, banyak perubahan yang terjadi pasca orde
baru runtuh, atau di kenal dengan era reformasi. Salah satu perubahan di era
reformasi ini ialah sistem pemerintahan itu tidak terpusat lagi atau
sentralistik, dengan di amandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebelum
adanya perubahan konstitusi di Indonesia semua urusan pemerintahan
sentralistik, setelah perubahan konstitusi urusan pemerintahan menjadi
desentralisasi. Dengan lahirnya otonomi daerah semua urusan pemerintahan tidak
lagi menjadi urusan pemerintah pusat. Salah satu yang menjadi urusan pemerintah
daerah Provinsi dan Kabupaten / Kota ialah urusan tentang pengendalian
lingkungan hidup dan daerah berkewajiban dalam menyelenggarakan otonomi daerah
salah satunya ialah menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Dengan
diberikannya kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk
menjaga, melestarikan dan pengendalingan lingkungan hidup. Secara otomatis diikuti
dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Provinsi dan Kabupaten
/ Kota.
Menurut data dari
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang
yang di tinggalkan oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara
(Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar
yang ditinggalkan begitu saja. Dan Menurut
Kordinator JATAM di Samarinda, Di kecamatan samboja kabupaten Kutai Kertanegara
mempunyai 90 Izin Usaha Pertambangan, yang mana akan berpengaruh ke Kota
Balikpapan melalui daerah Aliran Sungai (DAS). Begitupun dengan Kecamatan Muara
Jawa Kabupaten Kutai Kertanegara yang sudah memiliki 78 Izin Usaha
Pertambangan. Data Jatam di 2011, terdapat 789 Izin Usaha Pertambangan dengan luas
3.911.206,21, belum termasuk PKP2B.[1]
Sementara di Samarinda
tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh
perusahaan tambang.Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269
ijin daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim. Kini, satu per
satu mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan
kesehatan karena pencemaran, penggusuran masyarakat adat dan budaya korupsi.
Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini dikapling Izin Tambang Batubara sehingga
membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, sawit dan HPH
Selain kasus diatas, di
kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan September lalu,
memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota Samarinda dengan
membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar limbah batu
bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab sawah dan
kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan tertimbun
lumpur kehitaman pada musim hujan. Tak hanya transmigran, masyarakat adat juga merasakan
pil pahit pertambangan.Itu dirasakan Kampung Putak, Desa Loa Duri Ilir, yang
sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini sekitar 80 persen lahan
pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini, sejak otonomi daerah,
sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah setempat. Dinas pertanian
dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang 2008-2009, 5.2 persen lahan
pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi menjadi tambang batubara.[2]
Dari data yang telah
pemakalah ungkapkan diatas, bahwa sejak di berlakukannya otonomi daerah,
fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah semakin hari
semakin kompleks. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintahan daerah belum
benar-benar komitmen dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di
wilayah daerahnya masing-masing. Lingkungan dan sumber daya alam dilihat
sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa di eksploitasi
untuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan ditandainya
begitu banyaknya izin kuasa tambang batu bara yang dikeluarkan oleh Pemerintah
daerah.
Sumber daya alam tak
lebih dari derivatif kebijakan ekonomi, sumber daya alam hanyalah bagian dari
komoditas ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Belum banyak yang melihat bahwa
sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas mendukung segala kegiatan
yang berlangsung di atasnya.[3]
Dan celakanya sumber daya alam disini yang dimaksud ialah sumber daya alam yang
tidak dapat di perbarui dalam waktu yang singkat.
Dalam penulisan makalah
ini, yang ingin dibahas ialah bagaimana efektifitas penegakan hukum
administrasi lingkungan pasca di berlakukannya otonomi daerah, dalam menjaga
kelestarian lingkungan hidup nasional dan khususnya di daerah.
