Gagasan Muatan
Materi dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Oleh
: Aditia Syarillah.
Pendahuluan.
Gerakan reformasi tahun
1998 telah membawa bangsa Indonesia menuju suatu sistem pemerintahan yang jauh
berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum nya yaitu orde lama dan orde baru
yang kita ketahui bersama-sama bahwa kedua orde tersebut sama-sama berlindung
di balik konsitusi. Dan gerakan reformasi ini juga menginginkan sebuah
reformasi di bidang konstitusi (baca; perubahan UUD 1945).
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah mengapa UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang
otoriter dan korup. Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah karena UUD 1945
tidak memuat secara ketat materi-materi yang secara substantial harus ada pada
setiap konstitusi yakni perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi
penyelenggara negara.[1]
Perubahan UUD 1945, ada
beberapa prinsip-prinsip atau asas-asas yang tidak boleh dilakukan perubahan
atau di ganti dengan yang baru (mengikuti perkembangan zaman), karena para Founding Father yang tergabung dalam
BPUPKI dan berubah menjadi PPKI telah bersama-sama menyepakati beberapa asas
dan prinsip yang terkandung di dalam pembukaan dan isi dari (baca;pasal) di
dalam UUD 1945 tersebut.
Langkah terobosan yang
dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan
oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002).
Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga
legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan
terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan
yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk
memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.[2]
Lafran Pane,
mengemukakan ada empat hal yang tidak boleh di ubah dari UUD 1945, yaitu :[3]
1.
Dasar filsafat negara Pancasila, karena
sudah menjadi konsensus semua golongan di forum BPUPKI / PPKI dan dicantumkan
kedalam pembukaan UUD 1945.
2. Tujuan negara, karena dibentuknya sebuah
organisasi negara adalah untuk tujuan tertentu yang disepakati dan tertuang
dalam pembukaan UUD 1945.
3.
Asas negara hukum, karena negara yang
kita dirikan pada tahun 1945 adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan,
seperti tersirat dalam pembukaan dan ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945.
4.
Asas kedaulatan rakyat, karena negara
yang kita bentuk menginginkan rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan
keinginan rakyatlah yang harus menjadi pedoman penguasa dalam melakukan
tugasnya (tercantum dalam pembukaan)
5.
Asas negara kesatuan, karena meskipun
sebelum proklamasi terjadi perdebatan mengenai pilihan antara bentuk negara
kesatuan dan federal, tetapi kemudian disepakati bahwa bentuk negara yang kita
pilih adalah negara kesatuan yang meskipun tidak tercantum dalam pembukaan,
tetapi ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1).
6.
Asas republik karena meskipun juga
terjadi perdebatan pilihan mengenai bentuk pemerintahan republik ataupun
kerajaan di BPUPKI, tetapi kemudian disepakati sesuai yang tertuang dalam
pembukaan dan Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. Lagi pula pilihan ini cukup
antisipatif ke masa depan yang akan sulit mencari figur calon raja dan bentuk
kerajaan tidak lagi populer.
Berkaitan dengan dasar
filsafat pancasila, kita ketahui bersama merupakan sumber dari segala sumber hukum
di indonesia dan merupakan dasar negara, pancasila telah dapat berdiri kokoh
sampai sekarang, karena pancasila dapat menyelesaikan segala permasalahan yang
di hadapi bangsa indonesia. Dan bentuk dari negara hukum harus secara tegas di
sebutkan dalam UUD 1945, yang penulis ketahui bahwa, indonesia ialah negara
hukum, merupakan adopsi dari konsep Anglo Saxon (the rule of law) yang berbeda konsep dengan bangsa indonesia.
Negara hukum yang benar-benar mencerminkan budaya bangsa indonesia yang gotong
royong dan kekeluargaan.
Berdasarkan uraian
diatas bahwa perlunya perubahan konstitusi secara total, agar tidak menimbulkan
kekuasaan yang otoriter atau sistem pemerintahan yang berdasarkan kekuasaan
belaka, untuk itu dalam makalah ini akan disajikan tentang, apa-apa saja muatan
materi dalam perubahan UUD 1945 ?
Teori
Konstitusi
Dalam bukunya Politica, Aristoteles mengatakan :[4]
”
Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa
yang dimaksud dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat,
konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut. “
Konstitusi dalam ilmu
hukum sering menggunakan beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya,
ada kalanya untuk arti yang berbeda digunakan istilah yang sama. Selain
konstitusi dikenal atau digunakan juga beberapa istilah lain, seperti UUD dan
hukum dasar. Menurut Rukmana Amanwinata istilah[5]
“konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata
“constitutio” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda),
“constitutionel” (bahasa Perancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio”
(bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerika Serikat). Perkataan “Konstitusi”
berarti “pembentukan” berasal dari kata kerja “constituer” (bahasa Perancis)
yang berarti “membentuk”.[6]
Sementara itu, istilah UUD merupakan terjemahan dari perkataan Belanda grondwet. Dalam kepustakaan Belanda,
selain grondwet juga digunakan
istilah constitutie. Kedua istilah
tersebut mempunyai pengertian yang sama.[7]
Dalam bahasa Indonesia
dijumpai istilah hukum yang lain yaitu hukum dasar. Dalam perkembangannya
istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian sempit dan
pengertian yang luas.[8] Pengertian
konstitusi dalam arti sempit tidak menggambarkan seluruh kumpulan peraturan,
baik yang tertulis dan tidak tertulis (legal
and non legal) maupun yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu seperti
berlaku di Amerika Serikat.[9]
Konstitusi sebagai
kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Dasar. Sekedar catatan perlu juga diutarakan bahwa ada yang
memandang UUD itu bukan kaidah hukum melainkan kumpulan pernyataan (manifesto),
pernyataan tentang keyakinan, pernyataan cita-cita.[10]
E.C.S Wade mengertikan
konstitusi sebagai suatu dokumen yang merupakan kerangka dasar yang menampilkan
sanksi hukum khusus dan prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan
negara dan menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga
lain.[11]
Eric Barendt dalam
bukunya An Introduction to Constitutional
Law menyatakan :[12] Konstitusi
negara adalah dokumen tertulis atau teks yang mana secara garis besar mengatur
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta lembaga negara lainnya.
Menurut Black’s Law Dictionary pengertian
konstitusi adalah :[13]
“
Hukum dasar dan organik dari suatu bangsa atau negara dalam menetapkan konsep,
karakter, dan organisasi dari pemerintahannya, juga menjelaskan kekuasaan
kedaulatannya serta cara dari pengujiannya
”
Hans Kelsen mempertimbangkan
tatanan hukum nasional, konstitusi merupakan jenjang tertinggi hukum positif.
Disini konstitusi dipahami dalam pengertian material yakni :[14]
“
Kita memahami konstitusi sebagai norma atau sekumpulan norma positif yang
mengatur penciptaan norma-norma hukum. Konstitusi bisa diciptakan oleh adat
atau dengan tindakan tertentu yang dilakukan oleh satu atau sekelompok
individu, yakni melalui tindakan legislatif. Kostitusi dalam pengertian
material harus dibedakan dari konstitusi dalam pengertian formal, yakni sebuah
dokumen yang dinamakan Konstitusi yang, sebagai konstitusi tertulis, bisa
berisi tidak hanya norma-norma yang mengatur penciptaan norma hukum (yakni,
legislasi), namun juga norma-norma tentang subyek-subyek lain yang penting
secara politis; dan, selain itu, regulasi yang menurutnya norma-norma yang
terkandung di dalam dokumen ini dapat dihapus atau diubah-tidak sama dengan
undang-undang biasa, namun dengan prosedur khusus dan dengan persyaratan yang
lebih ketat”.
F. Lassale dalam
bukunya “Uber Verfaasungs Wesen”.
Membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu :[15]
1.
Pengertian sosiologis atau politis (Sosiologische atau Politische Begrip),
konstitusi adalah sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereclemachtsfactoren) dalam masyarakat.
Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut
diantaranya : Raja, Parlemen, Kabinet, Pressure Group, Partai Politik dan
lain-lain. Itulah yang sesungguhnya dimuat konstitusi
2.
Pengertian yuridis (juridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah memuat semua
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Menurut penganut paham
modern yakni C.F. Strong dan James Bryce menyamakan pengertian konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar, mengemukakan bahwa yang terpenting adalah mengenai
isi atau materi muatan dari konstitusi. Dan James Bryce menyatakan konstitusi
adalah :[16]
1.
Pengaturan mengenai pendirian
lembaga-lembaga yang permanen.
2.
Fungsi dari alat-alat kelengkapan.
3.
Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C. F. Strong
melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut :[17]
“
Constitution is a collection of principle
according to which the power of the goverment, the right of the governed, and
the relations between the two are adjusted.”
Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :
1.
Kekuasaan pemerintah (dalam arti luas)
2.
Hak-hak dari yang diperintah
3.
Hubungan antara pemerintah dan yang
diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia)
Sementara itu menurut
Jimly Asshiddiqie, konstitusi dalam fungsinya sebagai dokumen ‘civil religion’, konstitusi dapat
difungsikan sebagai sarana pengendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan.
Dalam praktek, memang dapat dikemukakan adanya dua aliran pemikiran mengenai
konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan konstitusi hanya sebagai dokumen
yang memuat norma-norma hidup dalam kenyataan. Kebanyakan konstitusi
dimaksudkan untuk sekedar mendeskripsikan kenyataan-kenyataan normatif yang ada
ketika konstitusi itu dirumuskan (to
describe present reality). Di samping itu, banyak juga konstitusi yang
bersifat ‘prospective’ dengan
mengartikulasikan cita-cita atau keinginan-keinginan ideal masyarakat yang
dijalaninya. Banyak konstitusi negara-negara modern yang juga merumuskan
tujuan-tujuan sosial ekonomi, belum dapat diwujudkan atau dicapai dalam
masyarakat menjadi materi muatan konstitusi. Konstitusi di lingkungan
negara-negara yang menganut paham sosialis atau dipengaruhi oleh aliran
sosialisme, biasa memuat ketentuan mengenai hal ini dalam rumusan konstitusi.
Hal ini lah yang Jimly Asshiddiqie sebut sebagai ‘economic constitution’ dan ‘social
constitution’ dalam bukunya Gagasan
Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia.[18]
Adapun fungsi-fungsi
konstitusi dapat di rinci sebagai berikut :[19]
1.
Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan
organ negara.
2.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar
organ negara.
3.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar
organ negara dengan warga negara
4.
Fungsi pemberi atau sumber legitimasi
terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5.
Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan
dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat)
kepada organ negara.
6.
Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
7.
Fungsi simbolik sebagai rujukan
identitas dan keagungan kebangsaan (identity
of nation)
8.
Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony)
9.
Fungsi sebagai sarana pengendalian
masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya dibidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang
sosial dan ekonomi.
10. Fungsi
sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social engineering atau sosial
reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Materi
Muatan Konstitusi
Henc van Maarseveen dan
Ger van der Tang dalam sebuah studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia
dan yang dituangkan dalam buku dengan judul Written
Constitution, antara lain mengatakan bahwa :[20]
1.
Constitution
as a means of forming the state’s own political and legal system,
2.
Constitution
as a national document dan as a birth certificate dan bahkan as a sign of adulthood and independence.
Kedua ahli Hukum Tata
Negara Belanda di atas mengatakan, bahwa selain sebagai dokumen nasional,
konstitusi juga sebagai alat untuk membentuk politik dan sistem hukum negaranya
sendiri. Itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken Undang-Undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis
merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :[21]
1.
Hasil perjuangan politik bangsa di waktu
yang lampau;
2.
Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan bangsa;
3.
Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4.
Suatu keinginan, dengan mana
perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin.
Lebih lanjut Wheare
mengemukakan tentang apa yang seharusnya menjadi isi dari suatu konstitusi,
yaitu the very minimum, and that minimum to be rule of law.[22]
Wheare tidak menguraikan secara jelas apa yang seharusnya menjadi materi muatan
pokok dari suatu konstitusi. Ia mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar
dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus
sesingkat mungkin untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk
Undang-Undang Dasar dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam
konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu
Undang-Undang Dasar, sehingga hasilnya akan dapat diterima baik oleh mereka
yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh Undang-Undang
Dasar tersebut.[23]
Menurut Mr. J.G.
Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya menggambarkan
secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada
umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :[24]
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negaranya;
Kedua, ditetapkannya susunan
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
Ketiga,
adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Apabila kita pelajari
konstitusi-konstitusi yang ada di dunia, di dalamnya selalu dapat ditemukan
adanya pengaturan tiga kelompok materi – muatan, yaitu :[25]
1.
Adanya pengaturan tentang perlindungan
hak asasi manusia dan warganegara;
2.
Adanya pengaturan tentang susunan
ketatanegaraan suatu negara yang mendasar, dan
3.
Adanya pembatasan dan pembagian
tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Selain hal-hal
tersebut, konstitusi sebagai sebuah dokumen formal mengandung substansi :[26]
1.
Hasil perjuangan politik bangsa di waktu
yang lampau;
2.
Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
3.
Suatu keinginan (kehendak), dengan mana
perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin; dan
4.
Tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan bangsa.
Menurut Mirian
Budiardjo, biasanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai
berikut :[27]
1.
Organisasi negara, misalnya pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di
antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (misalnya federal atau negara
kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah
negara bagian atau antara pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu UUD
memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah
satu badan negara atau pemerintah dan sebagainya. Dalam arti ini UUD mempunyai
kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
2.
Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Right kalau berbentuk naskah
tersendiri)
3.
Prosedur mengubah UUD (amandemen).
4.
Adakalanya memuat larangan untuk
mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD
ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti
mislanya munculnya sorang diktator atau kembalinya suatu monarki. Misalnya, UUD
Federasi Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan
bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang
diktator seperti hitler.
5.
Merupakan aturan hukum yang tertinggi
yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali.
Perubahan UUD 1945 dari
yang pertama (1999) sampai yang terakhir yaitu yang keempat (2002), banyak
perubahan dari materi UUD 1945 yang telah berubah, baik perubahan rumusan,
perubahan letak, maupun ketentuan-ketentuan baru.
1.
Jumlah Bab, dari 16 Bab menjadi 22 Bab,
dihapus satu (Bab IV).
2.
Jumlah pasal, dari 37 Pasal, 4 Pasal
Aturan Peralihan dan satu Aturan Tambahan, menjadi 73 Pasal (36 Pasal baru), 3
Pasal Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan.
Hanya ada beberapa
pasal yang tidak mengalami perubahan yaitu : Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal
25, Pasal 29, dan Pasal 35 (6 pasal). Pasal 22, dan Pasal 36 tidak mengalami
perubahan rumusan, tapi mendapat tambahan pasal.[28]
Tujuan
penyempurnaan UUD 1945, ialah untuk menciptakan era baru dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegera yang lebih baik, dalam arti lebih
demokratis, lebih berkeadilan sosial dan lebih berprikemanusiaan, sesuai dengan
komitmen para pendiri republik ini, setelah terbukti bahwa menggunakan UUD 1945
yang banyak mengandung kelemahan kita selama empat dasawarsa terjebak dalam
absolutisme kekuasaan negara dan selalu menimbulkan krisis konstitusional.[29]
Pembahasan.
Ada beberapa alasan
mengapa UUD 1945 perlu disempurnakan dalam rangka reformasi hukum pasca orde
baru, yaitu :[30]
a.
Alasan historis, sejak semula dalam
sejarahnya UUD 1945, memang didesain oleh para pendiri negara kita (BPUPKI,
PPKI) sebagai UUD yang bersifat sementara, karena dibuat dan ditetapkan dalam
suasana ketergesa-gesaan;
b.
Alasan filosofis, dalam UUD 1945 telah
terdapat pencampuradukan berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti
faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik antara negara hukum dengan
faham negara kekuasaan;
c.
Alasan teoritis, dari sudut pandang
teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara
pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak
sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan
tersebut, melainkan menonjolkan pengintegrasian.
d.
Alasan yuridis sebagaimana lazimnya
setiap kostitusi UUD 1945 juga mencantumkan klausula seperti dalam Pasal 37.
e.
Alasan praktis politis, bahwa secara
sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, dalam praktek UUD 1945
sudah sering mengalami perubahan dan atau penambahan yang menyimpang dari teks
aslinya dari masa 1945-1949, maupun 1959-1998.
Esensi
konstitusionalisme, dengan demikian, minimal terdiri atas dua hal : Pertama, konsepsi negara hukum yang
menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan
pemerintah yang karenanya hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan
politik; Kedua, konsepsi hak-hak
sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah
jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar
legitimasinya hanya dapat diperoleh oleh konstitusi.[31]
Terkait dengan kedua ciri minimal itu maka beberapa hal yang harus ditegaskan
di dalam konstitusi adalah : pertama,
public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi; kedua, pelaksanaan kedaulatan rakyat
(melalui perwakilan) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan
pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis; ketiga, pemisahan atau pembagian
kekuasaan serta pembatasan wewenang; keempat,
adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan
keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa; kelima, adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk
menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat; keenam, adanya jaminan perlindungan atas HAM.[32]
Mahfud MD menambahkan
bahwa selain keharusan adanya penegasan atas hal-hal tersebut konstitusi juga,
dengan demikian, memuat penegasan atau jaminan tentang hal-hal yang senada
dengan itu yakni :[33]
1.
Supremasi hukum dalam arti memberi
posisi sentral pada hukum sebagai pedoman dan pengarah menurut hierarkisnya dan
menegakkannya tanpa pandang bulu;
2.
Pengambilan keputusan secara legal oleh
pemerintah dalam arti bahwa setiap keputusan haruslah sah baik
formal-proseduralnya maupun substansinya;
3.
Jaminan atas rakyat untuk menikmati
hak-haknya secara bebas berdasarkan ketentuan hukum yang adil;
4.
Kebebasan pers untuk mengungkap dan
mengekspresikan kehendak, kejadian, dan aspirasi yang berkembang di dalam
masyarakat maupun aspirasi institusi pers itu sendiri;
5.
Partisipasi masyarakat dalam setiap
proses kenegaraan;
6.
Pembuatan kebijakan yang tidak
diskriminatif terhadap golongan, gender, agama, ras dan ikatan primordial
lainnya;
7.
Akuntabilitas pemerintah terhadap
masyarakat;
8.
Terbukanya akses masyarakat bagi
keputusan-keputusan negara dan pemerintah.
Abdul Hakim Garuda
Nusantara, seorang praktisi hukum, menyebut lima pokok masalah yang perlu masuk
ke dalam UUD 1945 pasca perubahan, Pertama,
amandemen yang memuat hak-hak dasar manusia yang meliputi hak sipil, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Kedua, amandemen yang memuat tugas, wewenang, dan tanggung jawab
presiden. Di situ juga memuat penegasan bahwa presiden dipilih langsung oleh
rakyat. Ketiga, amandemen menyangkut
tugas, kedudukan, wewenang, dan fungsi MPR dan DPR. Keempat, amandemen yang memuat kedudukan wewenang, dan fungsi
kekuasaaan kehakiman. Dalam amandemen ini dijamin kemandirian dan independensi
badan peradilan. Kelima, amandemen
mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi TNI.[34]
Upaya untuk perubahan
UUD 1945, sesungguhnya bukan sekedar perbaikan formulasi dan substansi, tetapi
harus merupakan perubahan paradigmatik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara, antara lain :[35]
a.
Dari paradigma negara ke paradigma
masyarakat dengan semangat penguatan civil
society;
b.
Dari paradigma integralistik ke
paradigma kedaulatan rakyat / demokrasi dengan penghormatan hak-hak asasi;
c.
Dari paradigma negara kekuasaan ke
paradigma negara hukum dengan semangat supremasi hukum yang adil dan responsif;
d.
Dari paradigma pemusatan kekuasaan ke
paradigma pembagian kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan dan “power
limit power”
e.
Dari paradigma sentralisasi ke paradigma
desentralisasi dengan semangat pemberdayaan bukan memperdayakan dan kemandirian
bukan ketergantungan; dan
f.
Dari paradigma monolitik ke paradigma
pluralistik dengan semangat nondiskriminasi.
Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, terdapat empat pokok pikiran, yaitu :
1.
Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan atas dasar persatuan;
2.
Negara hendak mewujudkan keadilan;
3.
Negara yang berkedaulatan rakyat,
berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan; dan
4.
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dari empat kali
perubahan yang telah dilakukan, dapat dikelompokan sebagai berikut :[36]
1.
Perubahan yang bersifat peralihan kekuasaan. Misalnya peralihan
kekuasaan membentuk undang-undang. Menurut ketentuan asli, kekuasaan membentuk
undang-undang secara harfiah ada pada presiden. Sekarang kekuasaan membentuk
undang-undang ada ada DPR.
2.
Perubahan yang bersifat penegasan pembatasan kekuasaan. Misalnya,
Presiden dan Wakil Presiden hanyan dapat memangku jabatan paling lama dua kali
masa jabatan berturut-turut.
3.
Perubahan yang bersifat pengimbangan kekuasaan. Misalnya,
soal-soal yang berkaitan dengan pemberian amnesti, abolisi, pengangkatan duta
dan penerimaan perwakilan negara asing mengindahkan pendapat DPR. Perubahan ini
agak berlebihan karena tidak sesuai dengan kelaziman.
4.
Perubahan yang bersifat rincian atau penegasan ketentuan yang sudah
ada. Misalnya, semua anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, prinsip
tersebut telah ada dalam UUD, tetapi selama ini tidak dijalankan sebagaimana
mestinya.
5.
Perubahan yang bersifat tambahan sebagai sesuatu yang baru.
Misalnya, bab tentang pertahanan dan keamanan, bab mengenai Pemilihan Umum, bab
mengenai BPK, dan Lain-lain.
6.
Perubahan yang bersifat meniadakan hal-hal yang tidak perlu.
Misalnya, penghapusan Penjelasan dalam UUD 1945.
7.
Peruabahan yang bersifat membangun paradigma baru. Misalnya,
dalam membentuk undang-undang penyelenggaraan otonomi.
Pokok-pokok pikiran
yang meliputi suasana kebatinan konstitusi negara mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran
tersebut diwujudkan dalam pasal-pasal undang-undang dasar.[37]
Penulis berpendapat bahwa dalam muatan materi UUD 1945 sebaiknya mengacu kepada
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan pancasila,
agar tercipta konstitusi yang bener-bener mencerminkan ide / nilai dari suatu
bangsa indonesia.
Sidang MPR tahun 2002
memutuskan membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas menata hasil-hasil
perubahan. Tetapi dari berita-berita yang tersiar dan keterangan anggota,
Komisi Konstitusi memasukan juga asal-usul perubahan, termasuk penambahan
materi muatan baru. Perubahan-perubahan dimasa yang akan datang akan mencakup :[38]
a.
Perubahan tata letak (sistematik);
b.
Perubahan redaktur (rumusan) agar lebih
baku dan normatif;
c.
Perubahan teknik penulisan;
d.
Perubahan istilah-istilah agar lebih
baku menurut bahasa hukum;
e.
Penghapusan ketentuan tertentu; dan
f.
Penambahan-penambahan
Kesimpulan
Dengan
adanya reformasi (1998), beberapa pihak golongan dan kelompok untuk mendorong
adanya perubahan konstitusi (baca; UUD 1945). Dimulai dengan perubahan pertama
(1999), perubahan kedua (2000), perubahan ketiga (2001) dan yang terakhir
perubahan keempat (2002). Walaupun sudah empat kali mengalami perubahan, ada
beberapa bagian yang tidak mungkin bisa dirubah karena kesepakatan dari pendiri
bangsa pada saat penyusunan konstitusi (sidang BPUPKI) yaitu Pembukaan UUD
1945, Dasar filsafat negara Pancasila, Tujuan negara, Asas negara hukum, Asas
kedaulatan rakyat, Asas negara kesatuan, dan Asas republik.
Dalam
hal perubahan konstitusi, ada beberapa hal yang perlu di masukin kedalam materi
muatan, yaitu Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan
warganegara; Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang
mendasar, dan Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang
juga mendasar.
demikian lah makalah yang penulis buat sebagai syarat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Bapak Dr. Saifuddin, mata kuliah Teori Hukum & Konstitusi. dalam penulisan makalah ini penulis merasakan banyak kekurangannya dari isi dan analisis, di kiranya saya memohon kritik dan sarannya dalam hal untuk pengembangan ilmu hukum khususnya teori hukum konstitusi.
Wassalam. Terima kasih
[1].
Mahfud MD, Amandemen Konstitusi menuju
Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal 54
[2].
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 134
[3].
Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi
Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Penerbit In-TRANS, Malang, 2003, hal 41
[4].
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis
Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Penerbit Universitas Indonesia
Press, Jakarta, 1995, hal 21
[5].
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas
Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam pasal 28 UUD 1945,
yang di Kutip Oleh Ellydar Chaidir, Hukum
dan Teori Konstitusi, ToTal Media, Yogyakarta, januari, 2007. Hal 20-21
[6].
Wirjono Prodjokoro, Azas-azas Hukum Tata
Negara Indonesia, Ibid. Hal 21
[7].
Sri Soemantri, UUD 1945 Kedudukan dan
Artinya Dalam Kehidupan Bernegara, Ibid.
[8].
Ibid.
[9].
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan
Antar Hukum Tata Negara, Ibid.
Hal 22
[10]. Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Ibid. Hal 32
[11].
E.C.S. Wade & G. Godfray Philips, Constitutional
Law, Ibid. Hal 33
[12].
Eric Barendt, Introduction ...., Ibid. Hal 33
[13].
Bryan A. Garner, Black Law Dictionary,
Ibid. Hal 35
[14].
Hans Kalsen, Teori Hukum Murni
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,
Cetakan Ketiga, September, 2007, hal 244-245
[15].
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas
Hukum Tata Negara, yang dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konsitusi, Cetakan Keempat (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004), hal
10
[16].
C. F. Strong, Modern Political
Constitution, Ibid. Hal 12
[17].
Ibid
[18].
Jimly Asshiddiqie, Konstitusinalisme,
Cita Negara Hukum dan Keniscayaan NKRI, Orasi Ilmiah dalam Rangka Dies
Natalies Universitas Nasional dan Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma
III, Jakarta, 11 Oktober, 2004, hal 10-11
[19].
Ibid. Hal 12-13
[20].
Sri Soemantri, Fungsi Konstitusi Dalam
Pembatasan Kekuasaan, yang dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Op Cit, hal 14
[21].
Sri Soemantri, Prosedur..., Ibid, hal 15
[22].
K. C Wheare, Modern..., Ibid
[23].
H. Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum
Konstitusi, hal 16
[24].
Sri Soemantri M, Prosedur..., yang
dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Teori
dan Hukum Konstitusi, hal 16
[25].
Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 194
Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, UNPAD Press, Bandung, 2002, hal 3
[26]. Ibid,
hal 4
[27].
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi Revisi, Jakarta, 2008, hal 177-178
[28]. Bagir
Manan, Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945,
FH UII PRESS, Yogyakarta, 2004, hal 94
[29].
Mukthie Fadjar, Loc it, hal 40
[30].
Ibid, hal 39
[31].
Soetandyo Wignjosoebroto, Konstitusi dan
Konstitusionalisme, Seperti yang dikutip oleh Mahfud MD, Loc It, Hal 61
[32].
Bambang Widjoyanto, Reformasi Konstitusi,
seperti yang dikutip oleh Mahfud Md, Ibid
[33].
Ibid.
[34].
Kompas, 15 Juli 1999, seperti yang dikutip oleh Slamet Efenndy Yusuf dan Umar
Basalaim, Reformasi Konstitusi Indonesia,
Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, hal; 34
[35].
Mukthie Fadjar, Op Cit, hal 46-47
[36].
Bagir Manan, Op cit, hal 93-94
[37].
Sri Soemantari, Undang-Undang Dasar 194
Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Op
cit, hal 49
[38]. Bagir
Manan, Loc it, hal 95