Minggu, 30 September 2012

Penegakan Hukum Lingkungan/otonomi daerah

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh : Aditia Syaprillah
Pendahuluan
            Sejak jatuhnya rezim otoriter atau rezim orde baru tahun 1998, yang sebagian besar pelaku sejarahnya adalah mahasiswa, banyak perubahan yang terjadi pasca orde baru runtuh, atau di kenal dengan era reformasi. Salah satu perubahan di era reformasi ini ialah sistem pemerintahan itu tidak terpusat lagi atau sentralistik, dengan di amandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Sebelum adanya perubahan konstitusi di Indonesia semua urusan pemerintahan sentralistik, setelah perubahan konstitusi urusan pemerintahan menjadi desentralisasi. Dengan lahirnya otonomi daerah semua urusan pemerintahan tidak lagi menjadi urusan pemerintah pusat. Salah satu yang menjadi urusan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten / Kota ialah urusan tentang pengendalian lingkungan hidup dan daerah berkewajiban dalam menyelenggarakan otonomi daerah salah satunya ialah menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
            Dengan diberikannya kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk menjaga, melestarikan dan pengendalingan lingkungan hidup. Secara otomatis diikuti dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Provinsi dan Kabupaten / Kota.
Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang yang di tinggalkan oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu saja. Dan Menurut Kordinator JATAM di Samarinda, Di kecamatan samboja kabupaten Kutai Kertanegara mempunyai 90 Izin Usaha Pertambangan, yang mana akan berpengaruh ke Kota Balikpapan melalui daerah Aliran Sungai (DAS). Begitupun dengan Kecamatan Muara Jawa Kabupaten Kutai Kertanegara yang sudah memiliki 78 Izin Usaha Pertambangan. Data Jatam di 2011, terdapat 789 Izin Usaha Pertambangan dengan luas 3.911.206,21, belum termasuk PKP2B.[1]
Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269 ijin daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim. Kini, satu per satu mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan kesehatan karena pencemaran, penggusuran masyarakat adat dan budaya korupsi. Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini dikapling Izin Tambang Batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, sawit dan HPH
Selain kasus diatas, di kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan September lalu, memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota Samarinda dengan membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar limbah batu bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab sawah dan kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan tertimbun lumpur kehitaman pada musim hujan. Tak hanya transmigran, masyarakat adat juga merasakan pil pahit pertambangan.Itu dirasakan Kampung Putak, Desa Loa Duri Ilir, yang sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini sekitar 80 persen lahan pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini, sejak otonomi daerah, sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah setempat. Dinas pertanian dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang 2008-2009, 5.2 persen lahan pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi menjadi tambang batubara.[2]
Dari data yang telah pemakalah ungkapkan diatas, bahwa sejak di berlakukannya otonomi daerah, fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah semakin hari semakin kompleks. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintahan daerah belum benar-benar komitmen dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di wilayah daerahnya masing-masing. Lingkungan dan sumber daya alam dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa di eksploitasi untuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan ditandainya begitu banyaknya izin kuasa tambang batu bara yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah.
Sumber daya alam tak lebih dari derivatif kebijakan ekonomi, sumber daya alam hanyalah bagian dari komoditas ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Belum banyak yang melihat bahwa sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas mendukung segala kegiatan yang berlangsung di atasnya.[3] Dan celakanya sumber daya alam disini yang dimaksud ialah sumber daya alam yang tidak dapat di perbarui dalam waktu yang singkat.
Dalam penulisan makalah ini, yang ingin dibahas ialah bagaimana efektifitas penegakan hukum administrasi lingkungan pasca di berlakukannya otonomi daerah, dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup nasional dan khususnya di daerah.
Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan
            Dalam Hukum Administrasi, sarana penegakan hukum itu ada dua yaitu pengawasan dan penerapan sanksi oleh organ pemerintahan.[4] J.B.J.M ten Berge mengatakan bahwa penerapan sanksi ini merupakan inti dari penegakan hukum administrasi,[5] dan dianggap sangat penting untuk mencegah tindakan-tindakan ilegal.[6] Menurut Phipus M. Hadjon, instrumen penegakan hukum administrasi meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan.[7]
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu bidang admininstratif, pidana, dan perdata. Penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan dan keperdataan.[8]
Pada lazimnya aparatur penegakan hukum lingkungan di katerogisasikan sebagai :
a.       Polisi
b.      Jaksa;
c.       Hakim;
d.      Pejabat/instansi yang berwenang member izin;
e.       Penasehat hukum

Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum. Masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai ikut menegakkan hukum, karena membuang sampah di sungai adalah pelanggaran.[9] Dapatlah dipahami sekarang bahwa untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup bukan hanya milik dari aparat penegak hukum saja tapi melainkan seluruh mahkluk hidup yang ada di bumi ini.
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrument penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.[10]
Pendapat Zairin Harahap, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan menanggulangi perusakan dan atau pencemaran lingkungan dengan menjatuhkan atau memberikan sanksi (hukuman) kepada perusak atau pencemar lingkungan yang dapat berupa sanksi pidana (penjara dan denda), sanksi perdata (ganti kerugian dan atau tindakan tertentu), dan atau sanksi administrasi (paksaan pemerintahan, uang paksa, dan pencabutan izin).[11]
Sedangkan penegakan hukum lingkungan yang bersifat preventif ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan. Dewasa ini, penegakan hukum lingkungan yang bersifat preventif ini adalah AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) dan perizinan. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan setelah adanya perbuatan atau tindakan yang mengakibatkan terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan. Sedangkan penegakan hukum preventif lebih bersifat mencegah agar perbuatan atau tindakan itu tidak menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan. Jadi dilakukan sebelum terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan.[12]
Tujuan akhir dari penegakan hukum lingkungan adalah ketaatan terhadap ketentuan hukum lingkungan yang berlaku. Ketaatan disini adalah suatu kondisi tercapainya dan terpilaharanya ketentuan hukum lingkungan, baik yang berlaku secara umum maupun ketentuan yang ditetapkan dalam izin.[13]
Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autus yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-undang sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membeuat perda-perda), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah sendiri). C.W. Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).[14]
Berdasarkan catatan kritis perjalanan otonomi daerah, khususnya selama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, maka MPR melalui Ketetapan MPR No. XV / MPR / 1998 mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu, keleluasaaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari pelaksanaan sampai dengan evaluasi.[15]
Adapun yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada, diperlukan, tumbuh dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.[16]
Menurut Ni’matul Huda, otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah. Pasal 1 Angka (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah, ialah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di kalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap pembagian urusan antara Pusat dan Daerah dalam konteks otonomi ternyata tidak sama. R. Tresna menyebut dengan istilah “kewenangan mengatur rumah tangga”.[17] Bagir Manan menyebut dengan istilah “sistem rumah tangga daerah”.[18] Josef Riwu Kaho memberi istilah “sistem”.[19] Moh. Mahfud MD., memakai istilah “asas otonomi”.[20] Meskipun istilah yang dipergunakan berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada pengertian yang sama bahwa ajaran-ajaran (formal, material, dan riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.[21]
Menurut Bagir Manan, dasar-dasar hubungan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka desentralisasi ada empat macam :[22]
a.         Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara :
UUD 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah, berarti UUD 1945 menghendaki keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah, keikutsertaan rakyat pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh desentralisasi.

b.        Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli:
Pada tingkat Daerah, susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah sesuai dengan dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.

c.         Dasar Kebhinekaan
“Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan keragaman indonesia, otonomi, atau desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengendorkan “Spanning” yang ditimbul dari keragaman.

d.        Dasar Negara Hukum
Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.

            Sedangkan menurut Ismail Suny, ada lima tingkatan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah         :[23]
a.         Negara kesatuan dengan otonomi yang terbatas.
b.        Negara kesatuan dengan otonomi luas.
c.         Negara quasi federal dengan provinsi atas “kebaikan” Pemerintah Pusat.
d.        Negara federasi dengan pemerintah federal, mislnya Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Swiss
e.         Negara konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, suatu negara dikatakan berbentuk konfederasi jika Pemerintah Pusat tergantung pada goodwill negara-negara anggota konfederasi atau negara-negara anggota commonwealth.

Dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu menunjukan :[24]
a.         Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat;
b.        Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugs dengan efektif dan lebih efisien;
c.         Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif; dan
d.        Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Dalam bidang lingkungan hidup, otonomi daerah berarti :[25]
a.         Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat;
b.        Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari;
c.         Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion);
d.        Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung; dan
e.         Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

            Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten / kota di bidang lingkungan telah secara tegas di atur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan pemerintah provinsi yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, meliputi :
1.        Menetapkan kebijakan nasional;
2.        Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
3.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional
4.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
5.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL
6.        Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
7.        Mengembangkan standar kerja sama;
8.        Mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup;
9.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan non hayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
10.    Menetapkan dan melaksanakan mengenai pengendalian dampak perubuhan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
11.    Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
12.    Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
13.    Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
14.    Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
15.    Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
16.    Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
17.    Mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
18.    Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
19.    Mengembangkan standar pelayanan minimal;
20.    Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
21.    Mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
22.    Mengordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup
23.    Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
24.    Mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hdup;
25.    Menerbitkan izin lingkungan;
26.    Menetapkan wilayah ekoregion; dan
27.    Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

Kewenangan pemerintah provinsi yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, meliputi :
a.         Menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b.        Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c.         Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
e.         Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f.         Mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g.        Mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten / kota;
h.        Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah , dan peraturan kepala daerah kabupaten / kota;
i.          Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penggungjawab dan / atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j.          Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k.        Mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar kabupaten / kota serta penyelesaian sengketa;
l.          Melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten / kota di bidang program dan kegiatan;
m.      Melaksanakan standar pelayanan minimal;
n.        Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o.        Mengelola informasi lingkunga hidup tingkat provinsi;
p.        Mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramha lingkungan hidup;
q.        Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaaan dan penghargaan;
r.          Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s.         Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

Kewenangan pemerintah kabupaten / kota yang dirumuskan dalam Pasal 63 Ayat (3), meliputi :
a.         Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten / kota;
b.        Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten / kota;
c.         Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH tingkat kabupaten / kota;
d.        Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
e.         Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten / kota;
f.         Mengembangkan dan menerapkan kerja sama dan kemitraan;
g.        Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h.        Memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i.          Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j.          Melaksanakan standar pelayanan minimal;
k.        Melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada kabupaten / kota;
l.          Mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten / kota;
m.      Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten / kota;
n.        Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaanm dan penghargaan;
o.        Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten / kota; dan
p.        Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten / kota;

Kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota yang dirumuskan secara terinci sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UUPPLH pada dasarnya tidak depat, semestinya rumusan normatif dalam tingkatan undang-undang bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingin dijangkau. Lagi pula penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang tidak perlu atau berlebihan dan tidak efisien, misalnya penyebutan kewenangan penegakan hukum. Kalau pun kewenangan penegakan hukum itu tidak disebutkan dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu sudah inheren dengan pemerintah sesuai dengan teori-teori dalam ilmu negara atau ilmu politik, bahwa kewenangan penegakan itu ada pada pemerintah sebagai salah satu unsur dari terbentuknya negara di samping adanya warga dan wilayah.[26]
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah, sesuai yang diatur dalam Pasal 17, meliputi:
a.         Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b.        Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.         Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana, meliputi:
a.         Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b.        Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. Dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c.         Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