Penegakan
Hukum Administrasi Lingkungan
Dalam Hukum
Administrasi, sarana penegakan hukum itu ada dua yaitu pengawasan dan penerapan
sanksi oleh organ pemerintahan.[4] J.B.J.M
ten Berge mengatakan bahwa penerapan sanksi ini merupakan inti dari penegakan
hukum administrasi,[5]
dan dianggap sangat penting untuk mencegah tindakan-tindakan ilegal.[6]
Menurut Phipus M. Hadjon, instrumen penegakan hukum administrasi meliputi
pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk
memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah preventif
untuk memaksakan kepatuhan.[7]
Penegakan hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum
yaitu bidang admininstratif, pidana, dan perdata. Penegakan hukum lingkungan
merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan
dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan
dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan dan keperdataan.[8]
Pada lazimnya aparatur
penegakan hukum lingkungan di katerogisasikan sebagai :
a.
Polisi
b.
Jaksa;
c.
Hakim;
d.
Pejabat/instansi yang berwenang member
izin;
e.
Penasehat hukum
Penegakan hukum adalah
kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan
kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum
ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum.
Masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai ikut menegakkan hukum, karena
membuang sampah di sungai adalah pelanggaran.[9]
Dapatlah dipahami sekarang bahwa untuk melakukan penegakan hukum di bidang
lingkungan hidup bukan hanya milik dari aparat penegak hukum saja tapi
melainkan seluruh mahkluk hidup yang ada di bumi ini.
Penegakan hukum
lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat
dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa
pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian
langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Instrument penegakan hukum preventif adalah
penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan
(pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian,
penegak hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah yang berwenang
memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum
yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.[10]
Pendapat Zairin
Harahap, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan menanggulangi perusakan dan atau pencemaran
lingkungan dengan menjatuhkan atau memberikan sanksi (hukuman) kepada perusak
atau pencemar lingkungan yang dapat berupa sanksi pidana (penjara dan denda),
sanksi perdata (ganti kerugian dan atau tindakan tertentu), dan atau sanksi
administrasi (paksaan pemerintahan, uang paksa, dan pencabutan izin).[11]
Sedangkan penegakan
hukum lingkungan yang bersifat preventif ditujukan
untuk mencegah terjadinya perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan
perusakan atau pencemaran lingkungan. Dewasa ini, penegakan hukum lingkungan
yang bersifat preventif ini adalah AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan)
dan perizinan. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan setelah adanya
perbuatan atau tindakan yang mengakibatkan terjadinya perusakan atau pencemaran
lingkungan. Sedangkan penegakan hukum preventif
lebih bersifat mencegah agar perbuatan atau tindakan itu tidak menimbulkan
perusakan atau pencemaran lingkungan. Jadi dilakukan sebelum terjadinya
perusakan atau pencemaran lingkungan.[12]
Tujuan akhir dari
penegakan hukum lingkungan adalah ketaatan terhadap ketentuan hukum lingkungan
yang berlaku. Ketaatan disini adalah suatu kondisi tercapainya dan
terpilaharanya ketentuan hukum lingkungan, baik yang berlaku secara umum maupun
ketentuan yang ditetapkan dalam izin.[13]
Otonomi
Daerah
Istilah otonomi berasal
dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autus yang berarti sendiri dan nomos
yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-undang sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya,
konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membeuat perda-perda), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah sendiri). C.W.
Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).[14]
Berdasarkan catatan
kritis perjalanan otonomi daerah, khususnya selama pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, maka MPR melalui Ketetapan MPR No. XV / MPR / 1998
mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan
otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan
yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Disamping itu, keleluasaaan otonomi mencakup pula kewenangan yang
utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari pelaksanaan sampai dengan
evaluasi.[15]
Adapun yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada, diperlukan,
tumbuh dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antara Daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.[16]
Menurut Ni’matul Huda,
otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang,
tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan
memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan
ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah. Pasal 1 Angka (5)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah, ialah Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Di kalangan para
sarjana, istilah yang diberikan terhadap pembagian urusan antara Pusat dan
Daerah dalam konteks otonomi ternyata tidak sama. R. Tresna menyebut dengan
istilah “kewenangan mengatur rumah tangga”.[17]
Bagir Manan menyebut dengan istilah “sistem rumah tangga daerah”.[18]
Josef Riwu Kaho memberi istilah “sistem”.[19]
Moh. Mahfud MD., memakai istilah “asas otonomi”.[20]
Meskipun istilah yang dipergunakan berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada
pengertian yang sama bahwa ajaran-ajaran (formal, material, dan riil)
menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan
berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggungjawab untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.[21]
Menurut Bagir Manan,
dasar-dasar hubungan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka desentralisasi ada
empat macam :[22]
a.
