Sabtu, 25 Februari 2012

Teori Hukum dan Konstitusi


Gagasan Muatan Materi dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh : Aditia Syarillah.
Pendahuluan.
Gerakan reformasi tahun 1998 telah membawa bangsa Indonesia menuju suatu sistem pemerintahan yang jauh berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum nya yaitu orde lama dan orde baru yang kita ketahui bersama-sama bahwa kedua orde tersebut sama-sama berlindung di balik konsitusi. Dan gerakan reformasi ini juga menginginkan sebuah reformasi di bidang konstitusi (baca; perubahan UUD 1945).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah karena UUD 1945 tidak memuat secara ketat materi-materi yang secara substantial harus ada pada setiap konstitusi yakni perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi penyelenggara negara.[1]
Perubahan UUD 1945, ada beberapa prinsip-prinsip atau asas-asas yang tidak boleh dilakukan perubahan atau di ganti dengan yang baru (mengikuti perkembangan zaman), karena para Founding Father yang tergabung dalam BPUPKI dan berubah menjadi PPKI telah bersama-sama menyepakati beberapa asas dan prinsip yang terkandung di dalam pembukaan dan isi dari (baca;pasal) di dalam UUD 1945 tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.[2]
Lafran Pane, mengemukakan ada empat hal yang tidak boleh di ubah dari UUD 1945, yaitu :[3]
1.        Dasar filsafat negara Pancasila, karena sudah menjadi konsensus semua golongan di forum BPUPKI / PPKI dan dicantumkan kedalam pembukaan UUD 1945.
2.     Tujuan negara, karena dibentuknya sebuah organisasi negara adalah untuk tujuan tertentu yang disepakati dan tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
3.        Asas negara hukum, karena negara yang kita dirikan pada tahun 1945 adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, seperti tersirat dalam pembukaan dan ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945.
4.        Asas kedaulatan rakyat, karena negara yang kita bentuk menginginkan rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan keinginan rakyatlah yang harus menjadi pedoman penguasa dalam melakukan tugasnya (tercantum dalam pembukaan)
5.        Asas negara kesatuan, karena meskipun sebelum proklamasi terjadi perdebatan mengenai pilihan antara bentuk negara kesatuan dan federal, tetapi kemudian disepakati bahwa bentuk negara yang kita pilih adalah negara kesatuan yang meskipun tidak tercantum dalam pembukaan, tetapi ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1).
6.        Asas republik karena meskipun juga terjadi perdebatan pilihan mengenai bentuk pemerintahan republik ataupun kerajaan di BPUPKI, tetapi kemudian disepakati sesuai yang tertuang dalam pembukaan dan Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. Lagi pula pilihan ini cukup antisipatif ke masa depan yang akan sulit mencari figur calon raja dan bentuk kerajaan tidak lagi populer.  
Berkaitan dengan dasar filsafat pancasila, kita ketahui bersama merupakan sumber dari segala sumber hukum di indonesia dan merupakan dasar negara, pancasila telah dapat berdiri kokoh sampai sekarang, karena pancasila dapat menyelesaikan segala permasalahan yang di hadapi bangsa indonesia. Dan bentuk dari negara hukum harus secara tegas di sebutkan dalam UUD 1945, yang penulis ketahui bahwa, indonesia ialah negara hukum, merupakan adopsi dari konsep Anglo Saxon (the rule of law) yang berbeda konsep dengan bangsa indonesia. Negara hukum yang benar-benar mencerminkan budaya bangsa indonesia yang gotong royong dan kekeluargaan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa perlunya perubahan konstitusi secara total, agar tidak menimbulkan kekuasaan yang otoriter atau sistem pemerintahan yang berdasarkan kekuasaan belaka, untuk itu dalam makalah ini akan disajikan tentang, apa-apa saja muatan materi dalam perubahan UUD 1945 ?

Teori Konstitusi
Dalam bukunya Politica, Aristoteles mengatakan :[4]
” Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksud dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. “
Konstitusi dalam ilmu hukum sering menggunakan beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya, ada kalanya untuk arti yang berbeda digunakan istilah yang sama. Selain konstitusi dikenal atau digunakan juga beberapa istilah lain, seperti UUD dan hukum dasar. Menurut Rukmana Amanwinata istilah[5] “konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitutio” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionel” (bahasa Perancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerika Serikat). Perkataan “Konstitusi” berarti “pembentukan” berasal dari kata kerja “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti “membentuk”.[6] Sementara itu, istilah UUD merupakan terjemahan dari perkataan Belanda grondwet. Dalam kepustakaan Belanda, selain grondwet juga digunakan istilah constitutie. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama.[7]
Dalam bahasa Indonesia dijumpai istilah hukum yang lain yaitu hukum dasar. Dalam perkembangannya istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian sempit dan pengertian yang luas.[8] Pengertian konstitusi dalam arti sempit tidak menggambarkan seluruh kumpulan peraturan, baik yang tertulis dan tidak tertulis (legal and non legal) maupun yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu seperti berlaku di Amerika Serikat.[9]
Konstitusi sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar. Sekedar catatan perlu juga diutarakan bahwa ada yang memandang UUD itu bukan kaidah hukum melainkan kumpulan pernyataan (manifesto), pernyataan tentang keyakinan, pernyataan cita-cita.[10]
E.C.S Wade mengertikan konstitusi sebagai suatu dokumen yang merupakan kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum khusus dan prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga lain.[11]
Eric Barendt dalam bukunya An Introduction to Constitutional Law menyatakan :[12] Konstitusi negara adalah dokumen tertulis atau teks yang mana secara garis besar mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta lembaga negara lainnya. 

Menurut Black’s Law Dictionary pengertian konstitusi adalah :[13]
“ Hukum dasar dan organik dari suatu bangsa atau negara dalam menetapkan konsep, karakter, dan organisasi dari pemerintahannya, juga menjelaskan kekuasaan kedaulatannya serta cara dari pengujiannya

Hans Kelsen mempertimbangkan tatanan hukum nasional, konstitusi merupakan jenjang tertinggi hukum positif. Disini konstitusi dipahami dalam pengertian material yakni :[14]
“ Kita memahami konstitusi sebagai norma atau sekumpulan norma positif yang mengatur penciptaan norma-norma hukum. Konstitusi bisa diciptakan oleh adat atau dengan tindakan tertentu yang dilakukan oleh satu atau sekelompok individu, yakni melalui tindakan legislatif. Kostitusi dalam pengertian material harus dibedakan dari konstitusi dalam pengertian formal, yakni sebuah dokumen yang dinamakan Konstitusi yang, sebagai konstitusi tertulis, bisa berisi tidak hanya norma-norma yang mengatur penciptaan norma hukum (yakni, legislasi), namun juga norma-norma tentang subyek-subyek lain yang penting secara politis; dan, selain itu, regulasi yang menurutnya norma-norma yang terkandung di dalam dokumen ini dapat dihapus atau diubah-tidak sama dengan undang-undang biasa, namun dengan prosedur khusus dan dengan persyaratan yang lebih ketat”.
F. Lassale dalam bukunya “Uber Verfaasungs Wesen”. Membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu :[15]
1.        Pengertian sosiologis atau politis (Sosiologische atau Politische Begrip), konstitusi adalah sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereclemachtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut diantaranya : Raja, Parlemen, Kabinet, Pressure Group, Partai Politik dan lain-lain. Itulah yang sesungguhnya dimuat konstitusi
2.        Pengertian yuridis (juridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Menurut penganut paham modern yakni C.F. Strong dan James Bryce menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, mengemukakan bahwa yang terpenting adalah mengenai isi atau materi muatan dari konstitusi. Dan James Bryce menyatakan konstitusi adalah :[16]
1.        Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2.        Fungsi dari alat-alat kelengkapan.
3.        Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C. F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut :[17]
Constitution is a collection of principle according to which the power of the goverment, the right of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :
1.        Kekuasaan pemerintah (dalam arti luas)
2.        Hak-hak dari yang diperintah
3.        Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia)
Sementara itu menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi dalam fungsinya sebagai dokumen ‘civil religion’, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan. Dalam praktek, memang dapat dikemukakan adanya dua aliran pemikiran mengenai konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan konstitusi hanya sebagai dokumen yang memuat norma-norma hidup dalam kenyataan. Kebanyakan konstitusi dimaksudkan untuk sekedar mendeskripsikan kenyataan-kenyataan normatif yang ada ketika konstitusi itu dirumuskan (to describe present reality). Di samping itu, banyak juga konstitusi yang bersifat ‘prospective’ dengan mengartikulasikan cita-cita atau keinginan-keinginan ideal masyarakat yang dijalaninya. Banyak konstitusi negara-negara modern yang juga merumuskan tujuan-tujuan sosial ekonomi, belum dapat diwujudkan atau dicapai dalam masyarakat menjadi materi muatan konstitusi. Konstitusi di lingkungan negara-negara yang menganut paham sosialis atau dipengaruhi oleh aliran sosialisme, biasa memuat ketentuan mengenai hal ini dalam rumusan konstitusi. Hal ini lah yang Jimly Asshiddiqie sebut sebagai ‘economic constitution’ dan ‘social constitution’ dalam bukunya Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia.[18]
Adapun fungsi-fungsi konstitusi dapat di rinci sebagai berikut :[19]
1.        Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2.        Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
3.        Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara
4.        Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5.        Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
6.        Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
7.        Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation)
8.        Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony)
9.        Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya dibidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
10.    Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social engineering atau sosial reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.

Materi Muatan Konstitusi
Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia dan yang dituangkan dalam buku dengan judul Written Constitution, antara lain mengatakan bahwa :[20]
1.      Constitution as a means of forming the state’s own political and legal system,
2.      Constitution as a national document dan as a birth certificate dan bahkan as a sign of adulthood and independence.
Kedua ahli Hukum Tata Negara Belanda di atas mengatakan, bahwa selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat untuk membentuk politik dan sistem hukum negaranya sendiri. Itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken Undang-Undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :[21]
1.        Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2.        Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3.        Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4.        Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin.
Lebih lanjut Wheare mengemukakan tentang apa yang seharusnya menjadi isi dari suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and that minimum to be rule of law.[22] Wheare tidak menguraikan secara jelas apa yang seharusnya menjadi materi muatan pokok dari suatu konstitusi. Ia mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-Undang Dasar dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu Undang-Undang Dasar, sehingga hasilnya akan dapat diterima baik oleh mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tersebut.[23]
Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :[24]
Pertama,         adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya;
Kedua,             ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
Ketiga,             adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Apabila kita pelajari konstitusi-konstitusi yang ada di dunia, di dalamnya selalu dapat ditemukan adanya pengaturan tiga kelompok materi – muatan, yaitu :[25]
1.        Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara;
2.        Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar, dan
3.        Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Selain hal-hal tersebut, konstitusi sebagai sebuah dokumen formal mengandung substansi :[26]
1.        Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2.        Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
3.        Suatu keinginan (kehendak), dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin; dan
4.        Tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
Menurut Mirian Budiardjo, biasanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut :[27]
1.        Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (misalnya federal atau negara kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian atau antara pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan negara atau pemerintah dan sebagainya. Dalam arti ini UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
2.        Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Right kalau berbentuk naskah tersendiri)
3.        Prosedur mengubah UUD (amandemen).
4.        Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti mislanya munculnya sorang diktator atau kembalinya suatu monarki. Misalnya, UUD Federasi Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti hitler.
5.        Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali.
Perubahan UUD 1945 dari yang pertama (1999) sampai yang terakhir yaitu yang keempat (2002), banyak perubahan dari materi UUD 1945 yang telah berubah, baik perubahan rumusan, perubahan letak, maupun ketentuan-ketentuan baru.
1.        Jumlah Bab, dari 16 Bab menjadi 22 Bab, dihapus satu (Bab IV).
2.        Jumlah pasal, dari 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan satu Aturan Tambahan, menjadi 73 Pasal (36 Pasal baru), 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan.
Hanya ada beberapa pasal yang tidak mengalami perubahan yaitu : Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 25, Pasal 29, dan Pasal 35 (6 pasal). Pasal 22, dan Pasal 36 tidak mengalami perubahan rumusan, tapi mendapat tambahan pasal.[28]
Tujuan penyempurnaan UUD 1945, ialah untuk menciptakan era baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera yang lebih baik, dalam arti lebih demokratis, lebih berkeadilan sosial dan lebih berprikemanusiaan, sesuai dengan komitmen para pendiri republik ini, setelah terbukti bahwa menggunakan UUD 1945 yang banyak mengandung kelemahan kita selama empat dasawarsa terjebak dalam absolutisme kekuasaan negara dan selalu menimbulkan krisis konstitusional.[29]

Pembahasan.
Ada beberapa alasan mengapa UUD 1945 perlu disempurnakan dalam rangka reformasi hukum pasca orde baru, yaitu :[30]
a.         Alasan historis, sejak semula dalam sejarahnya UUD 1945, memang didesain oleh para pendiri negara kita (BPUPKI, PPKI) sebagai UUD yang bersifat sementara, karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan;
b.        Alasan filosofis, dalam UUD 1945 telah terdapat pencampuradukan berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik antara negara hukum dengan faham negara kekuasaan;
c.         Alasan teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan menonjolkan pengintegrasian.
d.        Alasan yuridis sebagaimana lazimnya setiap kostitusi UUD 1945 juga mencantumkan klausula seperti dalam Pasal 37.
e.         Alasan praktis politis, bahwa secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, dalam praktek UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dan atau penambahan yang menyimpang dari teks aslinya dari masa 1945-1949, maupun 1959-1998.
Esensi konstitusionalisme, dengan demikian, minimal terdiri atas dua hal : Pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan politik; Kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh oleh konstitusi.[31] Terkait dengan kedua ciri minimal itu maka beberapa hal yang harus ditegaskan di dalam konstitusi adalah : pertama, public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi; kedua, pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis; ketiga, pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang; keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa; kelima, adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat; keenam, adanya jaminan perlindungan atas HAM.[32]
Mahfud MD menambahkan bahwa selain keharusan adanya penegasan atas hal-hal tersebut konstitusi juga, dengan demikian, memuat penegasan atau jaminan tentang hal-hal yang senada dengan itu yakni :[33]
1.        Supremasi hukum dalam arti memberi posisi sentral pada hukum sebagai pedoman dan pengarah menurut hierarkisnya dan menegakkannya tanpa pandang bulu;
2.        Pengambilan keputusan secara legal oleh pemerintah dalam arti bahwa setiap keputusan haruslah sah baik formal-proseduralnya maupun substansinya;
3.        Jaminan atas rakyat untuk menikmati hak-haknya secara bebas berdasarkan ketentuan hukum yang adil;
4.        Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekspresikan kehendak, kejadian, dan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat maupun aspirasi institusi pers itu sendiri;
5.        Partisipasi masyarakat dalam setiap proses kenegaraan;
6.        Pembuatan kebijakan yang tidak diskriminatif terhadap golongan, gender, agama, ras dan ikatan primordial lainnya;
7.        Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat;
8.        Terbukanya akses masyarakat bagi keputusan-keputusan negara dan pemerintah.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, seorang praktisi hukum, menyebut lima pokok masalah yang perlu masuk ke dalam UUD 1945 pasca perubahan, Pertama, amandemen yang memuat hak-hak dasar manusia yang meliputi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Kedua, amandemen yang memuat tugas, wewenang, dan tanggung jawab presiden. Di situ juga memuat penegasan bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, amandemen menyangkut tugas, kedudukan, wewenang, dan fungsi MPR dan DPR. Keempat, amandemen yang memuat kedudukan wewenang, dan fungsi kekuasaaan kehakiman. Dalam amandemen ini dijamin kemandirian dan independensi badan peradilan. Kelima, amandemen mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi TNI.[34]
Upaya untuk perubahan UUD 1945, sesungguhnya bukan sekedar perbaikan formulasi dan substansi, tetapi harus merupakan perubahan paradigmatik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, antara lain :[35]
a.         Dari paradigma negara ke paradigma masyarakat dengan semangat penguatan civil society;
b.        Dari paradigma integralistik ke paradigma kedaulatan rakyat / demokrasi dengan penghormatan hak-hak asasi;
c.         Dari paradigma negara kekuasaan ke paradigma negara hukum dengan semangat supremasi hukum yang adil dan responsif;
d.        Dari paradigma pemusatan kekuasaan ke paradigma pembagian kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan dan  “power limit power
e.         Dari paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi dengan semangat pemberdayaan bukan memperdayakan dan kemandirian bukan ketergantungan; dan
f.         Dari paradigma monolitik ke paradigma pluralistik dengan semangat nondiskriminasi.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat empat pokok pikiran, yaitu :
1.        Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan atas dasar persatuan;
2.        Negara hendak mewujudkan keadilan;
3.        Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan; dan
4.        Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dari empat kali perubahan yang telah dilakukan, dapat dikelompokan sebagai berikut :[36]
1.        Perubahan yang bersifat peralihan kekuasaan. Misalnya peralihan kekuasaan membentuk undang-undang. Menurut ketentuan asli, kekuasaan membentuk undang-undang secara harfiah ada pada presiden. Sekarang kekuasaan membentuk undang-undang ada ada DPR.
2.        Perubahan yang bersifat penegasan pembatasan kekuasaan. Misalnya, Presiden dan Wakil Presiden hanyan dapat memangku jabatan paling lama dua kali masa jabatan berturut-turut.
3.        Perubahan yang bersifat pengimbangan kekuasaan. Misalnya, soal-soal yang berkaitan dengan pemberian amnesti, abolisi, pengangkatan duta dan penerimaan perwakilan negara asing mengindahkan pendapat DPR. Perubahan ini agak berlebihan karena tidak sesuai dengan kelaziman.
4.        Perubahan yang bersifat rincian atau penegasan ketentuan yang sudah ada. Misalnya, semua anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, prinsip tersebut telah ada dalam UUD, tetapi selama ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
5.        Perubahan yang bersifat tambahan sebagai sesuatu yang baru. Misalnya, bab tentang pertahanan dan keamanan, bab mengenai Pemilihan Umum, bab mengenai BPK, dan Lain-lain.
6.        Perubahan yang bersifat meniadakan hal-hal yang tidak perlu. Misalnya, penghapusan Penjelasan dalam UUD 1945.
7.        Peruabahan yang bersifat membangun paradigma baru. Misalnya, dalam membentuk undang-undang penyelenggaraan otonomi.
Pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan konstitusi negara mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran tersebut diwujudkan dalam pasal-pasal undang-undang dasar.[37] Penulis berpendapat bahwa dalam muatan materi UUD 1945 sebaiknya mengacu kepada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan pancasila, agar tercipta konstitusi yang bener-bener mencerminkan ide / nilai dari suatu bangsa indonesia.
Sidang MPR tahun 2002 memutuskan membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas menata hasil-hasil perubahan. Tetapi dari berita-berita yang tersiar dan keterangan anggota, Komisi Konstitusi memasukan juga asal-usul perubahan, termasuk penambahan materi muatan baru. Perubahan-perubahan dimasa yang akan datang akan mencakup :[38]
a.         Perubahan tata letak (sistematik);
b.        Perubahan redaktur (rumusan) agar lebih baku dan normatif;
c.         Perubahan teknik penulisan;
d.        Perubahan istilah-istilah agar lebih baku menurut bahasa hukum;
e.         Penghapusan ketentuan tertentu; dan
f.         Penambahan-penambahan

Kesimpulan
Dengan adanya reformasi (1998), beberapa pihak golongan dan kelompok untuk mendorong adanya perubahan konstitusi (baca; UUD 1945). Dimulai dengan perubahan pertama (1999), perubahan kedua (2000), perubahan ketiga (2001) dan yang terakhir perubahan keempat (2002). Walaupun sudah empat kali mengalami perubahan, ada beberapa bagian yang tidak mungkin bisa dirubah karena kesepakatan dari pendiri bangsa pada saat penyusunan konstitusi (sidang BPUPKI) yaitu Pembukaan UUD 1945, Dasar filsafat negara Pancasila, Tujuan negara, Asas negara hukum, Asas kedaulatan rakyat, Asas negara kesatuan, dan Asas republik.
Dalam hal perubahan konstitusi, ada beberapa hal yang perlu di masukin kedalam materi muatan, yaitu Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara; Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar, dan Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
demikian lah makalah yang penulis buat sebagai syarat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Bapak Dr. Saifuddin, mata kuliah Teori Hukum & Konstitusi. dalam penulisan makalah ini penulis merasakan banyak kekurangannya dari isi dan analisis, di kiranya saya memohon kritik dan sarannya dalam hal untuk pengembangan ilmu hukum khususnya teori hukum konstitusi.
Wassalam. Terima kasih







[1]. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal 54
[2]. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal 134
[3]. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Penerbit In-TRANS, Malang, 2003, hal 41
[4]. Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995, hal 21
[5]. Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam pasal 28 UUD 1945, yang di Kutip Oleh Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, ToTal Media, Yogyakarta, januari, 2007. Hal 20-21
[6]. Wirjono Prodjokoro, Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Ibid. Hal 21
[7]. Sri Soemantri, UUD 1945 Kedudukan dan Artinya Dalam Kehidupan Bernegara, Ibid.
[8]. Ibid.
[9]. Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Ibid. Hal 22
[10].  Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Ibid. Hal 32
[11]. E.C.S. Wade & G. Godfray Philips, Constitutional Law, Ibid. Hal 33
[12]. Eric Barendt, Introduction ...., Ibid. Hal 33
[13]. Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, Ibid. Hal 35
[14]. Hans Kalsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Cetakan Ketiga, September, 2007, hal 244-245
[15]. Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, yang dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konsitusi, Cetakan Keempat (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004), hal 10
[16]. C. F. Strong, Modern Political Constitution, Ibid. Hal 12
[17]. Ibid
[18]. Jimly Asshiddiqie, Konstitusinalisme, Cita Negara Hukum dan Keniscayaan NKRI, Orasi Ilmiah dalam Rangka Dies Natalies Universitas Nasional dan Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma III, Jakarta, 11 Oktober, 2004, hal 10-11
[19]. Ibid. Hal 12-13
[20]. Sri Soemantri, Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, yang dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Op Cit, hal 14
[21]. Sri Soemantri, Prosedur..., Ibid, hal 15
[22]. K. C Wheare, Modern..., Ibid
[23]. H. Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, hal 16
[24]. Sri Soemantri M, Prosedur..., yang dikutip oleh H. Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, hal 16
[25]. Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 194 Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, UNPAD Press, Bandung, 2002, hal 3
[26]Ibid, hal 4
[27]. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi Revisi, Jakarta, 2008, hal 177-178
[28]. Bagir Manan, Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2004, hal 94
[29]. Mukthie Fadjar, Loc it, hal 40
[30]. Ibid, hal 39
[31]. Soetandyo Wignjosoebroto, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Seperti yang dikutip oleh Mahfud MD, Loc It, Hal 61
[32]. Bambang Widjoyanto, Reformasi Konstitusi, seperti yang dikutip oleh Mahfud Md, Ibid
[33]. Ibid.
[34]. Kompas, 15 Juli 1999, seperti yang dikutip oleh Slamet Efenndy Yusuf dan Umar Basalaim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, hal; 34
[35]. Mukthie Fadjar, Op Cit, hal 46-47
[36]. Bagir Manan, Op cit, hal 93-94
[37]. Sri Soemantari, Undang-Undang Dasar 194 Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Op cit, hal 49
[38]. Bagir Manan, Loc it, hal 95