Pelimpahan Wewenang Pengawasan dan Sanksi-Sanksi Administrasi
            Dalam perpsektif Islam, pengawasan adalah satu cabang dari amar ma’ruf nahi munkar dalam politik dan perkara-perkara umum. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan tujuan dari semua kewenangan dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Timiyah: “ Semua kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah amar ma’ruf nahi munkar”,[27] pada hakikatnya –tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan – berarti mewujudkan partisipasi politik rakyat dalam segala perkara-perkara umum dan juga dalam hukum, berawal dari kewajiban memberikan nasihat (yang tulus) yang mana itu telah diperintahkan oleh Rasulullah saw, dalam sebuah hadist yang masyhur : “Agama adalah nasihat (ketulusan) kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin-pemimpin kaum muslimin juga kepada seluruh kaum muslimin”. Dan Firman Allah SWT: “Apabila mereka bernasihat (dengan ikhlas) kepada Allah dan Rasul-Nya” (Q.S. At-Taubah : 91). Kemudian seterusnya melewati fase-fase mengubah yang munkar sebagaimana disebutkan oleh Rasullah saw. Dalam sadba beliau : “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkinan maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup maka ubahlah dengan lisannya, lalu jika dia tidak sanggup juga maka ubahlah dengan hatinya, dan sikap itu adalah selemah-lemah iman[28]
Dalam pidato Abu Bakar sesaat setelah penobatannya, beliau mengatakan:
“ .... jika kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskan lah aku.” Demikian juga pula Umar bin Khatab juga pernah mengatakan, “Jika kalian melihat pada diriku kebengkolan, maka luruskan lah aku.”

Pidato kedua tokoh islam tersebut menetapkan prinsip pengawasan atas para khalifah dan itu adalah kewajiban keislaman.[29]
Imam Al-Ghazali menganggap pengawasan adalah salah satu “kutub terbesar” dalam agama, maka tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan sebagai “kutub terbesar” pada sistem dalam islam.[30]
Menurut Prayudi, pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.[31] Sedangkan menurut Bagir Manan memandang kontrol sebagai, sebuah fungsi dan sekaligus hak, sehingga lazim disebut fungsi kontrol, atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan pembatasan dan pengendalian bertalian dengan arahan (directive).[32]
Muchsan, berpendapat bahwa “Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada percocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya ( dalam hal ini berujud suatu rencana / plan).”[33]
Pengawasan (control) terhadap pemerintah, menurut Paulus Effendi Lotulung, adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif. Ditinjau dari segi saat / waktu dilaksanakannya suatu kontrol pengawasan, kontrol dapat dibedakan dalam dua jenis : kontrol Apriori dan Kontrol Aposteriori. Dikatakan sebagai Kontrol Apriori, bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan Pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang manjadi wewenang pemerintah. Sedangkan Kontrol Aposteriori adalah bilamana pengawasan itu baru terjadi sesudah terjadi tindakan / putusan / ketetapan pemerintah atau sesudah terjadi tindakan / perbuatan pemerintah. Dengan kata lain, arti pengawasan disini dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru.[34]
Pengawasan pada hakekatnya merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (das sein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen).[35] Hal ini disebabkan karena antara kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu maka tugas pengawasan paling utama adalah melakukan koreksi atas penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dalam ilmu manajemen pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.[36]
Dengan dikeluarkannya izin melakukan kegian usaha, kegiatan yang bersangkutan mulai di operasi, dan dengan mulai beroperasinya kegiatan tersebut akan terjadi perubahan lingkungan. Pengawasan terhadap pelaksanaan yang bersangkutan mempunyai tiga segi, yaitu :[37]
a.         Pemantauan pentaatan (compliance monitoring)
Pemantauan penataatan dilakukan terhadap :
i.           Izin : apakah izin yang diterbitkan gtelah memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dan apakah dalam izin juga telah dirumuskan dengan jelas syarat dan kewajiban apa yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh pemegang izin dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
ii.         Pelaksanaan ketentuan dalam izin : apakah pemegang izin usaha Cq. Penanggung jawab kegiatan usaha yang bersangkutan mematuhi ketentuan dalam izin.

b.        Pengamatan lapangan :
Dengan berjalannya suatu kegiatan usaha akan menimbulkan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan harus diamati di lapangan (pemantauan perubahan lingkungan). Dari hasil pemantauan perubahan lingkungan dapat diketahui terjadinya perubahan lingkungan : apakah perubahan lingkungan yang terjadi itu masih dalam atau sudah melewati batas ambang yang ditentukan.