Dasar-dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara :
UUD 1945 menghendaki kerakyatan
dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah, berarti UUD 1945 menghendaki
keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah,
keikutsertaan rakyat pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh
desentralisasi.
b.
Dasar pemeliharaan dan
pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli:
Pada tingkat Daerah, susunan
pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah sesuai dengan dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
c.
Dasar Kebhinekaan
“Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan
keragaman indonesia, otonomi, atau desentralisasi merupakan salah satu cara
untuk mengendorkan “Spanning” yang
ditimbul dari keragaman.
d.
Dasar Negara Hukum
Dalam perkembangannya, paham negara
hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan.
Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau
pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau
kedaulatan rakyat.
Sedangkan menurut
Ismail Suny, ada lima tingkatan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah :[23]
a.
Negara kesatuan dengan otonomi yang terbatas.
b.
Negara kesatuan dengan otonomi luas.
c.
Negara quasi
federal dengan provinsi atas “kebaikan” Pemerintah Pusat.
d.
Negara federasi dengan pemerintah federal, mislnya
Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Swiss
e.
Negara konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrem,
suatu negara dikatakan berbentuk konfederasi jika Pemerintah Pusat tergantung pada
goodwill negara-negara anggota
konfederasi atau negara-negara anggota commonwealth.
Dilihat dari
pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu menunjukan :[24]
a.
Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel
dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat;
b.
Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugs
dengan efektif dan lebih efisien;
c.
Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif; dan
d.
Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap
moral yang lebih, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Dalam bidang lingkungan
hidup, otonomi daerah berarti :[25]
a.
Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dengan ekosistem setempat;
b.
Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan
masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
lestari;
c.
Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan
batas ekologi (bioecoregion);
d.
Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat
dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati
daya dukung; dan
e.
Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk
setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Kewenangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kewenangan
pemerintah provinsi dan kabupaten / kota di bidang lingkungan telah secara
tegas di atur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan pemerintah
provinsi yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, meliputi :
1.
Menetapkan kebijakan nasional;
2.
Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
3.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
nasional
4.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
5.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan
UKL-UPL
6.
Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional
dan emisi gas rumah kaca;
7.
Mengembangkan standar kerja sama;
8.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan / atau kerusakan lingkungan hidup;
9.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber
daya alam hayati dan non hayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik,
dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
10. Menetapkan dan melaksanakan mengenai pengendalian dampak perubuhan iklim
dan perlindungan lapisan ozon;
11. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
12. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan
laut;
13. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan / atau
kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
14. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional,
peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
15. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan /
atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
16. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
17. Mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan
antardaerah serta penyelesaian sengketa;
18. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
19. Mengembangkan standar pelayanan minimal;
20. Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
21. Mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
22. Mengordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup
23. Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
24. Mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hdup;
25. Menerbitkan izin lingkungan;
26. Menetapkan wilayah ekoregion; dan
27. Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
Kewenangan pemerintah
provinsi yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, meliputi :
a.
Menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b.
Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
provinsi;
d.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan
UKL-UPL;
e.
Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f.
Mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan / atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten / kota;
h.
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah , dan peraturan kepala daerah kabupaten / kota;
i.
Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penggungjawab
dan / atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j.
Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k.
Mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antar kabupaten / kota serta penyelesaian sengketa;
l.
Melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan
kepada kabupaten / kota di bidang program dan kegiatan;
m. Melaksanakan standar pelayanan minimal;
n.
Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat
provinsi;
o.
Mengelola informasi lingkunga hidup tingkat provinsi;
p.
Mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramha lingkungan hidup;
q.
Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaaan dan
penghargaan;
r.
Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s.
Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
provinsi.
Kewenangan pemerintah
kabupaten / kota yang dirumuskan dalam Pasal 63 Ayat (3), meliputi :
a.
Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten / kota;
b.
Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten /
kota;
c.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
tingkat kabupaten / kota;
d.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan
UKL-UPL;
e.
Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca pada tingkat kabupaten / kota;
f.
Mengembangkan dan menerapkan kerja sama dan kemitraan;
g.
Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h.
Memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i.
Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaataan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
j.
Melaksanakan standar pelayanan minimal;
k.
Melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
kabupaten / kota;
l.
Mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten /
kota;
m. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup
tingkat kabupaten / kota;
n.
Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaanm dan
penghargaan;
o.
Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten / kota;
dan
p.
Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten / kota;
Kewenangan pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota yang dirumuskan secara
terinci sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UUPPLH pada
dasarnya tidak depat, semestinya rumusan normatif dalam tingkatan undang-undang
bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin dijangkau.
Lagi pula penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang tidak
perlu atau berlebihan dan tidak efisien, misalnya penyebutan kewenangan
penegakan hukum. Kalau pun kewenangan penegakan hukum itu tidak disebutkan
dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki kewenangan penegakan hukum
karena kewenangan itu sudah inheren dengan pemerintah sesuai dengan teori-teori
dalam ilmu negara atau ilmu politik, bahwa kewenangan penegakan itu ada pada
pemerintah sebagai salah satu unsur dari terbentuknya negara di samping adanya
warga dan wilayah.[26]
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah, sesuai yang
diatur dalam Pasal 17, meliputi:
a.
Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b.
Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya; dan
c.
Penyerasian lingkungan dari tata ruang
serta rehabilitasi lahan.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana, meliputi:
a.
Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b.
Kerja sama dan bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam. Dan sumber daya lainnya antar pemerintahan
daerah; dan
c.
Pengelolaan perizinan bersama dalam
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Pelimpahan
Wewenang Pengawasan dan Sanksi-Sanksi Administrasi
Dalam
perpsektif Islam, pengawasan adalah satu cabang dari amar ma’ruf nahi munkar dalam politik dan perkara-perkara umum.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang
merupakan tujuan dari semua kewenangan dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Timiyah: “ Semua kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah amar ma’ruf nahi munkar”,[27]
pada hakikatnya –tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang
memiliki kekuasaan – berarti mewujudkan partisipasi politik rakyat dalam segala
perkara-perkara umum dan juga dalam hukum, berawal dari kewajiban memberikan
nasihat (yang tulus) yang mana itu telah diperintahkan oleh Rasulullah saw,
dalam sebuah hadist yang masyhur : “Agama
adalah nasihat (ketulusan) kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada
pemimpin-pemimpin kaum muslimin juga kepada seluruh kaum muslimin”. Dan
Firman Allah SWT: “Apabila mereka
bernasihat (dengan ikhlas) kepada Allah dan Rasul-Nya” (Q.S. At-Taubah :
91). Kemudian seterusnya melewati fase-fase mengubah yang munkar sebagaimana
disebutkan oleh Rasullah saw. Dalam sadba beliau : “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkinan maka hendaklah
dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup maka ubahlah dengan
lisannya, lalu jika dia tidak sanggup juga maka ubahlah dengan hatinya, dan
sikap itu adalah selemah-lemah iman”[28]
Dalam pidato Abu Bakar
sesaat setelah penobatannya, beliau mengatakan:
“ .... jika
kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskan lah aku.” Demikian
juga pula Umar bin Khatab juga pernah mengatakan, “Jika kalian melihat pada
diriku kebengkolan, maka luruskan lah aku.”
Pidato kedua tokoh islam tersebut
menetapkan prinsip pengawasan atas para khalifah dan itu adalah kewajiban
keislaman.[29]
Imam Al-Ghazali
menganggap pengawasan adalah salah satu “kutub terbesar” dalam agama, maka
tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan sebagai “kutub
terbesar” pada sistem dalam islam.[30]
Menurut
Prayudi, pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang
dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan,
atau diperintahkan.[31]
Sedangkan menurut Bagir Manan memandang kontrol sebagai, sebuah fungsi dan
sekaligus hak, sehingga lazim disebut fungsi kontrol, atau hak kontrol. Kontrol
mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan
pembatasan dan pengendalian bertalian dengan arahan (directive).[32]
Muchsan,
berpendapat bahwa “Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan
tugas secara de facto, sedangkan
tujuan pengawasan hanya terbatas pada percocokan apakah kegiatan yang
dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (
dalam hal ini berujud suatu rencana / plan).”[33]
Pengawasan (control) terhadap pemerintah, menurut
Paulus Effendi Lotulung, adalah upaya untuk menghindari terjadinya
kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha
preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu,
sebagai usaha represif. Ditinjau dari segi saat / waktu dilaksanakannya suatu
kontrol pengawasan, kontrol dapat dibedakan dalam dua jenis : kontrol Apriori dan Kontrol Aposteriori. Dikatakan sebagai Kontrol Apriori, bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan atau ketetapan Pemerintah ataupun peraturan lainnya yang
pengeluarannya memang manjadi wewenang pemerintah. Sedangkan Kontrol Aposteriori adalah bilamana pengawasan
itu baru terjadi sesudah terjadi tindakan / putusan / ketetapan pemerintah atau
sesudah terjadi tindakan / perbuatan pemerintah. Dengan kata lain, arti
pengawasan disini dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan
memulihkan suatu tindakan yang keliru.[34]
Pengawasan pada
hakekatnya merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (das sein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen).[35]
Hal ini disebabkan karena antara kedua hal tersebut sering terjadi
penyimpangan. Oleh sebab itu maka tugas pengawasan paling utama adalah
melakukan koreksi atas penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dalam ilmu manajemen
pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan,
pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen,
mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan.
Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem
pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya
atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.[36]
Dengan dikeluarkannya
izin melakukan kegian usaha, kegiatan yang bersangkutan mulai di operasi, dan dengan
mulai beroperasinya kegiatan tersebut akan terjadi perubahan lingkungan.
Pengawasan terhadap pelaksanaan yang bersangkutan mempunyai tiga segi, yaitu :[37]
a.
Pemantauan
pentaatan (compliance monitoring)
Pemantauan
penataatan dilakukan terhadap :
i.
Izin : apakah izin yang diterbitkan gtelah memenuhi
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dan apakah dalam izin juga telah
dirumuskan dengan jelas syarat dan kewajiban apa yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan oleh pemegang izin dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
ii.
Pelaksanaan ketentuan dalam izin : apakah pemegang izin
usaha Cq. Penanggung jawab kegiatan usaha yang bersangkutan mematuhi ketentuan
dalam izin.
b.
Pengamatan lapangan
:
Dengan berjalannya
suatu kegiatan usaha akan menimbulkan perubahan lingkungan. Perubahan
lingkungan harus diamati di lapangan (pemantauan perubahan lingkungan). Dari
hasil pemantauan perubahan lingkungan dapat diketahui terjadinya perubahan
lingkungan : apakah perubahan lingkungan yang terjadi itu masih dalam atau
sudah melewati batas ambang yang ditentukan.
c.
Evaluasi :
Hasil pemantauan
(pemantauan pentaatan) dan pengamatan lapangan (pemantauan lingkungan) perlu
dievaluasi dapat di ketahui ;
-
Apakah ketentuan hukum lingkungan, baik ketentuan hukum
umum maupun ketentuan dalam izin melakukan kegiatan usaha, ditaati oleh
pemegang izin kegiatan usaha Cq. Penanggung jawab kegiatan usaha yang
bersangkutan;
-
Sampai seberapa jauh ketentuan hukum lingkungan yang berlaku
oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang dalam menerbitkan izin melakukan
kegiatan usaha;
-
Bagaimana perubahan lingkungan yang terjadi akibat
dilakukanya kegiatan usaha, serta bagaimana kecenderungan perubahan yang
terjadi itu;
-
Apa hambatan dan kendala yang dihadapi dalam menerapkan
peraturan perundangan-undangan lingkungan yang berlaku.
Pengawasan dalam bidang
lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan di
bidang lingkungan hidup ada pada Menteri Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi,
dan Kabupaten /Kota. Baik Menteri, Gubernur dan Bupati / Walikota berhak
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberlakukan mekanisme
pengawasan dua jalur, yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah bahwa
pada prinsipnya Gubernur dan Bupati / Walikota berwenang malakukan pengawasan
lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika
kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,[38]
Menteri lingkungan hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha / kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah.
Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang untuk : (a) melakukan pemantauan;
(b) meminta keterangan; (c) membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan; (d) memasuki tempat tertentu; (e) memotret; (f)
membuat rekaman audio visual; (g) mengambil sampel; (h) memeriksa peralatan;
(i) memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau (j) menghentikan
pelanggaran tertentu.
Istilah Latin ”in cauda venenum”, yang secara bahasa
berarti di ujung terdapat racun, agaknya sangat penting dalam menopang
dipatuhinya norma-norma hukum, sebab pada umumnya norma-norma yang terdapat
dalam suatu peraturan itu tidak memiliki kekuatan dan wibawa jika tidak
disertai dengan saknsi. J.B.J.M. ten Berge menyebut sanksi ini sebagai ”tanden van het recht” atau taringnya
hukum[39]
Menurut H. D. Van Wijk
/ Willem Konijnenbelt, sanksi dalam Hukum Administrasi adalah :[40]
Alat kekuasaan
yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi
atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum
administrasi negara.
Sedangkan
menurut J.J Oosternbrink, sanksi administratif adalah :[41]
Sanksi yang
muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara, yang dilaksanakan
tanpa kekuasaan peradilan (hakim), tetapi secara langsung dilaksanakan oleh
administrasi sendiri
Menurut A.D Belifante,[42] bahwa
sanksi administratif itu dilaksanakan langsung oleh pemerintah atau
administrasi, tanpa perantara hakim, ketika warga negara melalaikan kewajiban
yang timbul dalam hubungan hukum administrasi. Penerapan sanksi administrasi
tanpa perantaraan hakim ini dapat dikatakan pada dasarnya demikian (in beginsel als zodanig), namun bukan
berarti tidak ada penerapan sanksi tanpa perantara hakin. Artinya, sanksi dalam
Hukum Administrasi itu adalah semua sanksi yang tidak hanya diterapkan oleh
pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang dibebankan oleh hakim administrasi
atau instansi banding administrasi.[43]
Ada empat macam sanksi
yang secara umum dikenal dalam Hukum Administrasi dan tercantum secara formal
dalam AwB, yaitu paksaan pemerintah (bestuursdwang),
penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (intrekking begunstigende beschikking), pengenaan uang paksa oleh
pemerintah (dwangsom), dan denda
administratif (administratieve boete).[44]
Pasal 76 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
menyebutkan :
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan
sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.
Sanksi
administratif
terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin
lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau
pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Paksaan pemerintah berupa: a) penghentian sementara kegiatan produksi;
b) pemindahan sarana produksi; c) penutupan saluran pembuangan air limbah atau
emisi; d) pembongkaran; e) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran; f) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g)
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup. Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan
tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a)
ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b) dampak yang
lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau c) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.[45]
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan
pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.[46] Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya dan Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan
pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.[47]
Kesimpulan
1.
Bahwa sejak diberlakukannya
otonomi daerah, fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah
semakin hari semakin kompleks. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintahan daerah
belum benar-benar komitmen dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
di wilayah daerahnya masing-masing. Lingkungan dan sumber daya alam dilihat
sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa di eksploitasi
untuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan ditandainya
begitu banyaknya izin kuasa tambang batu bara yang dikeluarkan oleh Pemerintah
daerah.
2. Penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Selain itu, dapatlah dipahami
sekarang bahwa untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup bukan
hanya milik dari aparat penegak hukum saja tapi melainkan seluruh mahkluk hidup
yang ada di bumi ini.
3. Pengawasan
dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pengawasan di bidang lingkungan hidup ada pada Menteri
Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten /Kota. Baik Menteri,
Gubernur dan Bupati / Walikota berhak menetapkan pejabat pengawas lingkungan
hidup. Dan memberlakukan mekanisme
pengawasan dua jalur, yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah bahwa
pada prinsipnya Gubernur dan Bupati / Walikota berwenang malakukan pengawasan
lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika
kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4. Sanksi administrasi
[1]. Sumber : Tribun
Kaltim, “Warga Samarinda Naik Perahun Ke Mall”, Rabu, 7 Maret 2012.
