PERANAN HUKUM
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP.
(Studi Kasus Sektor Pertambangan Batu Bara Bagi
Pembangunan Dan Kesejahteraan Rakyat Kalimantan Timur)
A.
Pendahuluan
A.1
Pembangunan Berkelanjutan
Pasal
33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menyebutkan bahwa “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
Cita-cita
dan agenda utama pembangunan berkelanjutan[1]
tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi
bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek
sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Gagasan di balik itu adalah,
pembangunan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai
terkait satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait
ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya.[2]
Sesuai
dengan definisinya maka oleh Experst
Group dari WCED (1986) dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat
jangka panjang antar generasi. Agar pembangunan dapat terlanjutkan harus ada
pemerataan perolehan ketersedian sumber daya alam, tidak hanya antar kelompok
dalam sebuah generasi, melainkan juga harus ada pemerataan antar generasi. Hal
ini mengisyaratkan bahwa suatu generasi tidak boleh menghabiskan sumber daya
alam sehingga tidak tersisa lagi untuk generasi yang akan datang. Dengan
demikian, konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut WCED (1986) mengandung
maksud pembangunan berwawasan jangka panjang, yang meliputi jangka waktu antar
generasi dan berupaya menyediakan sumber daya yang cukup dan lingkungan yang
sehat sehingga dapat mendukung kehidupan.[3]
Daud
silalahi, ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable
development merupakan konsep baru terkait dengan konsep pembangunan
berkelanjutan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien
dan keadilan. Melakukan efisiensi untuk memperbesar kue pembangunan, dan
keadilan (equity) untuk pembagian
yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.[4]
Pengertian
pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implicit
dalam berbagai perjanjian internasional dan berbagai instrument lainnya.
Laporan Komisi Brundland pada tahun 1987 merupakan pengertian hukum yang luas
dan dianut secara luas yang memberikan pengertian ‘sustainable development’ sebagai[5] :
‘development that meets the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their
own needs’
Ada
dua konsep penting dalam rumusan di atas. Pertama,
konsep kebutuhan (needs), terutama
kebutuhan dasar generasi saat ini, dan Kedua,
ide keterbatasan yang didasarkan pada pertimbangan kemajuan teknologi dan
organisasi sosial untuk menetapkan daya dukung lingkungan yang mampu menopang
kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan[6].
Adapun
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan dan menjadi refrensi
bagi negara-negara, adalah sebagai berikut[7] :
1)
Prinsip
Keadilan Antar Generasi (Intergeneration Equity)
2)
Prinsip
Keadilan Dalam Satu Generasi ( Intrageneration Equity)
3)
Prinsip
Pencegahan Dini (Precautionary Principle)
4)
Prinsip
Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation).
5)
Prinsip
Internalisasi Biaya Lingkungan
Pembangunan yang
hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan
sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Di Indonesia sudah salah kaprah
dalam memahami pembangunan yang berkelanjutan, pemahamannya disini ialah
pemahaman yang hanya fokus terhadap pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya
dalam pembangunan nasional. Sudah telah di singgung diatas bahwa pembangunan
yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi hanya membawa bangsa Indonesia kedalam
kehancuran, kemiskinan, kebodohan, belum lagi terjangkit penyakit yang
disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup oleh pihak perusahaan, dan
menurunnya kualitas sumber daya alam yang berpengaruh terhadap kehidupan
sosial-budaya masyarakat disekitar yang kehidupannya bergantung kepada sumber
daya alam.[8]
Jika kita melihat dari kerugian-kerugian sosial-budaya dan lingkungan hidup
yang di timbulkan oleh pembangunan yang berkelanjutan dan lebih fokus terhadap
pertumbuhan ekonomi, sangat tidak relevan dengan dampak yang di timbulkan
tersebut, bila dibandingkan dengan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan
hidup dan kerusakan sosial-budaya.
Sekarang sumber
daya alam di negara kita yang dimana sebagai kebutuhan dasar setiap warga
negara, perlahan-lahan tapi pasti sudah mulai habis oleh kegiatan pembangunan
yang hanya mengejar keutungan di sektor ekonomi belaka, dengan menutup mata
atau terkesan tidak tahu akibat pembangunan yang di lakukan tanpa melakukan pengkajian
yang dalam atau dampak dari pembangunan tersebut.
Untuk generasi
yang sekarang saja atau generasi penulis sedikit sekali mendapatkan manfaat
dari sumber daya alam tersebut, apa lagi generasi yang akan datang. Jadi tugas
generasi yang sekarang ini atau generasi penulis mempunyai tugas berat untuk
menjaga sumber daya alam yang tersisa sekarang agar dapat dinikmati oleh
generasi yang akan datang. Tugas yang berat tersebut akan terasa ringan apabila
kesejahteraan rakyat dapat dijamin oleh pemerintah, misalnya, lingkungan yang
sehat, perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat golongan bawah.
Apabila garis kemiskinan di negeri ini masih dominan sulit untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi di masa yang akan datang.
Pasal 1 Angka 3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi, ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.
1. Memberikan kemungkinan kepada
kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem
yang mendukungnya, baik secara langsung meupun tidak langsung;
2. Memanfaatkan sumber alam sebanyak
alam atau teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari;
3. Memberikan kesempatan kepada
sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang secara bersama-sama baik di daerah
dan kurun waktu yang sama maupun di daerah dan kurun waktu yang berbeda secara
sambung menyambung;
4. Meningkatkan dan melestarikan
kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber alam dan melindungi serta
mendukung perkehidupan secara terus menerus;
5.
Menggunakan
prosedur dn tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan
ekosistem untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan
datang.
Disini bisa dilihat
bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi juga baik bagi perbaikan pendapatan per
kapita dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai sumber
daya alam yang begitu banyak dengan mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber
daya alam, tapi tidak disadari bahwa akibat mengekploitasi sumber daya alam
secara berlebihan dapat mengakibat kerusakan lingkungan yang sangat besar belum
lagi konflik sosial di tingkat masyarakat yang ditimbulkan oleh eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.
Dalam
konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, terdapat beberapa prinsip hukum
lingkungan yang menjadi landasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup,
diantaranya adalah prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup, prinsip pelestarian lingkungan hidup prinsip ganti kerugian akibat
pencemaran lingkungan hidup dan lainnya.[10]
Adapun
upaya-upaya yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan mencakup [11]:
a.
Menggiatkan
kembali pertumbuhan
b.
Mengubah
kualitas pertumbuhan
c.
Memenuhi
kebutuhan pokok manusia berupa lapangan kerja, pangan, energy, air dan sanitasi
d.
Mengendalikan
jumlah penduduk pada tingkat yang berkelanjutan atau menunjang kehidupan
selanjutnya
e.
Menjaga
kelestarian dan meningkatkan sumber daya
f.
Mereorentasikan
teknologi dan mengelola risiko
g.
Menggabungkan
lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan
Seperti
yang telah di kemukakan diatas bahwa untuk mewujudkan Cita-cita dan agenda
utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan,
mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama
pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan
hidup. Bukan berarti aspek ekonomi tidak penting, tapi bagaimana caranya untuk
ketiga aspek ini bisa saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal pembangunan
ekonomi harus disertai dengan aspek lingkungan hidup dan aspek sosial-budaya.
Itu semua dapat diwujudkan dengan cara sebelum pembangunan itu dilaksanakan
terutama pembangunan ekonomi, harus melalui kewajiban prosedur Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, administrasi dan perdata) yang
telah ditetapkan oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009. Dan pembangunan yang
berkelanjutan sesuai dengan prosedur dan administrasi yang baik, cermat dan
teliti tersebut sehingga dapat dirasakan oleh generasi kini dan generasi yang
akan datang.
A.2
Wawasan Lingkungan
Saat ini norma lingkungan
hidup telah diadopsikan di dalam ketentuan
konstitusi, yaitu dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa “ perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
Artinya, prinsip pembangunan berkelanjutan da keharusan berwawasan lingkungan
bersifat mutlak. Kedua prinsip tersebut harus ada dalam setiap pemikiran dan
perumusan kebijakan pembangunan, baik kebijakan pembanguan nasional, kebijakan
pembangunan regional, maupun kebijakan pembangunan daerah provinsi dan
pembangunan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Konsekuensinya, semua
pihak terutama para pejabat yang bertanggung jawab, dalam urusan perencanaan
pembangunan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan harus mengubah
cara berpikirnya menjadi berwawasan lingkungan.[12]
Dalam
perspektif Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, adanya pembangunan sektor ingkungan hidup tentulah dipandang baik, tetapi
jelas tidak mencukupi. Sebagai salah satu elemen, aspek, sektor, ataupun salah
satu bidang pembangunan, kebijakan lingkungan hidup hanya bersifat necessary but sufficient. Artinya, dalam
pengertian wawasan lingkungan,
kedudukan lingkungan hidup berfungsi sebagai basis atau berada di pusat,
sebagai core substance, sebagai jiwa
atau roh dalam keseluruhan proses pembangunan.[13]
Dengan
demikian, pengertian ”berwawasan lingkungan” dalam Pasal 33 ayat (4) dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga harus difahami
dalam makna seperti demikian itu, dengan demikian, keseluruhan aspek dan
paradigma pembangunan nasional indonesia berdasarkan dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, haruslah mendasarkan diri pada pelbagai
prinsip konstitusi, salah satunya adalah prinsip berwawasan lingkungan. Jika
suatu kebijakan ataupun konsep pembangunan, baik di tingkat pusat atau di
daerah, tidak mengindahkan prinsip berwawasan lingkungan, berarti konsep atau
kebijakan yang demikian itu bertentangan dengan maksud pasal 33 ayat (4) dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[14]
B.
Kontribusi
Sektor Pertambangan Bagi Pembangunan[15]
Kontribusi sektor
pertambangan di Indonesia, sejak dari zaman penjajahan sampai sekarang masih
sangat membantu dalam sistem perekonomian di negara kita. Pada zaman
penjajahan, sumber daya alam tidak dapat di nikmati atau di manfaati oleh
rakyat indonesia, pada waktu zaman penjajahan tersebut sumber daya alam di
Indonesia di kuasai oleh para penjajahan belanda, bangsa belanda menguasai
sumber daya alam tersebut secara penuh untuk kepentinga belanda saja, dan
rakyat Indonesia tidak dapat menikmatinya dengan sewajarnya malah membuat
rakyat Indonesia sengsara dan miskin. Dalam konteks ini, rakyat indonesia sudah
merdeka selama 65 tahun, dan apa yang dirasakan pada zaman penajajahan tidak
jauh berbeda dengan zaman sekarang, masih banyak rakyat yang sengsara dan tidak
dapat menikmati hasil dari sumber daya lama yang dimilikinya.
Dari penelitian yang
dilakukan oleh Abrar Saleng di dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan.
Pengusahaan pertambangan, memiliki peran yang strategis dan mempunyai
kontribusi yang besar dalam pembangunan di daerah. Sebab dengan penguasahaan
pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komonitas baru dan pengembangan
wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan
pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap
perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan
tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Banyak contoh mengenai pelaksanaan
konsep pengembangan wilayah sekitar kegiatan pengusahaan pertambangan yang
dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Misalnya saja di Kalimantan Timur, PT
Kaltim Prima Coal (KPC), pengembangan wilayah dilakukan di sanggata dan
sekitarnya adalah pembangunan sarana jalan yang menghubungkan berbagai kampung
di sekitarnya, pembangunan sarana kesehatan yang dapat digunakan oleh penduduk
sekitarnya dan menjadi rumah sakit rujukan, pembangunan pusat perbelanjaan,
pembangunan desa-desa tertinggal dengan memberikan bimbingan dan dana penunjang
bagi usaha masyarakat setempat, khususnya usaha kecil.[16]
Keberadaan industri
pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur telah banyak merusak atau
memperparah kondisi lingkungan hidup yang berakibat adanya banjir, pencemaran
dan kerusakan lingkungan, dan di perparah lagi tidak ada niat dari pengusaha
tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok sumber daya
alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak lobang-lobang
yang mengnga-nga layak nya kolam air. Menurut data dari Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang yang di tinggalkan
oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31
lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu
saja. Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran
tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.Di Kutai Kartanegara
(Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar
yang ditinggalkan begitu saja.Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan
lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan
tambang.“Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269 ijin
daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim.Kini, satu per satu
mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan kesehatan
karena pencemaran, penggusuran masyarakat
adat dan budaya korupsi. Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini dikapling
Izin Tambang Batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi
tambang, sawit dan HPH,”
Pembangunan
dapat menimbulkan resiko-resiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam
dan lingkungan hidup. Resiko-resiko tersebut dapat berupa :[17]
a.
rusaknya
berbagai sistem pendukung perikehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem
biofisik maupun sosial;
b.
munculnya
bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia seperti bahan berbahaya dan beracun
dan hasil-hasil bioteknologi;
c.
pengalihan
beban resiko kepada generasi berikutnya atau kepada sektor atau kepada daerah
lainnya; dan
d.
kurang
berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat
Dari
sini dapat lah kita lihat bahwa oknum-oknum penyelenggara Negara dalam proses
pembangunan hanya mengejar nilai ekonomis saja, tapi tidak melihat dari
keberadaan masyarakat adat dan rusak nya sistem sosial di kawasan di bukanya
wilayah pertambangan.
Dari
beberapa dampak yang di akibatkan oleh kegiatan pertambangan di Kalimantan
Timur yaitu penggusuran masyarakat lokal di sekitar wilayah yang akan di buka
untuk kegiatan industri pertambangan, bisa dilihat dari kasus di Kabupaten
Kutai Timur Kecamatan Bengalon tepatnya di desa Sepaso dan Keraitan terdapat
tambang batu bara yang sedang melakukan pembebasan tanah untuk memperluas
usahanya, dalam pembebasan untuk tambang batu bara di wilayah ini ganti rugi
hanya di perhitungkan terhadap pohon dan bangunan yang diberikan sebesar Rp
200,- (dua ratus rupiah) per meter persegi tanah.[18]Dan
Kabupaten Berau Kalimantan Timur yang menolak pertambangan batu baradi blok
prapatan, Bujangga Kelurahan Sungai Bedungun, Kabupaten Berau.Terkait maraknya
penolakan itu, Bupati Berau, H. Makmur kepada media menyatakan bahwa jika
memang aktifitas tambang mengganggu aktifitas warga maka bisa dihentikan. Salah
satu alasan lain, perusahaan itu ternyata konsesi tambangnya dekat dengan
pemukiman warga setempat.
Selain kasus diatas, di
kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan September lalu,
memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota Samarinda dengan
membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar limbah batu
bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab sawah dan
kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan tertimbun
lumpur kehitaman pada musim hujan. Tak hanya transmigran, masyarakat adat juga
merasakan pil pahit pertambangan. Itu dirasakan Kampung Putak, Desa Loa Duri
Ilir, yang sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini sekitar 80
persen lahan pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini, sejak
otonomi daerah, sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah setempat. Dinas
pertanian dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang 2008-2009, 5.2 persen
lahan pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi menjadi tambang batubara.[19]
Selain dampak positif
yang telah di kemukakan di atas, ada juga dampak negatif nya yang ditimbulkan
oleh pengusahaan pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu
pengusahaan pertambangan yang tidak di lengkapi oleh surat-surat izin pertambangan,
kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir, tanah longsor dan berubahnya
ruang atau bentang alam, dan kematian masyarakat di sekitar wilayah tambang
yang di karenakan kecelakaan di wilayah tambang.
C.
Sektor
Pertambangan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat[20]
Perlindungan dan
pengelolaan sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Alenia IV Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan
Negara ialah untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mewujudkan kesejahteraan
umum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk
mengusai seluruh sumber daya alam, yang secara jelas di sebutkan dalam Pasal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Bahwa sesungguhnya dalam penguasaan dan/atau kewenangan yang di miliki Negara
dalam mengelola sumber daya alam harus memenuhi keinginan seluruh rakyat
Indonesia.
Makna kata kemakmuran
rakyat dan kesejahteraan rakyat sangat berbeda artinya, untuk lebih jelas
penulis akan tunjukan pengertian kata kemakmuran dan kesejahteraan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu :
Kata Makmur : serba kecukupan, tidak kekurangan dan Kemakmuran: keadaan makmur,
Kata Sejahtera : aman sentosa, dan makmur, selamat terlepas dari segal macam
gangguan dan kesukaran, sedangkan kata Kesejateraan : keadaan sejahtera,
keamanan, keselamatan, kententraman, kesenangan hidup.[21]
Menurut Jeremy Bentham
dalam bukunya yang berjudul Principle of
The Civil Code mengatakan ; Kesejahteraan adalah kebahagian yang diukur
dengan banyaknya kesenangan yang melebihi penderitaan. Dalam kaitannya dengan
kesejahteraan atau kebahagian masyarakat, Betham menyebutkan untuk mencapai
kesempurnaan kenikmatan yang akan memperbesar keseluruhan kebahagian sosial,
ada empat syarat yaitu : (1) tersediannya bahan-bahan kebutuhan pokok, (2)
menghasilkan kelimpahan/kekayaan, (3) diusahakannya kesamaan dan; (4)
terjaminnya keamanan.[22]
Agak sedikit berbeda
dengan kesejahteraan rakyat, menurut Agus Sumele[23]
yang intinya adalah pemberdayaan masyarakat dalam arti pengakuan atas
hak-haknya, pelibatan masyarakat sebagai mitra sejajar di dalam berbagai
pembicaraan yang menyangkut kepentingannya.
Dari pengertian di atas
penulis lebih setuju penggunaan kata Kesejahteraan
Rakyat dibandingkan dengan kata Kemakmuran
Rakyat, Kalimat Kesejahteraan Rakyat makna nya lebih luas di bandingkan
dengan Kemakmuran Rakyat. Kesejahteraan Rakyat ialah dimana rakyat nya sudah
bisa mandiri, makmur, bisa menghasilkan kekayaan sendiri dengan sumber daya
alam yang mereka milik sendiri dan di jaga keamanannya oleh negara.
Abrar Saleng
berpendapat, makna dari sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagai berikut[24] :
1)
Dari
aspek hukum berarti keterlibatan rakyat secara hukum dalam pengusahaan
pertambangan; bentuk keterlibatan itu berupa pengakuan atas hak-hak adat
masyarakat atas lahan dan sumber daya alam (semacam pemegang saham), sehingga
rakyat berhak mendapatkan manfaat jangka panjang atas digunakannya lahan dan
sumber daya alam mereka. Konsekuensi atas pengakuan atas hak-hak mereka, rakyat
dilibatkan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut pemanfaatan lahan dan
sumber daya alam yang mereka telah kuasai secara turun menurun;
2)
Dari
aspek fisik berarti rakyat berhak menikmati sarana dan prasarana/fasiltas yang
dibangun oleh perusahaan pertambangan;
3)
Dari
aspek non-fisik berarti perusahaan pertambangan menciptakan lapangan kerja dan
memajukan pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan hidup
masyarakat;
4)
Dari
aspek ekonomi berarti meningkatka dan menumbuhkan perekonomian rakyat dan
memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung bagi perekonomian
negara.
Dari
data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, nilai royalti
dari sektor pertambangan batu bara untuk Kalimantan Timur setiap tahunnya tak
pernah lebih dari Rp 4 triliun, hasil Rp 4 triliun itu di sumbang dari
aktivitas 22 perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan tambang batu bara
(PKP2B) dan di peroleh dari 565 ribu hektar izin tambang, dimana 40 ribu hektar
diantaranya; atau seluas 50 ribu lapangan sepak bola, sedang dikupas sekarang.
Data
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, dana bagi hasil bagi
15 pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi beserta 14 Pemerintah Kabupaten/kota)
sebesar Rp 3,1 triliun pada 2009. Untuk pembagian royalti pada kabupaten/kota,
dibedakan antara daerah penghasil dan yang bukan. Daerah seperti Balikpapan,
Tarakan, Bontang dan Tana Tidung yang bukan penghasil mendapat royalti flat
sebesar 98,2 miliar pada 2009. Sementara Kutai Timur mendapat royalti tertinggi
dengan Rp 686,7 miliar diikuti Kutai Kertanegara dengan 281,5 miliar.
Sedangkan
perhitungan nilai royalti, disesuaikan dengan kalori batu bara, semakin tinggi
kalorinya (misalnya di atas 6.100 kilokalori), royalti untuk daerah juga lebih
tinggi di bandingkan batu bara dengan kalori menengah (4.000-6.000) atau rendah
(di bawah 4.000). Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan
Timur Amrullah menjelaskan, sepanjang tahun yang sama, produksi batu bara Kalimantan
Timur menembus 118 juta metrik ton atau hampir setengah produksi emas hitam
nasional. Jika disetarakan dengan rupiah, berdasarkan asumsi bahwa batu bara
Kalimantan Timur kualitasnya menengah ke bawah saja (sekitar 4.500-5.100
kilokalori dengan harga sekitar Rp 350 ribu). Maka uang yang berputar di
Kalimantan Timur sebesar Rp 40 triliun.[25]
Dari
uraian data diatas, Nampak bahwa Provinsi Kalimantan Timur , ialah Provinsi
yang kaya akan sumber daya alamnya, dapat dibayangkan 565 ribu hektar izin
tambang, dimana 40 ribu hektar diantaranya; atau seluas 50 ribu lapangan sepak
bola yang di dalam nya terdapat sumber daya alam berupa batu bara sedang
dikupas sekarang. Tapi sangat disayangkan Provinsi yang kaya tersebut tidak
dapat melayani masyarakatnya dengan sepenuhnya, ini di tandai dengan masih byar
pet nya listrik di provinsi itu dan bencana banjir yang selalu menghantui
masyarakat apabila curah hujan sangat tinggi, yang kita ketahui perubahan iklim
sekarang tidak menentu yang disebabkan oleh pemasan global. Bagi penulis uang
sebesar Rp 3.1 triliun tidak sebanding atau tidak mampu mengganti dengan apa
yang telah dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara yang mengakibatkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan, hilangnya hutan lindung, serta kematian
sebagian masyarakat di wilayah tambang.
Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur dan seluruh elemen masyarakat di Kalimantan Timur
yang tergabung dalam Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) sedang
berusaha sekuatnya untuk mengajukan gugatan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal
ini demi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur karena presentasi dana bagi
hasil minyak dan gas bumi yang diatur dalam UU tersebut merugikan daerah.
Persentase penerimanaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan, dibagi dengan
imbangan 84,5 persen untuk pemerintah (pusat) dan 15,5 persen untuk daerah,
dinilai tidak adil. Demikian pula presentase penerimaan perimbangan gas bumi,
69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah, juga tidak adil.
Awang Faroek Ishak berpendapat bahwa, Kalimantan Timur kan, dompetnya republik
Indonesia, karena sumber daya alamnya terus diambil. Sekitar 64 persen
pertambangan di Indonesia terdapat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Namun, masyarakat nya belum sejahtera.[26]
Apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan sejumlah elemen
masyarakat yang ada di Kalimantan Timur, perlu di apresiasi. Walaupun agak
terlambat lebih baik dari pada tidak melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, agar apa yang telah
menjadi hak masyarakat Kalimantan Timur dapat di kembalikan sesuai dengan apa
yang telah menjadi hak mereka tersebut. Dan kesejahteraan masyarakat di
Kalimantan Timur menjadi lebih baik dari apa yang di dapatkan sekarang. Ini
semua tergantung dari kesungguhan pemimpin di daerah dan stake holder untuk
mewujudkan masyarakat di Kalimantan Timur agar lebih sejahtera dan tidak dapat
di nafikan dukungan seluruh masyarakat Kalimantan Timur sangat di perlukan
dalam mewujudkan Kalimantan Timur Sejahtera.
D.
Kesimpulan
Pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan merupakan kemauan politik untuk membangun
tanpa merusak yang digariskan dalam kebijaksanaan lingkungan dan memerlukan
perangkat hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan lingkungan.
Penggunaan hukum sebagai sarana berdasarkan beberapa kelebihan, yaitu bersifat
rasional integratif, memiliki legitimasi dan sanksi serta didukung oleh
tersedianya mekanisme pelaksanaan. Dengan demikian, pemecahan masalah
lingkungan tidak berlandaskan teori semata, tetapi di dukung dengan kemauan
politik serta penegakan perangkat hukumnya.[27]
Selain itu butuh
komitmen bagi pemegang kekuasaan (pemerintah pusat, Gubernur, Bupati/Walikota )
di seluruh Indonesia dalam hal menetapkan suatu sistem perizinan yang terpadu
bagi pembangunan yang berbasis berkelanjutan dengan semangat otonomi daerah.
Dalam konteks
pengusahaan di sektor pertambangan batu bara di Indonesia, mempunyai peran yang
sangat strategis dalam pembangunan di daerah, tak bisa di pungkiri lagi bahwa
pengusahaan pertambangan batu bara sangat membantu pendapatan ekonomi
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan batu bara tersebut selain membuka
lapangan pekerjaan. Tapi hal ini hanya lah bersifat sementara apabila pengelolaan
pertambangan batu bara dilakukan secara brutal atau di lakukan secara membabi
buta oleh perusahaan tersebut, dan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan di
wilayah pertambangan tersebut, karena yang kita ketahui bersama bahwa sumber
daya alam berupa batu bara tidak dapat di perbarui lagi.
Sektor pertambangan
batu bara sangat menjanjikan dalam hal kesejahteraan rakyat di wilayah
penghasil batu bara tersebut, hal ini sangat ironis bahwa kenyataannya masih
banyak rakyak miskin di wilayah pertambangan batu bara khusus-nya di Provinsi
Kalimantan Timur. Perlu langkah progress dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat
penghasil sumber daya alam yang besar di Indonesia berupa pengaturan regulasi
dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan
asas keadilan dan asas manfaat. Dan butuh komitmen seluruh pemangku kepentingan
di negeri ini dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
[1]. World Commission on Environment and Development (WCED)
atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip pembangunan
berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”,
definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission Our Common
Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya baru
dimulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring yang terbit pertama kali pada 1962. Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan tersebut, proses pembangunan atau perkembangan
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan
potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Green Constitution
[2]. Hans-Joachim
Hoehn, “Environmental Etnics and
Enviromental Politics”, dalam Josef Thessing dan Wilhelm Hofmenister (ed), Environmental Protection as An Element of
Order Policy (Rathausalle:Konrad-Adenauer Stiftung, 1996), hlm 64, seperti
yang dikutip oleh A. Sonny Keraf, Op cit hlm
192
[3].
Arief Hidayat & FX. Adji Samekto, Kajian
Kritis Penegakan Hukum Lingkuingan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, September, 2007, hlm; 37-38
[4].
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi,
Makalah pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang di
selenggarakan olh BPHN, Denpasar, 2003, hlm;12
[5].
Philippe Sand, Principles of International Environmenta Law,
(1995), yang di kutip oleh Daud Silalahi, Ibid,
hlm;12
[6]. Ibid, hlm; 12
[7].
Lebih lengkapnya Lihat Mukhlish dan Mustafa, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara Press (Kelompok
In-TRANS Publishing, Malang, 2010, hlm; 211
[8].
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup,
Kompas, Jakarta, Oktober, 2010, hlm
193-194
[9].
Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[10].
Lebih lengkapnya lihat Mukhlish dan Mustafa, Ibid, hlm; 231
[11].
Lebih jelas nya lihat Surna T.
Djajadiningrat, Pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan, hlm 5
[12]. Op Cit, Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuasa Hijau …. , hlm
; 152
[13]. Ibid, hlm; 156
[14]. Ibid, hlm;156-157
[15].
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII
Press, Yogjakarta, September, 2004, hlm; 197
[16]. Op Cit, Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, hlm 200-201
[17]. Harun M. Husein, Lingkungan
Hidup: Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,
1995, hlm 108-109. Yang dikutip oleh Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara
Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[18]. Penelitian yang dilakukan oleh
Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-Hak
Masyarakat Adat
[20]. Op Cit, Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, hlm 204
[21]. Ibid,
[22].
Ibid, Macperson, C. B (Ed), Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, yang dikutip
Oleh Abrar Saleng, hlm;205
[23].
Ibid, Agus Somele, Restrukturiisasi dan Reorientasi
Perekonomian Irian Jaya, yang dikutip Oleh Abrar Saleng, hlm;205
[24]. Ibid, Abrar Saleng, hlm; 206
[26]. Kompas, Perundang-undangan “Uji Materi UU No 33/2004 demi Kesejahteraan Rakyat”,
Selasa, 18 Oktober 2011
[27].
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan
dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press,
Surabaya, 1996, hlm; 348