c.         Evaluasi :
Hasil pemantauan (pemantauan pentaatan) dan pengamatan lapangan (pemantauan lingkungan) perlu dievaluasi dapat di ketahui ;
-          Apakah ketentuan hukum lingkungan, baik ketentuan hukum umum maupun ketentuan dalam izin melakukan kegiatan usaha, ditaati oleh pemegang izin kegiatan usaha Cq. Penanggung jawab kegiatan usaha yang bersangkutan;
-          Sampai seberapa jauh ketentuan hukum lingkungan yang berlaku oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang dalam menerbitkan izin melakukan kegiatan usaha;
-          Bagaimana perubahan lingkungan yang terjadi akibat dilakukanya kegiatan usaha, serta bagaimana kecenderungan perubahan yang terjadi itu;
-          Apa hambatan dan kendala yang dihadapi dalam menerapkan peraturan perundangan-undangan lingkungan yang berlaku.

Pengawasan dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan di bidang lingkungan hidup ada pada Menteri Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten /Kota. Baik Menteri, Gubernur dan Bupati / Walikota berhak menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup.
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah bahwa pada prinsipnya Gubernur dan Bupati / Walikota berwenang malakukan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,[38] Menteri lingkungan hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha / kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang untuk : (a) melakukan pemantauan; (b) meminta keterangan; (c) membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; (d) memasuki tempat tertentu; (e) memotret; (f) membuat rekaman audio visual; (g) mengambil sampel; (h) memeriksa peralatan; (i) memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau (j) menghentikan pelanggaran tertentu.
Istilah Latin ”in cauda venenum”, yang secara bahasa berarti di ujung terdapat racun, agaknya sangat penting dalam menopang dipatuhinya norma-norma hukum, sebab pada umumnya norma-norma yang terdapat dalam suatu peraturan itu tidak memiliki kekuatan dan wibawa jika tidak disertai dengan saknsi. J.B.J.M. ten Berge menyebut sanksi ini sebagai ”tanden van het recht” atau taringnya hukum[39]
Menurut H. D. Van Wijk / Willem Konijnenbelt, sanksi dalam Hukum Administrasi adalah :[40]
Alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi negara.

            Sedangkan menurut J.J Oosternbrink, sanksi administratif adalah :[41]
Sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara, yang dilaksanakan tanpa kekuasaan peradilan (hakim), tetapi secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri

Menurut A.D Belifante,[42] bahwa sanksi administratif itu dilaksanakan langsung oleh pemerintah atau administrasi, tanpa perantara hakim, ketika warga negara melalaikan kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum administrasi. Penerapan sanksi administrasi tanpa perantaraan hakim ini dapat dikatakan pada dasarnya demikian (in beginsel als zodanig), namun bukan berarti tidak ada penerapan sanksi tanpa perantara hakin. Artinya, sanksi dalam Hukum Administrasi itu adalah semua sanksi yang tidak hanya diterapkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang dibebankan oleh hakim administrasi atau instansi banding administrasi.[43]
Ada empat macam sanksi yang secara umum dikenal dalam Hukum Administrasi dan tercantum secara formal dalam AwB, yaitu paksaan pemerintah (bestuursdwang), penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (intrekking begunstigende beschikking), pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom), dan denda administratif (administratieve boete).[44]
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan :
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.

Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Paksaan pemerintah berupa: a) penghentian sementara kegiatan produksi; b) pemindahan sarana produksi; c) penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d) pembongkaran; e) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g) tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.[45]
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.[46] Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya dan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.[47]

Kesimpulan
1.        Bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah semakin hari semakin kompleks. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintahan daerah belum benar-benar komitmen dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di wilayah daerahnya masing-masing. Lingkungan dan sumber daya alam dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa di eksploitasi untuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan ditandainya begitu banyaknya izin kuasa tambang batu bara yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah.
2.      Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Selain itu, dapatlah dipahami sekarang bahwa untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup bukan hanya milik dari aparat penegak hukum saja tapi melainkan seluruh mahkluk hidup yang ada di bumi ini.
3.      Pengawasan dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan di bidang lingkungan hidup ada pada Menteri Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten /Kota. Baik Menteri, Gubernur dan Bupati / Walikota berhak menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dan memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah bahwa pada prinsipnya Gubernur dan Bupati / Walikota berwenang malakukan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4.      Sanksi administrasi