[3]. Arief
Hidayat & FX. Adji Samekto, Kajian
Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal 4-5
[4]. P.
Nicolai, et.al, Bestuursrecht, yang
dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi
Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta,
2009, hal 106
[5]. J.B.J.M.
ten Berge, Besturen, yang dikutip
oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum
Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[6]. F.C.M.A.
Michiels (Red), Staats- en Bestuursrecht,
, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga
Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[7]. Philipus
M.Hadjon, Penegakan Hukum Administrasi
Lingkungan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, , yang dikutip oleh Ridwan
HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan
Peradilan Administrasi, Ibid
[8]. Siti Sundari Rangkuti,
Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm; 190
[9]. Koesnadi
Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan,
Cetakan kesembilan belas (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), hlm.
399
[11]. Zairin Harahap,
“Penegakan Hukum Lingkungan Menurut UUPLH”, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, Edisi No. 27 Vol 11 (2004), hlm. 8-9
[12]. Ibid
[13]. Moestadji,
Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
di Daerah Dalam Upaya Peningkatan Kualitas pembangunan di Daerah, Butir-Butir
tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak, sebuah Tanda Mata 70
Tahun Prof. Dr. Ateng Syafruddin, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal
311
[14]. M. Laica Marzuki,
seperti yang dikutip oleh Ni’matul
Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta,
2010, hal 44
[15]. Ni’matul
Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah
Perkembangan dan Problematika, Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009, hal 81
[16]. Ibid, hal 82
[19].Josef Rewu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[22]. Bagir Manan, Hubungan..., seperti yang dikutip oleh
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi,
Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op Cit,
hal. 86-87
[23]. Ismail
Suny, dalam Republika tanggal 30 Agustus 2008, seperti yang dikutip oleh
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi.....,
Ibid, hal 87-88
[24]. David
Osborne-Ted Goebler, Reinventing
Goverment, seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi....., Ibid,
hal 89
[25]. Noer Fauzi et.al, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lapera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 4
[26]. Takdir
Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 75
[27]. Ibnu Tamiyah Ahmad
bin Abdul Halim, Al Hisbah fi Al-Islam, Madinah
Al-Munawarah, Al Jami’ah Al Islamiyah. Seperti yang dikutip oleh Ni’mahtul
Huda, Problematika....., hal 47-48
[29]. Ni’matul
Huda, Ibid
[30]. Imam Al
Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz 2, yang
dikutip oleh Farid Abdul Khaliq, dikutip kembali oleh Ni’matul Huda, Problematika....., Ibid, hal 49
[31]. S. Prayudi
Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara,
yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[32]. Bagir Manan,
Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat
Terhadap Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, yang dikutip oleh
Ni’matul Huda, Ibid, hal 50
[33]. Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat
Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Cetakan keempat,
Liberty, Yogyakarta, 2007, hal 38
[34]. Paulus
Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang
Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, seperti yang dikutip oleh seperti
yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi
Daerah Filosofi....., Loc it ,
hal 242-243
[35]. Jazim
Hamidi & Mustafa Lutfi, Dekonstruksi
Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah (The
Turning Point of Local Autonomy), Universitas Brawijaya Press, Malang,
2011, hal 82
[36]. Ibid
[37].
Moestadji, Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah Dalam Upaya
Peningkatan Kualitas pembangunan di Daerah, Op Cit, hal 310
[38]. Penjelasan
Pasal 73 UUPPLH : Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah
tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat.
[39]. .B.J.M.
ten Berge, Besturen, yang dikutip
oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum
Administrasi dan Peradilan Administrasi, Op Cit, hal 109-110
[40]. H. D. Van
Wijk / Konijnenbelt, Hoofdstukken van
Administratif Recht, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid, hal 112
[41]. J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip
oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum
Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[42]. A.D
Belifante, Kort Begrip van het
Administratief Recht, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[43]. J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip
oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum
Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[44]. Lydia
Janssen, Bestuursrecht, J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip
oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum
Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid, hal 113.
[45]. Pasal 79
dan Pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[46]. Pasal 81 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[47]. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup