Jumat, 18 November 2011

Hukum Dan pembangunan


PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP.
(Studi Kasus Sektor Pertambangan Batu Bara Bagi Pembangunan Dan Kesejahteraan Rakyat Kalimantan Timur)

A.    Pendahuluan
A.1 Pembangunan Berkelanjutan
            Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
            Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan[1] tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Gagasan di balik itu adalah, pembangunan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya.[2]
            Sesuai dengan definisinya maka oleh Experst Group dari WCED (1986) dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat jangka panjang antar generasi. Agar pembangunan dapat terlanjutkan harus ada pemerataan perolehan ketersedian sumber daya alam, tidak hanya antar kelompok dalam sebuah generasi, melainkan juga harus ada pemerataan antar generasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu generasi tidak boleh menghabiskan sumber daya alam sehingga tidak tersisa lagi untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut WCED (1986) mengandung maksud pembangunan berwawasan jangka panjang, yang meliputi jangka waktu antar generasi dan berupaya menyediakan sumber daya yang cukup dan lingkungan yang sehat sehingga dapat mendukung kehidupan.[3]
            Daud silalahi, ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable development merupakan konsep baru terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan keadilan. Melakukan efisiensi untuk memperbesar kue pembangunan, dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.[4]
            Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implicit dalam berbagai perjanjian internasional dan berbagai instrument lainnya. Laporan Komisi Brundland pada tahun 1987 merupakan pengertian hukum yang luas dan dianut secara luas yang memberikan pengertian ‘sustainable development’ sebagai[5] :
development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs

Ada dua konsep penting dalam rumusan di atas. Pertama, konsep kebutuhan (needs), terutama kebutuhan dasar generasi saat ini, dan Kedua, ide keterbatasan yang didasarkan pada pertimbangan kemajuan teknologi dan organisasi sosial untuk menetapkan daya dukung lingkungan yang mampu menopang kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan[6].
Adapun prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan dan menjadi refrensi bagi negara-negara, adalah sebagai berikut[7] :
1)      Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergeneration Equity)
2)      Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi ( Intrageneration Equity)
3)      Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle)
4)      Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation).
5)      Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan

Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Di Indonesia sudah salah kaprah dalam memahami pembangunan yang berkelanjutan, pemahamannya disini ialah pemahaman yang hanya fokus terhadap pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya dalam pembangunan nasional. Sudah telah di singgung diatas bahwa pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi hanya membawa bangsa Indonesia kedalam kehancuran, kemiskinan, kebodohan, belum lagi terjangkit penyakit yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup oleh pihak perusahaan, dan menurunnya kualitas sumber daya alam yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat disekitar yang kehidupannya bergantung kepada sumber daya alam.[8] Jika kita melihat dari kerugian-kerugian sosial-budaya dan lingkungan hidup yang di timbulkan oleh pembangunan yang berkelanjutan dan lebih fokus terhadap pertumbuhan ekonomi, sangat tidak relevan dengan dampak yang di timbulkan tersebut, bila dibandingkan dengan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan sosial-budaya.
Sekarang sumber daya alam di negara kita yang dimana sebagai kebutuhan dasar setiap warga negara, perlahan-lahan tapi pasti sudah mulai habis oleh kegiatan pembangunan yang hanya mengejar keutungan di sektor ekonomi belaka, dengan menutup mata atau terkesan tidak tahu akibat pembangunan yang di lakukan tanpa melakukan pengkajian yang dalam atau dampak dari pembangunan tersebut.
Untuk generasi yang sekarang saja atau generasi penulis sedikit sekali mendapatkan manfaat dari sumber daya alam tersebut, apa lagi generasi yang akan datang. Jadi tugas generasi yang sekarang ini atau generasi penulis mempunyai tugas berat untuk menjaga sumber daya alam yang tersisa sekarang agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Tugas yang berat tersebut akan terasa ringan apabila kesejahteraan rakyat dapat dijamin oleh pemerintah, misalnya, lingkungan yang sehat, perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat golongan bawah. Apabila garis kemiskinan di negeri ini masih dominan sulit untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi di masa yang akan datang.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi, ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut[9] :
1.      Memberikan kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung meupun tidak langsung;
2.      Memanfaatkan sumber alam sebanyak alam atau teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari;
3.      Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang secara bersama-sama baik di daerah dan kurun waktu yang sama maupun di daerah dan kurun waktu yang berbeda secara sambung menyambung;
4.      Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber alam dan melindungi serta mendukung perkehidupan secara terus menerus;
5.      Menggunakan prosedur dn tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Disini bisa dilihat bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi juga baik bagi perbaikan pendapatan per kapita dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai sumber daya alam yang begitu banyak dengan mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya alam, tapi tidak disadari bahwa akibat mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat mengakibat kerusakan lingkungan yang sangat besar belum lagi konflik sosial di tingkat masyarakat yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, terdapat beberapa prinsip hukum lingkungan yang menjadi landasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup, diantaranya adalah prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, prinsip pelestarian lingkungan hidup prinsip ganti kerugian akibat pencemaran lingkungan hidup dan lainnya.[10]
Adapun upaya-upaya yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan mencakup [11]:
a.       Menggiatkan kembali pertumbuhan
b.      Mengubah kualitas pertumbuhan
c.       Memenuhi kebutuhan pokok manusia berupa lapangan kerja, pangan, energy, air dan sanitasi
d.      Mengendalikan jumlah penduduk pada tingkat yang berkelanjutan atau menunjang kehidupan selanjutnya
e.       Menjaga kelestarian dan meningkatkan sumber daya
f.       Mereorentasikan teknologi dan mengelola risiko
g.      Menggabungkan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan

Seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa untuk mewujudkan Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Bukan berarti aspek ekonomi tidak penting, tapi bagaimana caranya untuk ketiga aspek ini bisa saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal pembangunan ekonomi harus disertai dengan aspek lingkungan hidup dan aspek sosial-budaya. Itu semua dapat diwujudkan dengan cara sebelum pembangunan itu dilaksanakan terutama pembangunan ekonomi, harus melalui kewajiban prosedur Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, administrasi dan perdata) yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup  No 32 Tahun 2009. Dan pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan prosedur dan administrasi yang baik, cermat dan teliti tersebut sehingga dapat dirasakan oleh generasi kini dan generasi yang akan datang.
A.2 Wawasan Lingkungan
            Saat ini norma lingkungan hidup telah diadopsikan di dalam ketentuan  konstitusi, yaitu dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa “ perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “. Artinya, prinsip pembangunan berkelanjutan da keharusan berwawasan lingkungan bersifat mutlak. Kedua prinsip tersebut harus ada dalam setiap pemikiran dan perumusan kebijakan pembangunan, baik kebijakan pembanguan nasional, kebijakan pembangunan regional, maupun kebijakan pembangunan daerah provinsi dan pembangunan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Konsekuensinya, semua pihak terutama para pejabat yang bertanggung jawab, dalam urusan perencanaan pembangunan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan harus mengubah cara berpikirnya menjadi berwawasan lingkungan.[12]
            Dalam perspektif Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adanya pembangunan sektor ingkungan hidup tentulah dipandang baik, tetapi jelas tidak mencukupi. Sebagai salah satu elemen, aspek, sektor, ataupun salah satu bidang pembangunan, kebijakan lingkungan hidup hanya bersifat necessary but sufficient. Artinya, dalam pengertian wawasan lingkungan, kedudukan lingkungan hidup berfungsi sebagai basis atau berada di pusat, sebagai core substance, sebagai jiwa atau roh dalam keseluruhan proses pembangunan.[13]
            Dengan demikian, pengertian ”berwawasan lingkungan” dalam Pasal 33 ayat (4) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga harus difahami dalam makna seperti demikian itu, dengan demikian, keseluruhan aspek dan paradigma pembangunan nasional indonesia berdasarkan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, haruslah mendasarkan diri pada pelbagai prinsip konstitusi, salah satunya adalah prinsip berwawasan lingkungan. Jika suatu kebijakan ataupun konsep pembangunan, baik di tingkat pusat atau di daerah, tidak mengindahkan prinsip berwawasan lingkungan, berarti konsep atau kebijakan yang demikian itu bertentangan dengan maksud pasal 33 ayat (4) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[14]
B.     Kontribusi Sektor Pertambangan Bagi Pembangunan[15]
Kontribusi sektor pertambangan di Indonesia, sejak dari zaman penjajahan sampai sekarang masih sangat membantu dalam sistem perekonomian di negara kita. Pada zaman penjajahan, sumber daya alam tidak dapat di nikmati atau di manfaati oleh rakyat indonesia, pada waktu zaman penjajahan tersebut sumber daya alam di Indonesia di kuasai oleh para penjajahan belanda, bangsa belanda menguasai sumber daya alam tersebut secara penuh untuk kepentinga belanda saja, dan rakyat Indonesia tidak dapat menikmatinya dengan sewajarnya malah membuat rakyat Indonesia sengsara dan miskin. Dalam konteks ini, rakyat indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, dan apa yang dirasakan pada zaman penajajahan tidak jauh berbeda dengan zaman sekarang, masih banyak rakyat yang sengsara dan tidak dapat menikmati hasil dari sumber daya lama yang dimilikinya.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Abrar Saleng di dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan. Pengusahaan pertambangan, memiliki peran yang strategis dan mempunyai kontribusi yang besar dalam pembangunan di daerah. Sebab dengan penguasahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komonitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Banyak contoh mengenai pelaksanaan konsep pengembangan wilayah sekitar kegiatan pengusahaan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Misalnya saja di Kalimantan Timur, PT Kaltim Prima Coal (KPC), pengembangan wilayah dilakukan di sanggata dan sekitarnya adalah pembangunan sarana jalan yang menghubungkan berbagai kampung di sekitarnya, pembangunan sarana kesehatan yang dapat digunakan oleh penduduk sekitarnya dan menjadi rumah sakit rujukan, pembangunan pusat perbelanjaan, pembangunan desa-desa tertinggal dengan memberikan bimbingan dan dana penunjang bagi usaha masyarakat setempat, khususnya usaha kecil.[16]
Keberadaan industri pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur telah banyak merusak atau memperparah kondisi lingkungan hidup yang berakibat adanya banjir, pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan di perparah lagi tidak ada niat dari pengusaha tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok sumber daya alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak lobang-lobang yang mengnga-nga layak nya kolam air. Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang yang di tinggalkan oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu saja. Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.Di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu saja.Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.“Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269 ijin daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim.Kini, satu per satu mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan kesehatan karena pencemaran, penggusuran masyarakat adat dan budaya korupsi. Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini dikapling Izin Tambang Batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, sawit dan HPH,”
Pembangunan dapat menimbulkan resiko-resiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan hidup. Resiko-resiko tersebut dapat berupa :[17]
a.       rusaknya berbagai sistem pendukung perikehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial;
b.      munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia seperti bahan berbahaya dan beracun dan hasil-hasil bioteknologi;
c.       pengalihan beban resiko kepada generasi berikutnya atau kepada sektor atau kepada daerah lainnya; dan
d.      kurang berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat

Dari sini dapat lah kita lihat bahwa oknum-oknum penyelenggara Negara dalam proses pembangunan hanya mengejar nilai ekonomis saja, tapi tidak melihat dari keberadaan masyarakat adat dan rusak nya sistem sosial di kawasan di bukanya wilayah pertambangan.
Dari beberapa dampak yang di akibatkan oleh kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur yaitu penggusuran masyarakat lokal di sekitar wilayah yang akan di buka untuk kegiatan industri pertambangan, bisa dilihat dari kasus di Kabupaten Kutai Timur Kecamatan Bengalon tepatnya di desa Sepaso dan Keraitan terdapat tambang batu bara yang sedang melakukan pembebasan tanah untuk memperluas usahanya, dalam pembebasan untuk tambang batu bara di wilayah ini ganti rugi hanya di perhitungkan terhadap pohon dan bangunan yang diberikan sebesar Rp 200,- (dua ratus rupiah) per meter persegi tanah.[18]Dan Kabupaten Berau Kalimantan Timur yang menolak pertambangan batu baradi blok prapatan, Bujangga Kelurahan Sungai Bedungun, Kabupaten Berau.Terkait maraknya penolakan itu, Bupati Berau, H. Makmur kepada media menyatakan bahwa jika memang aktifitas tambang mengganggu aktifitas warga maka bisa dihentikan. Salah satu alasan lain, perusahaan itu ternyata konsesi tambangnya dekat dengan pemukiman warga setempat.
Selain kasus diatas, di kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan September lalu, memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota Samarinda dengan membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar limbah batu bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab sawah dan kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan tertimbun lumpur kehitaman pada musim hujan. Tak hanya transmigran, masyarakat adat juga merasakan pil pahit pertambangan. Itu dirasakan Kampung Putak, Desa Loa Duri Ilir, yang sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini sekitar 80 persen lahan pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini, sejak otonomi daerah, sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah setempat. Dinas pertanian dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang 2008-2009, 5.2 persen lahan pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi menjadi tambang batubara.[19]
Selain dampak positif yang telah di kemukakan di atas, ada juga dampak negatif nya yang ditimbulkan oleh pengusahaan pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu pengusahaan pertambangan yang tidak di lengkapi oleh surat-surat izin pertambangan, kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir, tanah longsor dan berubahnya ruang atau bentang alam, dan kematian masyarakat di sekitar wilayah tambang yang di karenakan kecelakaan di wilayah tambang.
C.    Sektor Pertambangan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat[20]
Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Alenia IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan Negara ialah untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mewujudkan kesejahteraan umum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk mengusai seluruh sumber daya alam, yang secara jelas di sebutkan dalam Pasal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Bahwa sesungguhnya dalam penguasaan dan/atau kewenangan yang di miliki Negara dalam mengelola sumber daya alam harus memenuhi keinginan seluruh rakyat Indonesia.
Makna kata kemakmuran rakyat dan kesejahteraan rakyat sangat berbeda artinya, untuk lebih jelas penulis akan tunjukan pengertian kata kemakmuran dan kesejahteraan. Menurut Kamus Besar  Bahasa Indonesia, yaitu : Kata Makmur : serba kecukupan, tidak kekurangan dan Kemakmuran: keadaan makmur, Kata Sejahtera : aman sentosa, dan makmur, selamat terlepas dari segal macam gangguan dan kesukaran, sedangkan kata Kesejateraan : keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, kententraman, kesenangan hidup.[21]
Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul Principle of The Civil Code mengatakan ; Kesejahteraan adalah kebahagian yang diukur dengan banyaknya kesenangan yang melebihi penderitaan. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan atau kebahagian masyarakat, Betham menyebutkan untuk mencapai kesempurnaan kenikmatan yang akan memperbesar keseluruhan kebahagian sosial, ada empat syarat yaitu : (1) tersediannya bahan-bahan kebutuhan pokok, (2) menghasilkan kelimpahan/kekayaan, (3) diusahakannya kesamaan dan; (4) terjaminnya keamanan.[22]
Agak sedikit berbeda dengan kesejahteraan rakyat, menurut Agus Sumele[23] yang intinya adalah pemberdayaan masyarakat dalam arti pengakuan atas hak-haknya, pelibatan masyarakat sebagai mitra sejajar di dalam berbagai pembicaraan yang menyangkut kepentingannya.
Dari pengertian di atas penulis lebih setuju penggunaan kata Kesejahteraan Rakyat dibandingkan dengan kata Kemakmuran Rakyat, Kalimat Kesejahteraan Rakyat makna nya lebih luas di bandingkan dengan Kemakmuran Rakyat. Kesejahteraan Rakyat ialah dimana rakyat nya sudah bisa mandiri, makmur, bisa menghasilkan kekayaan sendiri dengan sumber daya alam yang mereka milik sendiri dan di jaga keamanannya oleh negara.
Abrar Saleng berpendapat, makna dari sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagai berikut[24] :
1)      Dari aspek hukum berarti keterlibatan rakyat secara hukum dalam pengusahaan pertambangan; bentuk keterlibatan itu berupa pengakuan atas hak-hak adat masyarakat atas lahan dan sumber daya alam (semacam pemegang saham), sehingga rakyat berhak mendapatkan manfaat jangka panjang atas digunakannya lahan dan sumber daya alam mereka. Konsekuensi atas pengakuan atas hak-hak mereka, rakyat dilibatkan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut pemanfaatan lahan dan sumber daya alam yang mereka telah kuasai secara turun menurun;
2)      Dari aspek fisik berarti rakyat berhak menikmati sarana dan prasarana/fasiltas yang dibangun oleh perusahaan pertambangan;
3)      Dari aspek non-fisik berarti perusahaan pertambangan menciptakan lapangan kerja dan memajukan pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan hidup masyarakat;
4)      Dari aspek ekonomi berarti meningkatka dan menumbuhkan perekonomian rakyat dan memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung bagi perekonomian negara.

Dari data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, nilai royalti dari sektor pertambangan batu bara untuk Kalimantan Timur setiap tahunnya tak pernah lebih dari Rp 4 triliun, hasil Rp 4 triliun itu di sumbang dari aktivitas 22 perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan tambang batu bara (PKP2B) dan di peroleh dari 565 ribu hektar izin tambang, dimana 40 ribu hektar diantaranya; atau seluas 50 ribu lapangan sepak bola, sedang dikupas sekarang.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, dana bagi hasil bagi 15 pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi beserta 14 Pemerintah Kabupaten/kota) sebesar Rp 3,1 triliun pada 2009. Untuk pembagian royalti pada kabupaten/kota, dibedakan antara daerah penghasil dan yang bukan. Daerah seperti Balikpapan, Tarakan, Bontang dan Tana Tidung yang bukan penghasil mendapat royalti flat sebesar 98,2 miliar pada 2009. Sementara Kutai Timur mendapat royalti tertinggi dengan Rp 686,7 miliar diikuti Kutai Kertanegara dengan 281,5 miliar.
Sedangkan perhitungan nilai royalti, disesuaikan dengan kalori batu bara, semakin tinggi kalorinya (misalnya di atas 6.100 kilokalori), royalti untuk daerah juga lebih tinggi di bandingkan batu bara dengan kalori menengah (4.000-6.000) atau rendah (di bawah 4.000). Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur Amrullah menjelaskan, sepanjang tahun yang sama, produksi batu bara Kalimantan Timur menembus 118 juta metrik ton atau hampir setengah produksi emas hitam nasional. Jika disetarakan dengan rupiah, berdasarkan asumsi bahwa batu bara Kalimantan Timur kualitasnya menengah ke bawah saja (sekitar 4.500-5.100 kilokalori dengan harga sekitar Rp 350 ribu). Maka uang yang berputar di Kalimantan Timur sebesar Rp 40 triliun.[25]
Dari uraian data diatas, Nampak bahwa Provinsi Kalimantan Timur , ialah Provinsi yang kaya akan sumber daya alamnya, dapat dibayangkan 565 ribu hektar izin tambang, dimana 40 ribu hektar diantaranya; atau seluas 50 ribu lapangan sepak bola yang di dalam nya terdapat sumber daya alam berupa batu bara sedang dikupas sekarang. Tapi sangat disayangkan Provinsi yang kaya tersebut tidak dapat melayani masyarakatnya dengan sepenuhnya, ini di tandai dengan masih byar pet nya listrik di provinsi itu dan bencana banjir yang selalu menghantui masyarakat apabila curah hujan sangat tinggi, yang kita ketahui perubahan iklim sekarang tidak menentu yang disebabkan oleh pemasan global. Bagi penulis uang sebesar Rp 3.1 triliun tidak sebanding atau tidak mampu mengganti dengan apa yang telah dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, hilangnya hutan lindung, serta kematian sebagian masyarakat di wilayah tambang.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan seluruh elemen masyarakat di Kalimantan Timur yang tergabung dalam Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) sedang berusaha sekuatnya untuk mengajukan gugatan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini demi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur karena presentasi dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang diatur dalam UU tersebut merugikan daerah. Persentase penerimanaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan, dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah (pusat) dan 15,5 persen untuk daerah, dinilai tidak adil. Demikian pula presentase penerimaan perimbangan gas bumi, 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah, juga tidak adil. Awang Faroek Ishak berpendapat bahwa, Kalimantan Timur kan, dompetnya republik Indonesia, karena sumber daya alamnya terus diambil. Sekitar 64 persen pertambangan di Indonesia terdapat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Namun, masyarakat nya belum sejahtera.[26]
Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan sejumlah elemen masyarakat yang ada di Kalimantan Timur, perlu di apresiasi. Walaupun agak terlambat lebih baik dari pada tidak melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, agar apa yang telah menjadi hak masyarakat Kalimantan Timur dapat di kembalikan sesuai dengan apa yang telah menjadi hak mereka tersebut. Dan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Timur menjadi lebih baik dari apa yang di dapatkan sekarang. Ini semua tergantung dari kesungguhan pemimpin di daerah dan stake holder untuk mewujudkan masyarakat di Kalimantan Timur agar lebih sejahtera dan tidak dapat di nafikan dukungan seluruh masyarakat Kalimantan Timur sangat di perlukan dalam mewujudkan Kalimantan Timur Sejahtera.
D.    Kesimpulan
Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan merupakan kemauan politik untuk membangun tanpa merusak yang digariskan dalam kebijaksanaan lingkungan dan memerlukan perangkat hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan hukum sebagai sarana berdasarkan beberapa kelebihan, yaitu bersifat rasional integratif, memiliki legitimasi dan sanksi serta didukung oleh tersedianya mekanisme pelaksanaan. Dengan demikian, pemecahan masalah lingkungan tidak berlandaskan teori semata, tetapi di dukung dengan kemauan politik serta penegakan perangkat hukumnya.[27]
Selain itu butuh komitmen bagi pemegang kekuasaan (pemerintah pusat, Gubernur, Bupati/Walikota ) di seluruh Indonesia dalam hal menetapkan suatu sistem perizinan yang terpadu bagi pembangunan yang berbasis berkelanjutan dengan semangat otonomi daerah.
Dalam konteks pengusahaan di sektor pertambangan batu bara di Indonesia, mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan di daerah, tak bisa di pungkiri lagi bahwa pengusahaan pertambangan batu bara sangat membantu pendapatan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan batu bara tersebut selain membuka lapangan pekerjaan. Tapi hal ini hanya lah bersifat sementara apabila pengelolaan pertambangan batu bara dilakukan secara brutal atau di lakukan secara membabi buta oleh perusahaan tersebut, dan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan di wilayah pertambangan tersebut, karena yang kita ketahui bersama bahwa sumber daya alam berupa batu bara tidak dapat di perbarui lagi.
Sektor pertambangan batu bara sangat menjanjikan dalam hal kesejahteraan rakyat di wilayah penghasil batu bara tersebut, hal ini sangat ironis bahwa kenyataannya masih banyak rakyak miskin di wilayah pertambangan batu bara khusus-nya di Provinsi Kalimantan Timur. Perlu langkah progress dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat penghasil sumber daya alam yang besar di Indonesia berupa pengaturan regulasi dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan asas keadilan dan asas manfaat. Dan butuh komitmen seluruh pemangku kepentingan di negeri ini dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.


[1]. World Commission on Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya baru dimulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring yang terbit pertama kali pada 1962. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Green Constitution
[2]. Hans-Joachim Hoehn, “Environmental Etnics and Enviromental Politics”, dalam Josef Thessing dan Wilhelm Hofmenister (ed), Environmental Protection as An Element of Order Policy (Rathausalle:Konrad-Adenauer Stiftung, 1996), hlm 64, seperti yang dikutip oleh A. Sonny Keraf, Op cit hlm 192
[3]. Arief Hidayat & FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkuingan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, September, 2007, hlm; 37-38
[4]. Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang di selenggarakan olh BPHN, Denpasar, 2003, hlm;12
[5]. Philippe Sand,  Principles of International Environmenta Law, (1995), yang di kutip oleh Daud Silalahi, Ibid, hlm;12
[6]. Ibid, hlm; 12
[7]. Lebih lengkapnya Lihat Mukhlish dan Mustafa, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara Press (Kelompok In-TRANS Publishing, Malang, 2010, hlm; 211
[8]. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, Oktober, 2010,  hlm 193-194
[9]. Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[10]. Lebih lengkapnya lihat Mukhlish dan Mustafa, Ibid, hlm; 231
[11]. Lebih jelas nya lihat  Surna T. Djajadiningrat, Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, hlm 5
[12]. Op Cit, Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuasa Hijau …. , hlm ; 152
[13]. Ibid, hlm; 156
[14]. Ibid, hlm;156-157
[15]. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogjakarta, September, 2004, hlm; 197
[16]. Op Cit, Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, hlm 200-201
[17]. Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm 108-109. Yang dikutip oleh Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[18]. Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat
[19]. Opini, Batubara dan Mimpi Swasembada Pangan, Harian Kompas, Kamis 6 Oktober 2011
[20]. Op Cit, Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, hlm 204
[21].  Ibid,
[22]. Ibid, Macperson, C. B (Ed), Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, yang dikutip Oleh Abrar Saleng, hlm;205
[23]. Ibid, Agus Somele, Restrukturiisasi dan Reorientasi Perekonomian Irian Jaya, yang dikutip Oleh Abrar Saleng, hlm;205
[24]. Ibid, Abrar Saleng, hlm; 206
[25]. SKH Radar Tarakan,  Kaltim “Cuma” Kebagian 3 Triliun, 4 September, 2011
[26]. Kompas, Perundang-undangan “Uji Materi UU No 33/2004 demi Kesejahteraan Rakyat”, Selasa, 18 Oktober 2011
[27]. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hlm; 348