[1]. Sumber : Tribun Kaltim, “Warga Samarinda Naik Perahun Ke Mall”, Rabu, 7 Maret 2012.
[2]. Opini, Batubara dan Mimpi Swasembada Pangan, Harian Kompas, Kamis 6 Oktober 2011
[3]. Arief Hidayat & FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal 4-5
[4]. P. Nicolai, et.al, Bestuursrecht, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal 106
[5]. J.B.J.M. ten Berge, Besturen, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[6]. F.C.M.A. Michiels (Red), Staats- en Bestuursrecht, , yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[7]. Philipus M.Hadjon, Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, , yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[8]. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm; 190
[9]. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan kesembilan belas (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), hlm. 399
[10]. Siti Sundari Rangkut, Op. Cit, hlm;191
[11]. Zairin Harahap, “Penegakan Hukum Lingkungan Menurut UUPLH”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Edisi No. 27 Vol 11 (2004), hlm. 8-9
[12]. Ibid
[13]. Moestadji, Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah Dalam Upaya Peningkatan Kualitas pembangunan di Daerah, Butir-Butir tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak, sebuah Tanda Mata 70 Tahun Prof. Dr. Ateng Syafruddin, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 311
[14]. M. Laica Marzuki, seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, hal 44
[15]. Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal 81
[16]. Ibid, hal 82
[17]. Ni’matul Huda, Problematika...., Op Cit, hal 46
[18].Bagir Manan, Hubungan... yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[19].Josef Rewu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[20]. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[21]. Ni’matul Huda, Ibid hal 46-47
[22]. Bagir Manan, Hubungan..., seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Op Cit, hal. 86-87
[23]. Ismail Suny, dalam Republika tanggal 30 Agustus 2008, seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi....., Ibid, hal 87-88
[24]. David Osborne-Ted Goebler, Reinventing Goverment, seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi....., Ibid, hal 89
[25]. Noer Fauzi et.al, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 4
[26]. Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 75
[27]. Ibnu Tamiyah Ahmad bin Abdul Halim, Al Hisbah fi Al-Islam, Madinah Al-Munawarah, Al Jami’ah Al Islamiyah. Seperti yang dikutip oleh Ni’mahtul Huda, Problematika....., hal 47-48
[28]. HR. Muslim, Mukhshar Shahih Muslim, Al-Hafizh Al Mundziri, Juz 1, Ibid
[29]. Ni’matul Huda, Ibid
[30]. Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz 2, yang dikutip oleh Farid Abdul Khaliq, dikutip kembali oleh Ni’matul Huda, Problematika....., Ibid, hal 49
[31]. S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid
[32]. Bagir Manan, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Ibid, hal 50
[33]. Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal 38
[34]. Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, seperti yang dikutip oleh seperti yang dikutip oleh Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi....., Loc it , hal 242-243
[35]. Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah (The Turning Point of Local Autonomy), Universitas Brawijaya Press, Malang, 2011, hal 82
[36]. Ibid
[37]. Moestadji,  Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah Dalam Upaya Peningkatan Kualitas pembangunan di Daerah, Op Cit, hal 310
[38]. Penjelasan Pasal 73 UUPPLH : Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat.
[39]. .B.J.M. ten Berge, Besturen, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Op Cit, hal 109-110
[40]. H. D. Van Wijk / Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratif Recht, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid, hal 112
[41]. J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[42]. A.D Belifante, Kort Begrip van het Administratief Recht, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[43]. J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid
[44]. Lydia Janssen, Bestuursrecht, J.J Oosternbrink, Administratieve Sancties, yang dikutip oleh Ridwan HR, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Ibid, hal 113.
[45]. Pasal 79 dan Pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[46]. Pasal 81 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[47]. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup