Senin, 31 Oktober 2011

STUDI HUKUM DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL ATAU PEMANFAATAN ILMU SOSIAL DALAM STUDI HUKUM

A.    Pendahuluan
Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial berkembang juga sejak zaman pemerintahan kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan sarana-sarana bantu saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba menguasai tanah jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera suasana dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra pribumi. Ilmu-ilmu sosial (khususnya Antropologi – yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya pada umumnya – dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum dipakai untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society dari pada kepentingan the state di negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun menjelang Van Volenhoven “menemukan Hukum Adat”, yaitu ketika kaum partikularis (seperti misalnya, antara lain, Snouck Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan politik kolonial kaum universalis.[1] Dan tatkala ilmu-ilmu sosial (entah teorinya entah metodenya) didayagunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum sebagai law as it in society.[2]
Jadi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas, nampak lah bahwa ilmu sosial sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Dengan gaya berfikir yang hanya mengandalkan ilmu hukum saja, terkesan bahwa adanya suatu penyempitan cara pandang untuk melihat hukum itu secara murni. Hukum sekarang tidak lah tertutup tetapi harus terbuka dalam pergaulan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya dengan ilmu sosial (kajian ilmu-ilmu sosial). Perkembangan zaman kian bergeser kearah yang tidak memihak keadilan sosial, hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan alat untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan tidak mungkin akan tercapai apabila hukum di tempatkan di ruangan yang tertutup atau hampa, tanpa menggunakan interdisiplener dari ilmu pengetahuan. Hukum dewasa ini hanya dijadikan oleh pengusa sebagai kedok untuk menjamin ketertiban di masyarakat, dan hukum hanya memihak penguasa saja sebagai pembuat kebijakan.
Ilmu hukum dalam perkembangannya yang berabad-abad lamanya telah kuasa untuk membentuk semacam ‘kerajaan tersendiri’ yang tidak mudah dengan begitu saja dapat dimasuki oleh orang-orang yang tidak ‘ingetwijd’ terlebih dahulu. Dalam hubungan ini, kita akan terpikir pada adanya istilah-istilah, pengertian-pengertian, sistematika maupun konstruksi-konstruksi hukum yang khususnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memang sengaja mempelajarinya. Keadaannya adalah sedemikian rupa sehingga bahkan orang-orang dari kelompok ilmu-ilmu sosial di luar hukum segan-segan untuk memasuki bidang yang esoterik itu.[3] Ilmu hukum seperti di dalam ruang yang sangat sterill atau hampa, ilmu hukum tidak bisa berinteraksi dengan ilmu-ilmu sosial budaya, politik, dan ekonomi di karenakan ilmu hukum menjaga kemurniaanya.
Suatu hal lain yang sangat penting yang mempengaruhi adanya semacam pemisahan di dalam kelompok ilmu-ilmu sosial, antara ilmu hukum di satu pihak berhadapan dengan yang lain, adalah hakekat ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang normatif  hakekat normatif  dari ilmu hukum menyebabkan dengan mudah memisahkan diri dari pengelompokannya di dalam ilmu-ilmu sosial yang diketahui mempunyai hakekat diskriptif.[4]
Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaic sosial dan kemanusian. Melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan lagi dengan keadilan. Melalui Marx, Holmes, Rawls dan yang lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, muncul kehendak meninggalkan tradisi analitycal jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan (yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek), dirangkul kembali dalam pemikiran hukum. Di sinilah muncul gagasan Frei Rechtslehre, sociological jurisprudence, realistic jurisprudence, critical legal theory, hukum responsive, dan juga hukum progresif. Kiranya jelas, rechtsdogmatiek, yang masih dianut kuat dalam dunia hukum di Indonesia, merupakan salah satu tipe saja dari sekian ragam pemikiran tentang hukum sepanjang peradaban manusia.[5]
The Sociological Jurisprudence[6]. Pound bangkit untuk mengedepankan pendapat bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat. Bersetuju pada alur pemikiran seorang sosiolog Amerika bernama Edward Ross yang amat berpengaruh pada masa itu, Pound mengatakan bahwa pada hakikatnya hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif.[7] Berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, hukum akan dapat menjaga stabilitas dan keseimbangan-keseimbangan dalam masyarakat. Bukan proses terjadinya putusan-putusan hukum lewat deduksi yang dikatakan mekanika, menurut irasionalitas formal itu yang harus dipandang penting. Bagi Pound yang lebih penting untuk dicermati adalah hasil kerja hukum itu. Seberapa jauh putusan-putusan hukum berpengaruh positif pada kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dari argumen yang berkembang seperti inilah lahir pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of social engineering.[8] 
            Menurut catatan Nonet-Selzick, masa dua puluh tahun terakhir, merupakan masa bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaruan[9].
            Dalam konteks itulah, hukum responsife menurut Nonet-Selznick, merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang[10]. Jadi teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimiliknya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial[11]. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu[12].
            Dalam hubungan ini kita lalu teringat pada analisa Francois Geny (Freidmann, 1953;231), yang menguliti lembaga-lembaga hukum sehingga ditemukannya beberapa unsur yang membentuknya dan yang  disebutnya sebagai ‘donnes’, sebagai berikut :
1.      Le donne reel, bahwa hukum positif itu berdasar pada kenyataan psikologis dan fisis tertentu, seperti seks, iklim, tradisi, kebiasaan social rakyat dan sebagainya.
2.      Le donne historique, berupa semua kenyataan, tradisi keadaan lingkungan yang membentuk kenyataan-kenyataan fisis dan psikologis tersebut menurut cara tertentu.
3.      Le donne rationnel, yang terdiri dari azas-azas yang dialirkan dari penalaran akal (reasonable consideration) mengenai hubungan-hubungan di antara manusia.
4.      Le donne ideal, yang memberikan unsur dinamika berupa semangat moral tertentu yang sedang dominan dalam suatu tertentu.[13]
Apabila melalui teknik-teknik hukum tertentu para ahli sarjana hukum akan mengacu bahan atau kenyataan yang ada sehingga terbentuklah bangunan-bangunan hukum yang memenuhi kebutuhan kebutuhan sosial.[14]
Untuk sekedar melengkapi bukti keterikatan pekerjaan hukum pada kenyataan-kenyataan sosial kita masih dapat menambahkan apa yang dilakukan para hakim pada waktu harus membuat keputusan. Keputusan hakim dilihat dalam konteks ini akan menampakan diri sebagai pemberian suatu kerangka hukum terhadap kenyataan sosial yang dipermasalahkan. Di dalam amar putusan akan dijumpai pertimbangan mengenai faktanya untuk kemudian disusul dengan pertimbangan mengenai hukumnya.[15]
Apa yang telah dikemukakan diatas telah memberitahukan bahwa, hukum memang tidak tunggal. Hukum yang berhakikat multi dimensi dan logika itu, tidak bisa dikaji oleh satu disiplin ilmu, ilmu hukum membutuhkan pengkajian interdisipliner. Intinya sekarang ialah dapat disimpulkan, apapun pertimbangan dan analisa hukum, hukum yang bersifat formal dan di dalam konteksnya tidak bisa meninggalkan dari kenyataan yang ada didalam lingkungan sosial dan/atau lingkungan masyarakatnya.
B.     Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial.
Mengikuti tradisi reine Rechtslehre atau rechtgeleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya tidaklah terbilang ke dalam kerabat sains. Ilmu hukum di Indonesia tidaklah ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science. Sekalipun ilmu ini memang benar bekerja dengan berpangkal dari – serta berseluk-beluk dengan proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud dengan positive legal di sini bukanlah hasil observasi –observasi dan/atau pengukuran –pengukuran atas gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive judgement – baik in abstracto maupun in concreto – oleh otoritas-otoritas tertentu yang berkewenangan. (Kata “positif” di sini nyata kalau lebih dekat ke makna “non-moral” atau “netral” daripada ke makna “empiris” atau “sesuatu yang observable”).[16]
Pemanfaatan dari ilmu-ilmu sosial didalam studi hukum nampaknya tidak dapat dilakukan begitu saja sebelum kita siap untuk menerimanya. Apabila seperti di muka diuraikan, aliran berpikir yang kita ikuti adalah analitis-positivistis, maka ilmu-ilmu sosial tidak akan dimanfaatkan. Ilmu-ilmu sosial baru benar-benar dibutuhkan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat. Dalam hal yang disebut terakhir ini, maka minat kita terutama akan tertarik kepada 2 hal, yaitu :
1.      Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, yaitu hanya melihat kejadian itu sebagai suatu perjalanan penerapan atau penafsiran peraturan-peraturan hukum saja. Melainkan, ia kita lihat sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial di dalam hukum. maka yang tengah berlangsung disitu adalah juga suatu proses interchanges dari kekuatan-kekuatan sektor-sektor kehidupan di dalam masyarakat. Misalnya kita akan melihat pekerjaan pengadilan adalah salah satu matarantai saja dari suatu proses sosial yang lebih besar. Lembaga pengadilan tidak berdiri sendiri secara otonom dengan cara menetapkan menurut pendapatnya sendiri apa yang merupakan hukum, melainkan ia sesungguhnya melakukan sebagian saja dari suatu rangkaian proses yang panjang. Pengadilan itu sesungguhnya menerima input-nya dari bidang-bidang atau sektor kehidupan lain di dalam masyarakat, seperti politik, ekonomi dan sebagainya. Demikian pula maka output yang dihasilkannya harus memperoleh tempatnya di dalam masyarakat.
2.      Sehubungan dengan apa yang telah disinggung di atas, maka kita juga akan tertarik untuk melihat tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankannya disitu. Berbicara tentang masalah tempat hukum itu di dalam masyarakat akan mengurangi pendapat bahwa hukum itu otonom dan dapat dipelajari sebagai demikian. Pernyataan mengenai tempat hukum itu di dalam masyarakat akan membawa kita kepada orientasi kearah sistem sosial yang lebih besar, tempat hukum itu termasuk di dalamnya.[17]

Sepakat dengan apa yang telah diuraikan diatas, bahwa kita melihat hukum bukan saja dari penerapan suatu hukum yang otonom atau berdiri sendiri, tapi hukum juga perlu masukan dari ilmu-ilmu lainya seperti sosial, politik, ekonomi, psikologi, dan antropologi.
Untuk memahami lebih jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial atau perilaku interaktif antar warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai variasi paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang makro dan klasik sampai ke teori aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir. Adapun metode kajian/penelitian yang hendak dipakai tentu saja bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnya juga amat berpengaruh di dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.[18]
Ilmu pengetahuan yang di peroleh melalui ilmu-ilmu sosial akan membentuk suatu peraturan hukum yang di harap-harapkan oleh masyarakat, dan suatu peraturan tersebut dalam perkembangannya lebih baik dalam pembuatan peraturan hukum.
C.       Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian makalah ini ialah, bahwa ilmu hukum tidaklah mungkin dapat bisa berjalan dengan sendirinya untuk bisa bekerja dengan baik, tanpa bantuan dari atau pendekatan dari ilmu-ilmu sosial secara lengkap. Dan ilmu hukum mau tidak mau, siap atau tidak siap harus mengakui atau menerima ilmu-ilmu sosial lainnya untuk bersama-sama berinteraksi satu sama lainnya. Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang selalu cepat berubah mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, ilmu hukum harus bersifat terbuka untuk menerima ilmu-ilmu sosial lainnya dan tidak bersifat normatif.
Pertanyaan apakah di masa mendatang ilmu hukum akan berkembang menjadi ilmu/sains social, ataukah “hanya” berkembang sejauh capainnya sebagai sociological jurisprudence, haruslah dijawab oleh para yuris sendiri. Namun perlu dicatat dan diingatkan terlebih dahulu, bahwa yang dimaksudkan dengan “para yuris” disini bukanlah hanya mereka yang berkhidmat di kampus-kampus fakultas hukum dan di semua jurusannya yang klasik tapi juga mereka yang berkhidmat di profesi-profesi praktis, yang di dalam menghadapi masalah-masalah hukum tidak hanya harus mendayagunakan logikanya berpikir yang formal – deduktif. Menghadapi masalah-masalah hukum yang rill dan beraspek sosio – kultural, kemahiran metodelogis untuk melakukan observasi berikut analisis-analisisnya – entah yang kuantitatif entah pula kualitatif – materi pula benar-benar taat kepada silogisme induksi.[19]


[1]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM & HUMA, Cetakan pertama November 2002, hal 113.
[2]. Ibid, hal. 114.
[3].  Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua
GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 10
[4]. ibid
[5]. Bernard L.Tanya Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Publising cetakan Ke III April 2010, hal 221
[6]. Sociological Jurisprudence dengan Roscoe Pound yang diakui banyak kalangan sebagai bapak pendirinya tumbuh-kembang pada dasawarsa awal abad 20. The Sociological Jurisprudence ini dirintis oleh Pound sebagai reaksi atas apa yang sejak tahun 1870-an diajarkan oleh C.Langdell dari Universitas Harvard. (baca; Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008)
[7]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008 mengutip dari Roscoe Pound, Social Control Through law (New York: Archon Books,1968), hal 41-49.
[8]. Ibid..
[9]. Philppe Nonet & Philip Selznick, Law and Society …. Seperti yang dikutip oleh Bernard L. Tanya dkk, Hal 211
[10]. ibid
[11]. ibid
[12]. ibid
[13]. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua
GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 12-13.
[14]. ibid
[15].ibid
[16]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008. Hal 57
[17]. Satjipto Rahardjo, Op cit Hal 18-19
[18]. Soetandyo Wignjosoebroto, Op cit  Hlm 62
[19]. Soetandyo Wignjosoebroto, Op cit hlm 64

Senin, 24 Oktober 2011

POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA


POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Oleh : Aditia Syaprillah
ABSTRAK
Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi, terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokok-tokoh masyarakat, dan para kritisi pembangunan. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, tujuan dari pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yang pertama isinya yang disingkat menjadi 6P, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasaan, dan penegakan hukum, untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Implementasi dari Undang-undang ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang lingkungan hidup secara terbuka.

Kata Kunci :  Pembangunan dan Lingkungan Hidup
A.                Pendahuluan
Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mula pertama, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku Building a Substainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui Brundtland, Our Common Future (1987).[1]
Untuk selama lebih dari satu dasawarsa masalah-masalah yang berkenaan dengan pencemaran lingkungan hidup manusia telah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari masyarakat internasional. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi, terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokok-tokoh masyarakat, dan para kritisi pembangunan. Dalam berbagai kesempatan pertemuan international rasa prihatin yang sangat beralasan itu sempat dituangkan ke dalam deklarasi-deklarasi[2] politik penting yang dapat dipandang sebagai kritik terhadap gaya-gaya pembangunan yang tidak memperdulikan tuntutan-tuntutan keseimbangan ekologis.[3] Dalam perkembangannya sampai hari ini pun paradigma pembangunan yang berkelanjutan yang di deklarasikan oleh para kaum politisi, kaum intellektual, dan pemerhati lingkungan di dunia tersebut tidak dijalankan sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama-sama tersebut bisa dibilang mengalami kegagalan. itu bisa dilihat dari kerusakan lingkungan (dampak dari Gas Rumah Kaca (GRK), semakin panasnya bumi, dan perubahan iklim) yang terjadi diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Menurut A Sonny Keraf penyebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, (a) paradigma tesebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. (b) mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme.[4]
            Ideologi developmentalisme[5] lebih mengutamakan kepentingan pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, walhasil dari pembangunan yang lebih memfokuskan kepada pertumbuhan ekonomi ialah terjadinya perampokan terhadap sumber daya alam[6] secara besar-besaran yang tidak lagi memperdulikan kelangsungan lingkungan hidup, dan dimana-mana terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan hidup yang di akibatkan oleh pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi belaka.
            Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan[7] tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Gagasan di balik itu adalah, pembangunan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya.[8]
            Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Di Indonesia sudah salah kaprah dalam memahami pembangunan yang berkelanjutan, pemahamannya disini ialah pemahaman yang hanya fokus terhadap pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya dalam pembangunan nasional. Sudah telah di singgung diatas bahwa pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi hanya membawa bangsa Indonesia kedalam kehancuran, kemiskinan, kebodohan, belum lagi terjangkit penyakit yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup oleh pihak perusahaan, dan menurunnya kualitas sumber daya alam yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat disekitar yang kehidupannya bergantung kepada sumber daya alam.[9] Jika kita melihat dari kerugian-kerugian sosial-budaya dan lingkungan hidup yang di timbulkan oleh pembangunan yang berkelanjutan dan lebih fokus terhadap pertumbuhan ekonomi, sangat tidak relevan dengan dampak yang di timbulkan tersebut,bila dibandingkan dengan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan sosial-budaya.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi, ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :[10] 1. Memberikan kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung meupun tidak langsung; 2. Memanfaatkan sumber alam sebanyak alam atau teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari; 3. Memberikan kesempatan kepada sector dan kegiatan lainnya untuk berkembang secara bersama-sama baik di daerah dan kurun waktu yang sama maupun di daerah dan kurun waktu yang berbeda secara sambung menyambung; 4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber alam dan melindungi serta mendukung perkehidupan secara terus menerus; 5. Menggunakan prosedur dn tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.
            Disini bisa dilihat bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi juga baik bagi perbaikan pendapatan per kapita dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai sumber daya alam yang begitu banyak dengan mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya alam, tapi tidak disadari bahwa akibat mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat mengakibat kerusakan lingkungan yang sangat besar belum lagi konflik sosial di tingkat masyarakat yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sangat berkaitan erat dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat, dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang baik dan benar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Dan penyelenggara Negara disini harus bekerja lebih baik lagi agar bisa memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut dengan memanfaatkan atau menguasai sumber daya alam tersebut dengan baik.
            Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Alenia IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan Negara ialah untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mewujudkan kesejahteraan umum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk mengusai seluruh sumber daya alam, yang secara jelas di sebutkan dalam Pasal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Bahwa sesungguhnya dalam penguasaan dan/atau kewenangan yang di miliki Negara dalam mengelola sumber daya alam harus memenuhi keinginan seluruh rakyat Indonesia.
            Seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa untuk mewujudkan Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Bukan berarti aspek ekonomi tidak penting, tapi bagaimana caranya untuk ketiga aspek ini bisa saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal pembangunan ekonomi harus disertai dengan aspek lingkungan hidup dan aspek sosial-budaya. Itu semua dapat diwujudkan dengan cara sebelum pembangunan itu dilaksanakan terutama pembangunan ekonomi, harus melalui kewajiban prosedur Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, administrasi dan perdata) yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup  No 32 Tahun 2009. Dan pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan prosedur dan administrasi yang baik, cermat dan teliti tersebut sehingga dapat dirasakan oleh generasi kini dan generasi yang akan datang.





B.                 POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Berdasarkan arti-arti politik dan asumsi-asumsi diatas maka studi politik hukum mencakup minimal tiga level:
1.      Level 1 : Politik hukum dalam arti legal policy: garis resmi Negara tentang hukum yang akan diberlakukan dan tak kan diberlakukan (membuat yang baru, mengganti yang lama)
2.      Level 2 : Politik hukum dalam arti pergulatan dan perdebatan politik yang kemudian melahirkan hukum berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik.
3.      Level 3 : Politik hukum dalam arti implementasi kebijakan hukum dilapangan.[11]

Politik hukum, secara sederhana, dapat di rumuskan sebagai :

“Kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan dan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik hukum mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembentukan dan penegakan hukum itu”.

Definisi hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi muatan dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.[12]
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara definisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[13]
Reformasi politik hukum, menurut Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), seharusnya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal, yaitu[14]:
a.       Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system);
b.      Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan professional;
c.       Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang kokoh;
d.      Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog) dan penekanan (pressure);
e.       Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh local civil society yang juga kuat (democratic decentralization) ;
f.       Adanya mekanisme resolusi konflik.

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan Konsideran mengingat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
            Bahwa hukum merupakan produk politik dapatlah difahami menakala difahami ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan :
(1)   Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
(2)   Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
(3)   Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4)   Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang
(5)   Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Dari beberapa uraian tentang definisi politik hukum, terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan di bangun.[15] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan dasar dari kebijakan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan :
            “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

            Pasal 33 ayat (3) menyebutkan :

            “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

            Pasal 33 ayat (4) menyebutkan :

            “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

            Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945, terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakan hukum negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam :
1.      Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam harus diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam.
2.      Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.
3.      Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam  dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan sarana untuk  mencapai pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan kemajuan ekonomi nasional.
5.      Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang.[16]

C.    Isi Pokok Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, pertama kalinya lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesuai dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat dalam memahami lingkungan hidup, sehingga materi muatan yang terkandung di dalam Undang-undang tersebut perlu di revisi atau di sempurnakan lagi, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang ini pun perlu di sempurnakan lagi karena tidak dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin hari semakin meningkat dan perlunya paradigma baru dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, lahir sebelum adanya otonomi daerah, karena yang kita semua ketahui sebelum lahirnya otonomi daerah semua kewenangan berada di pemerintah pusat termasuk kewenangan untuk mengatur lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, kewenangan pemerintah pusat di desentralisasikan ke pemerintah daerah, termasuk untuk mengatur lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dari hal-hal itu lah di perlukan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru yang lebih komprehensif, konsisten dan substansif isinya.
Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. secara filosofis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, ini memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.[17]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.[18]
Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, berbunyi :
“ Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.”
           
            Dalam kebijakan hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang baru ini, bahwa nampak jelas kontruksi dan alur pikir politik hukum sebagai legal policy, telah memuat cita-cita bangsa, tujuan negara, dan cita hukum. Kebijakan hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia bertujuan sebagai berikut :
1.      Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2.      Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3.      Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4.      Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5.      Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6.      Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7.      Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
8.      Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9.      Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10.  Mengantisipasi isu lingkungan global.[19]

Untuk mewujudkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yang pertama isinya yang disingkat menjadi 6P, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasaan, dan penegakan hukum,[20] untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Sebagai dasar pijakan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah perencanaan.[21] Dengan perencanaan yang baik dan benar, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan dapat berjalan dengan baik pula. Begitu juga dengan pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan penegakan hukum bisa baik dan benar kalau perencanaannya juga baik sebelumnya.
Selain perencanaan yang baik dan benar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kita juga bisa menjumpai di dalam Undang-Undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam.[22] Agar pemanfaatan sumber daya alam itu tidak rusak keberlanjutan proses, fungsi, produktivitas lingkungan hidup dan keselamatan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat, harus didasarkan oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tersebut untuk tetap menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dari keenam aspek penting perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada empat (4) aspek yang mempunyai posisi sangat strategis, yaitu (a) perencanaan sebagai dasar dari semua perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (b) pengendalian yang berisikan berbagai instrument penting yang menentukan keberhasilan kita dalam mencapai sasaran utama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; (c) pengawasan sebagai aspek atau faktor penting yang menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan (d) penegakan hukum sebagai aspek atau faktor paling penting yang menjamin keberhasilan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[23]
Selain empat (4) aspek diatas tadi yang menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, masih ada lagi instrumen penting lainnya yang mendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, yaitu pertama Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup yang meliputi : kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan hidup, UKL-UPL, izin lingkungan hidup, instrument ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan yang berbasis lingkungan hidup, anggaran yang berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, kedua Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan.
D.                Implementasi Kebijakan Hukum ( Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup)

Apa yang telah di bahas diatas merupakan isi pokok dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, ada sekikit hal yang perlu di kritisi dari Undang-undang tersebut ialah, Dalam pasal 46, berbunyi :
“ Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup”.

Dari ketentuan ini sangat merugikan rakyat dan pemerintah sendiri dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Yang kita ketahui bersama pada 2000-2008 banyak sekali kerusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam hal menjaga kelestarian lingkungan hidup, seperti illegal loging, kegiatan pertambangan batu bara yang tidak ada niat dari pengusaha tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok sumber daya alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak lobang-lobang yang mengnga-nga layak nya kolam air.
Pembicaraan mengenai komponen sistem penerapan hukum meliputi tiga komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi, jaksa, hakim, dan berbagai institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum secara administratif pada jajaran eksekutif.[24]
Sebaik apapun produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semuanya hanya tergantung dari instansi terkait atau pihak yang berkepentingan dari produk hukum tersebut harus mempunyai keahlian di bidang lingkungan hidup, serta penegakan hukum lingkungan yang harus jelas dan tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada dibawahnya dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri sangat di butuhkan dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
 Berdasarkan sub bab ini akan membahas implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup. A Sonny Keraf ada memberikan beberapa catatan penting dalam implementasi dari undang-undang lingkungan hidup yang baru tersebut, yaitu :
a.       Undang-undang ini jangan hanya dilihat sebagai perangkat hukum untuk mengamankan kepentingan lingkungan hidup belaka. Lebih dari itu, jangan pula dilihat sebagai batu sandungan bagi pembangunan dan kepentingan ekonomi di berbagai sektor.
b.       Demi menjalankan semua tugas dan kewenangan yang diatur di dalam undang-undang ini, disadari bahwa diperlukan sebuah institusi Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) yang baru, yaitu yang lebih mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Dan dukungan anggaran sangat besar untuk KNLH dalam menjalankan tanggung jawab, tugas, fungsi, dan kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-undang ini.
c.       Semua pemangku kepentingan (DPR, media massa, para pakar, dan pengiat lingkungan hidup serta lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup) diharapkan diajak untuk terlibat dalam satu dan lain bentuk sesuai dengan peran mereka masing-masing untuk bersama-sama mensukseskan implementasi Undang-undang ini sebagai sebuah mimpi dan jawaban bersama atas berbagai krisis dan bencana lingkungan hidup global. Dan KNLH harus bersedia untuk membuka diri dan merangkul berbagai pemangku kepentingan untuk berperan aktif mendukung pelaksanaan Undang-undang ini. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk menyakinkan sektor lain bahwa, pertama, lingkungan hidup merupakan masalah bersama yang sudah waktunya ditempatkan sebagai bagian utama dari arus utama pembangunan nasional, kedua, dibutuhkan undang-undang untuk mengontrol kita semua dalam rangka kegiatan pembangunan sedemikian rupa untuk tidak mengabaikan begitu saja masalah lingkungan hidup, ketiga, aktifitas ekonomi produktif tetap diberi tempat dan dijamin tidak akan diganggu gugat selama mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, keempat, Undang-undang ini tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat dan memperlambat laju pembangunan ekonomi nasional demi mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan Undang-undang ini perlu di dukung oleh semua sektor untuk kepentingan bersama seluruh rakyat Indonesia baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.[25]

E.     PENUTUP
1.      Perlunya perubahan paradigma pembangunan yang fokus terhadap pembangunan ekonomi saja harus di rubah/atau ditambah menjadi pembangunan yang melihat aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan.
2.      Perubahan budaya masyarakat harus lebih diarahkan cinta terhadap lingkungannya sendiri, selama budaya masyarakat kita yang antroposentrime atau yang merusak lingkungan maka sulit untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
3.      Berdasarkan apa yang telah di uraikan diatas, bahwa politik hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sudah hampir sempurna karna pembentukannya sudah lebih baik dari sebelumnya.
4.      Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, sebagai payung dari peraturan yang dibawahnya, belum memiliki Peraturan Pemerintah tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dalam hal pembuatan perizinan lingkungan hidup sudah saatnya dilakukan dengan pengkajian yang lebih baik lagi agar diperoleh data yang baik pula sebelum dilakukan pembangunan.
5.      Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berbasis lingkungan hidup.
6.      Perlunya penegakan hukum yang jelas bagi para pelaku/perusak lingkungan hidup agar menimbulkan efek jera dan diantara 3 sanksi (pidana, perdata dan administrasi) tersebut tidak adanya tumpang tindih.
7.      Dibutuhkan anggaran yang cukup besar dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.



[1]. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta 2010; hlm 190
[2]. Salah satu deklarasi tersebut ialah Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janerio, Brazil (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002) paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Lihat juga A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta 2010; hlm 190
[3]. Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Cetakan Pertama, Jakarta 1988, hlm; 131
[4]. Op cit. hlm 19
[5]. Pola Developmentalisme ialah yang mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi harus ditinggalkan dan diganti dengan sebuah pendekatan pembangunan yang holistic dan integrative dengan member perhatian serius kepada pembangunan sosial – budaya dan lingkungan hidup. Lihat juga A Sonny Keraf, Op cit hlm 193
[6]. Definisi SDA adalah yang diajukan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI (2006). Dalam definisi tersebut dinyatakan bahwa SDA adalah kesatuan tanah, air, dan ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya yang merupakan hasil proses alamiah baik hayati maupun nonhayati, terbarukan dan tidak terbarukan, sebagai fungsi kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan (Pasal 1, butir 1, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, 2006, hlm. 2). Dan lihat juga Pasal 1 Angka 9 UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[7]. World Commission on Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya baru dimulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring yang terbit pertama kali pada 1962. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Green Constitution
[8]. Hans-Joachim Hoehn, “Environmental Etnics and Enviromental Politics”, dalam Josef Thessing dan Wilhelm Hofmenister (ed), Environmental Protection as An Element of Order Policy (Rathausalle:Konrad-Adenauer Stiftung, 1996), hlm 64, seperti yang dikutip oleh A. Sonny Keraf, Op cit hlm 192
[9]. Lihat juga A. Sonny Keraf, Op cit, hlm 193-194
[10]. Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[11]. Mahfud MD, Bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII Yogjakarta, tanpa tahun, hlm 2
[12]. Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia; penerbit LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
 
[13]. Abdul Hakim Garuda Nusantara, seperti yang di kutip Oleh Mahfud MD, Ibid, hlm;
[14]. Koesnadi Hardjasoemantri, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003,hlm;3
[15]. Op Cit. hlm 9
 
[16].Edra Satmiadi, POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA (http://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/11/03/politik-hukum-pengelolaan-lingkungan-hidup-di-indonesia/)
 
[17].Siti Kotijah, Tag:Siti Kotijah, UU Nomor 32 Tahun 2009, Diterbitkan November 19, 2009 Artikel Dosen Ditutup
[18]. Penjelasan Umum 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
[19]. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
[20]. Pasal 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[21]. Lihat Bab III Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[22]. Lihat Bab IV Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[23]. A Sonny Keraf, Op cit hlm 254
[24]. Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem ; Penerbit CV. Mandar Maju,2003, Bandung, hlm; 165
[25]. A Sonny Keraf, Op cit hlm 287-291


(Mohon Saran dan Kritiknya, untuk kesempurnaan sebuah karya ilmiah)