EKSISTENSI
NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN PANCASILA
DI INDONESIA
Oleh : Aditia Syaprillah
A.
Pendahuluan
Secara historis dan
praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum
menurut Al-Qur’an dan Sunnah atau Nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa
Kontinental yang dinamakan rechtstaat,
negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon rule
of law, konsep sosialist legality,
dan konsep negara hukum pancasila.[1]
Prinsip negara hukum
ialah melakukan perlindungan hidup bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan.
Philipus M. Hadjon,[2]
mengkaitkan dengan prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama
dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum; sebaliknya dalam
negara totaliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi. Dan Philipus M. Hadjon[3],
hanya mengemukakan hanya 3 (tiga) konsep negara hukum, yaitu: rechtstaats, the rule of law, dan negara
hukum pancasila.
Berbeda
dengan Philipus M. Hadjon yang hanya mengemukan tiga (3) konsep negara hukum,
Muhammad Taher Azhary,[4]
dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum (Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah Dan Masa Kini), mengemukakan ada lima (5) macam konsep negara
hukum, sebagai species begrip yaitu :
1.
Negara
hukum menurut Qur’an dan Sunnah (Nomokrasi Islam) lebih tepat dan lebih
memperlihatkan kaitan nomokrasi atau negara hukum itu dengan hukum Islam.
2.
Negara
hukum menurut Konsep Eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, model negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda,
Jerman dan Perancis.
3.
Konsep
rule of law yang diterapkan di
negara-negara Anglo-Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat.
4.
Suatu
konsep yang disebut socialist legality
yang diterapkan antara lain di Uni Soviet sebagai negara komunis.
5.
Konsep
Negara Hukum Pancasila
Secara
embrionik, gagasan negara hukum telah di kemukakan oleh Plato, ketika ia
menulis Nomoi, sebagai karya tulis
ketiga yang dibuat di usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politea dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa
penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum)
yang baik.[5]
Gagasan
Plato tentang negara hukum ini semakin tegas di dukung oleh muridnya,
Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica.
Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah oleh
konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles mengatakan :[6]
“
Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga dengan
pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik,
selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu Aristoteles sebagai
tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya.”
Menurutnya
ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum; Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut
hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi
berarti pemerintahan yang dilaksanakan oleh atas kehendak rakyat, bukan berupa
paksaan tekanan yang dilaksanakan pemerintah despotik. Dalam kaitannya dengan
konstitusi, Aristoteles mengatakan, Konstitusi merupakan penyusunan jabatan
dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksud dengan badan pemeritahan
dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan
penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.[7]
Menurut
Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat)
adalah sebagai berikut :[8]
a)
Perlindungan
hak-hak asasi manusia.
b)
Pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
c)
Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d)
Peradilan
administrasi dalam perselisihan.
Pada
wilayah Anglo-saxon, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V.Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut :[9]
a)
Supremasi
aturan-aturan hukum (supremacy of the law);
tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence
of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh di hukum kalau
melanggar hukum;
b)
Kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum (equality
before of the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk
pejabat; dan
c)
Terjaminnya
hak-hak manusia oleh undang-undang (dinegara lain oleh undang-undang dasar)
serta keputusan-keputusan pengadilan.
International commission of jurists yang
merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional, dalam konferensinya di
Bangkok pada tahun 1965, mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan
negara hukum yang telah berkembang sebelumnya, terutama konsep the rule of law,
dengan memperbaiki aspek dinamika dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks itu
dirumuskan tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hukum/pemerintahan
yang demokratis dibawah rule of law sebagai berikut :[10]
1.
Adanya
proteksi konstitusional.
2.
Pengadilan
yang bebas dan tidak memihak;
3.
Kebebasan
untuk menyatakan pendapat;
4.
Pemilihan
umum yang bebas;
5.
Kebebasan
berserikat/beroragisasi dan beroposisi; dan
6.
Pendidikan
civil (Kewarganegaraan)
Di Indonesia simposium
mengenai negara hukum pernah diadakan pada Tahun 1966 di Jakarta. Dalam
simposium itu diputuskan tentang ciri-ciri khas negara hukum adalah sebagai
berikut :[11]
a.
Pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b.
Peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta tidak di pengaruhi oleh sesuatu kekuasaan
atau kekuatan apapun juga; dan
c.
Legalitas
dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Bahwa Indonesia suatu
negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di
dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai
penjelmaan lebih lanjut dari faham kedaulatan rakyat. pemikiran Kedua ialah bahwa sistem pemerintahan
negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan (power/macht)
namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan atas
hukum.[12]
Dalam perkembangaannya konsepsi negara
hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat
unsur-unsurnya sebagai berikut :[13]
a)
Sistem
pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
b)
Bahwa
pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas
hukum atau peraturan perundang-undangan.
c)
Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
d)
Adanya
pembagian kekuasaan dalam negara
e)
Adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan ( rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut
benar-benar memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
f)
Adanya
peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut
serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah.
g)
Adanya
sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran negara.
Untuk Indonesia. Istilah yang kini
populer itu The Rule of Law, tidak
lain isinya dan konsepsinya daripada Rechtsstaat,
Etat de Droit, negara atau pemerintah berdasarkan atas hukum. Hanya
biasanya konsepsi Rechtsstaat dianut
oleh negara-negara dengan undang-undang tertulis, dan The Rule of Law terutama dipelopori oleh inggris dengan sistem Common Law-nya.[14]
Istilah “the rule of law” mulai populer
dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul
“Introduction to the study of the law of de constitution”. Dari latar belakang
dan dari sistem hukum yang menopangnya terdapat perbedaan antara konsep
“rechtsstaat” dengan konsep “the rule of law” meskipun dalam perkembangan
dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbebadaan antara keduanya karena pada
dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama
yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun
dengan sasaran yang sama tetapi keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri
yaitu sistem hukum sendiri.[15]
Konsep “rechtsstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner sebaliknya konsep “the rule of law” berkembang secara
evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtstaat dan kriteria the
rule of law.[16]
Menurut Azhary, bahwa secara formal
istilah negara hukum dapat disamakan dengan rechtsstaat
ataupun rule of law mengingat ketiga
istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan absolut
demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Perbedaannya terletak pada arti
materiil atau isi dari ketiga istilah tersebut yang disebabkan oleh
latar-belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.[17]
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menganut kedaulatan hukum
atau nomokrasi.[18]
Menurut Sjahran Basah, arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya itu
sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang menyatakan
bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apa
pun. Terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada
Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum. Secara konstitusional
eksistensi negara hukum a quo, tidak
mungkin dipungkiri oleh siapa pun, karena di dalamnya mengandung jaminan
terhadap tiga hal yang kemudian direkayasa lebih lanjut melalui proses
normativasi dalam ketentuan perundang-undangan yang tingkat derajatnya lebih
rendah.[19]
Hal yang sama dijumpai pula dalam
istilah demokrasi yang punyai arti secara universal, akan tetapi secara
materiil atau isi demokrasi suatu bangsa tidak sama dengan demokrasi pada
bangsa yang lain. Hal itu dikarenakan perbedaan latar belakang sejarah dan
pandangan hidup suatu bangsa.[20]
Apabila di kaitkan dengan bangsa kita
yaitu bangsa Indonesia, sangat berbeda latar belakangnya dengan konsep negara
hukum rechtsstaat dan the rule of law, walaupun konsep negara hukum itu berawal
dari pengaruh pemikiran-pemikiran dari negara barat. Di indonesia istilah
negara hukum dan demokrasi kita kenal dengan istilah negara hukum atau demokrasi
pancasila.
B.
Pancasila
Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Istilah dan
rumusan Pancasila lahir pada saat para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK), dalam rangka persidangannya antara tanggal 29 Mei sampai 1
Juni 1945, membahas permintaan pemerintah jepang untuk menetapkan dasar
falsafah negara Indonesia yang akan didirikan. Setelah anggota BPUPK yang lain menyampaikan
pandangannya, pada 1 Juni 1945 giliran Bung Karno menyampaikan pidato dihadapan
anggota BPUPK untuk memenuhi permintaan Ketua BPUPK dengan menyampaikan
pendapatnya tentang filosofisce grounslag
atau weltanschauung yang akan
mendasari negara Indonesia yang akan didirikan yaitu, (1) Kebangsaan Indonesia,
(2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4)
Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima dasar tersebut
kemudian di beri nama Pancasila.[21]
Setelah melewati
proses pembahasan panjang, rumusan akhir Pancasila disepakati dan ditetapkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Yang disepakati saat itu adalah rumusan
sebagaimana Pancasila yang sekarang ini ada. Rumusan inilah yang kemudian
dijadikan dasar dan ideologi negara. Hal itu kemudian diperkuat lagi dalam
berbagai momentum pentign dari setiap babakan baru sejarah ketatanegaraan.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara termuat dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea Keempat, yaitu : “....., maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa;
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia; kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Meskipun dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak tercantum kata “Pancasila”, namun kita sepakat bahwa lima prinsip
yang menjadi dasar negara Republik Indonesia itu disebut Pancasila.[22]
Sebagai dasar
negara dan ideologi negara, Pancasila membawa nilai-nilai tertentu yang
sesungguhnya bersumber dan digali dari realitas sosio-budaya bangsa Indonesia
sendiri. Oleh karena itu, sejak lama Pancasila dikenal sebagai ideologi terbuka,
karena dinilai memenuhi syarat untuk disebut sebagai ideologi terbuka.
Merangkum dari berbagai refrensi, ideologi terbuka setidaknya mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :[23]
1.
Bahwa
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan digali
dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri. Pancasila sebagai
ideologi nasional dipahami dalam perspektif kebudayaan bangsa dan bukan dalam
perspektif kekuasaan, sehingga Pancasila bukanlah sebagai alat kekuasaan.
2.
Dasarnya
bukan keyakinan ideologis sekelompok orang saja, melainkan hasil musyawarah
serta konsesus dari masyarakat bangsa itu sendiri.
3.
Nilai-nilai
itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung
operasional.
Pasal
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara. Dalam penjelasan menyatakan bahwa penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filsafat
bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dengan ketentuan ini sangat jelas bahwa seluruh produk hukum di negara ini
harus mencamtumkan nilai-nilai pancasila sebagai falsafah negara.
Di
era reformasi ini, seharusnya lebih baik dalam membuat produk hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila, sebagian banyak produk
hukum di era reformasi ini bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
didalam sila-sila pancasila. Karena di latar belakangi banyak
kepentingan-kepentingan politik dan para elit di negeri ini (baca;penguasa dan
pengusaha).
Pancasila
adalah Chemistrey dari unsur-unsurnya
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya, Pancasila
bukanlah butiran yang terpisah satu dengan yang lain. Chemistrey inilah yang
menampakkan dalam pola perilaku warga bangsa yang wujudnya aslinya adalah
gotong royong dalam masyarakat Indonesia.[24]
Frans
Magnis Suseno mencoba untuk memastikan arti Pancasila yang sebenarnya, kita
perlu membedakan antara arti yang tersurat dan arti yang tersirat.[25]
Arti
tersurat, lima nilai yang terungkap dalam sila
Pancasila. Perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai ini tidak controvers. Untuk
mengerti mengapa lima sila itu begitu crucial,
kita harus memperhatikan arti fundamental Pancasila bagi eksistensi Negara
Republik Indonesia. Arti yang tersirat ini diketahui dari situasi
yang melahirkan Pancasila, arti Pancasila yang sebenarnya kita ketahui apabila
kita memperhatikan masalah yang mau dipecahkan olehnya, arti Pancasila yang
sebenarnya kita ketahui dengan bertanya, masalah apa yang mendorong Ir.
Soekarno untuk mencetuskannya! Ir. Soekarno mencetuskan Pancasila untuk
mengatasi konflik yang kalau tidak diatasi akan mengancam proyek Indonesia
merdeka, yaitu konflik dasar negara: apakah Negara Republik Indonesia yang mau
di proklamirkan mau dijadikan negara nasionalis-sekuler dan atau didasarkan
pada agama Islam. Pancasila dirumuskan dan disepakati, melalui prosestidak
mudah, persis untuk mengatasi konflik itu.[26]
Dengan
demikian sudah jelaslah bahwa arti sebenarnya Pancasila adalah kesepakatan
rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, dimana semua warga masyarakat
sama kedudukannya, sama kewajiban dan sama haknya, jadi di mana semua warga
masyarakat, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama masing-masing (dan,
sebagai implikasi, tanpa membedakan menurut suku, ras, etnik, dst), jadi tanpa
membedakan antara mereka yang mayoritas dan minoritas, sama-sama menikmati
hak-hak dasar sebagai warga negara dan sebagai manusia.[27]
C.
Negara
Hukum Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila
Kalau di telaah dari latar belakang
sejarahnya, baik konsep “the rule of law” maupun konsep “rechtsstaat” lahir
dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan
Negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas
menentang segala bentuk kesewenangan atau obsolutisme. Oleh karena itu jiwa dan
isi Negara Hukum Pancasila seyogianya tidaklah dengan begitu saja mengalihkan
konsep “the rule of law” dan “rechtsstaat”.[28]
Konsep negara hukum Pancasila tidak
dapat terpisahkan dari proses atau sejarah terbentuknya konsep tersebut. Yaitu
pada tanggal 7 September 1944
pemerintah Jepang setelah membombardir pulau-pulau menyatakan kesanggupannya untuk mengakomodir Indonesia menuju kemerdekaan pada akhir bulan Agustus 1945. Pada tanggal 28 Mei 1945, pemerintah Jepang melantik BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan ketuanyan Radjiman Wediodinigrat. Menurut Muhammad Yamin, seorang tokoh ultranasionalis dan pembela Pancasila, bahwa Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Soekarno bahkan mengatakan bahwa ia telah menggalinya dari masa jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila adalah refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian Soekarno merumuskannya dalam lima prinsip. Juga menurutnya prinsip ketuhanan misalnya, tidak mempunyai kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun.[29]
pemerintah Jepang setelah membombardir pulau-pulau menyatakan kesanggupannya untuk mengakomodir Indonesia menuju kemerdekaan pada akhir bulan Agustus 1945. Pada tanggal 28 Mei 1945, pemerintah Jepang melantik BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan ketuanyan Radjiman Wediodinigrat. Menurut Muhammad Yamin, seorang tokoh ultranasionalis dan pembela Pancasila, bahwa Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Soekarno bahkan mengatakan bahwa ia telah menggalinya dari masa jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila adalah refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian Soekarno merumuskannya dalam lima prinsip. Juga menurutnya prinsip ketuhanan misalnya, tidak mempunyai kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun.[29]
Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus
diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia
dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu dari ciri pokok dalam
negara hukum Pancasila adalah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan
beragama selalu dalam kondisi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme
atau propaganda anti agama di Bumi Indonesia, dan tidak boleh terjadi pemisahan
antara agama dan negara baik secara mutlak, maupun secara nisbi, karena
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Agama dan negara berada dalam
hubungan yang harmonis.
Dalam Negara hukum Pancasila, kepentingan rakyat
lebih diutamakan. Hal ini bertitik pangkal pada asas kekeluargaan dan
kerukunan. Adapun Ciri-ciri negara hukum Pancasila menurut M.Tahir Azhary
adalah sebagai berikut:
1.
ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
2.
bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3.
kebebasan beragama dalam arti positif;
4.
ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
5.
asas kekeluargaan dan kerukunan.[30]
Unsur-unsur utama negara hukum Pancasila adalah:
1.
Pancasila;
2.
MPR;
3.
Sistem Konstitusi;
4.
Persamaan dan;
5.
Peradilan Bebas.
Dalam negara hukum
Pancasila: kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif sehingga
pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme)
ataupun sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan. Selain itu
terdapat hubungan yang erat antara agama
dan negara, dimana antara keduanya berada dalam hubungan yang harmonis dan
tidak terdapat pemisahan antara agama dan negara. Negara bertanggung jawab
memberikan perlindungan terhadap kemajemukan agama yang dianut warganya
perlindungan atas kemurnian agama dari penyelewengan atau penyimpangan .
Menurut Philipus M. Hadjon, menyatakan
bahwa ciri-ciri Negara Hukum Pancasila, ialah :[31]
a.
Keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
b.
Hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara;
c.
Prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
dan
d.
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara
jelas tercantum tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum atau dalam rumusan lainnya adalah untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari rumusan tujuan tersebut, jelas bahwa
Negara Hukum Pancasila pun mengarah kepada usaha untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian tujuan tersebut janganlah ditafsirkan bahwa dengan
adanya tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berarti Negara Hukum
Pancasila merupakan Negara Kesejahteraan dalam pengertian “welvaarsstaat”. Menafsirkan tujuan tersebut untuk dijadikan sebagai
patokan untuk menyatakan bahwa Negara Hukum Pancasila atau Negara Republik
Indonesia adalah Negara Kesejahteraan dalam pengertian “welvaarsstaat”.[32]
Menurut
Hamid S. Attamimi, bahwa sejak awal berdirinya Indonesia menetapkan diri
sebagai negara rechtsstaat yang
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap
tumpah darah Indonesia, dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yang berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Rachtsstaat itu ialah
rechtsstaat yang materiil, yang sosial, yang oleh Bung Hatta disebut sebagai
Negara Pengurus, suatu terjemahan dari Verzogingsstaat.[33]
Sejak
dari mula berdirinya negara, bangsa Indonesia mengakui bahwa kemampuan untuk
mendirikan suatu negara merdeka adalah atas berkat rahmat Tuhan (alinea kedua
UUD 1945). Dan sejalan dengan itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa menempati urutan
pertama dalam rangkaian sila-sila Pancasila. Disusul dengan sila Kemanusian
Yang Adil dan Beradab adalah konsekwensi logis dari sila pertama karena dengan
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan berarti mengakui ciptaannya dan ciptaan
yang paling mulia adalah manusia karena manusia citra dari Allah. Dan dengan demikian
pula mangakui harkat dan martabatnya sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling
mulia. Dengan sila Persatuan Indonesia berarti mengakui kehendaknya, untuk
hidup bersama dalam suatu masyarakat yang sifatnya politik yaitu negara
Republik Indonesia dan ini adalah sesuai kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Pengaturan hidup bersama didasarkan atas musyawarah yang dibimbing oleh hikmat
kebijaksanaan dan ini adalah Kerakyaatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
dan ini adalah sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan. Tujuan dari hidup bersama dalam suatu negara
merdeka adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama seperti rumusan sila kelima
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.[34]
Lahirnya negara hukum Pancasila
menurut Padmo Wahyono berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara
sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian
bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status “naturalis” ke
status “civis” dengan perlindungan terhadap civil
rights. Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia
dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang dualistis” melainkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”. Jadi posisi
Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama bahkan merupakan “causa prima”. [35]
Konsep
ini sangat berbeda dengan konsep di dunia barat atau konsep yang menganut
sosialis yang bersumber pada ajaran Karl Mark, mengatakan bahwa negara bukanlah
pemberian Allah tetapi adalah hasil dari kehendak dan usaha manusia. Konsep ini
jelas berbeda dengan ide dasar bangsa Indonesia mendirikan negaranya, yaitu
mengakui keberhasilannya mendirikan suatu negara merdeka atas berkat Rahmat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Konsep sosialis tentang hak-hak asasi sebetulnya tidak
mengenal hak tetapi hanya menuntut “kewajiban” warganya terhadap negara. Konsep
yang demikian jelas berbeda dengan konsep hak-hak asasi yang bersumber pada
Pancasila yang mengakui harkat dan martabat manusia sekaligus sebagai makhluk
sosial dan sebagai pribadi.[36]
Salah
satu bentuk nyata mengembalikannya sebagai ideologi negara dalam makna yang
sesungguhnya, pancasila harusnya mampu menjadi dan ditempatkan sebagai kaidah
penuntun dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan
ini, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee) karena kedudukannya sebagai
pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
yang mempunyai kekuatan sebagai pemandu seluruh produk hukum nasional.
Karenanya, semua produk hukum ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung
Pancasila.[37]
Prinsip pokok negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman
sekarang, yaitu sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum
(equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan
kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak,
peradilan tata uasaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi
manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara
serta trasnparansi dan kontrol sosial. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum modern
dalam arti yang sebenarnya. Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan
sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda
dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai
genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep
negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang
dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada
konsep rechtstaat.
Eksistensi negara hukum
yang berdasar atas Pancasila belakangan ini mulai memudar dengan maraknya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Seakan-akan negara ini sudah bergeser dari pola pikir negara hukum (rechtsstaat) menjadi sebuah negara yang
berdasar pada kekuasaan (machtsstaat),
dimana hukum hanya berlaku untuk kaum kecil dan tidak menjangkau orang-orang
yang berkuasa. Pada masa sekarang, adalah sukar untuk membayangkan negara ini
tidak sebagai negara hukum. Setiap negara tidak mau dikucilkan dari pergaulan
masyarakat internasional, paling sedikit secara formal akan memaklumkan dirinya
sebagai negara hukum. Dalam negara hukum seharusnya hukum menjadi aturan main
untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga
menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala perselisihan, termasuk
perselisihan politik. Hukum dengan demikian tidak mengabdi kepada kepentingan
politik sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam
kerangka kenegaraan.[38]
D.
Kesimpulan
Demikian
lah makalah yang bisa kami berikan dalam presentasi ini, dari uraian diatas
dapat lah kami simpulkan bahwa :
1.
Apabila di kaitkan dengan bangsa kita
yaitu bangsa Indonesia, sangat berbeda latar belakangnya dengan konsep negara
hukum rechtsstaat dan the rule of law, walaupun konsep negara hukum itu berawal
dari pengaruh pemikiran-pemikiran dari negara barat. Di indonesia istilah
negara hukum dan demokrasi kita kenal dengan istilah negara hukum atau
demokrasi pancasila.
2.
Pancasila sebagai dasar negara filosofisce grounslag atau weltanschauung, sudah seharusnya materi
muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila.
3.
Tidak mungkin dapat di bantahkan lagi,
bahwa di dalam Alienia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, telah tercantum nilai-nilai Pancasila, Pancasila
merupakan falsafah negara (filosofisce
grounslag atau weltanschauung),
dan Pancasila merupakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan jelas
sekarang, maka Negara Hukum di Indonesia ialah berdasarkan Pancasila, bukan
Rechtsstaat atau the rule of law seperti yang berkembang di dunia barat saat
ini.
[1]. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2011,
hal 1
[2]. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia
Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, PT
Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal 71
[3]. Lebih jelasnya Lihat Philipus
M. Hadjon, Ibid, hal 74 - 98
[4]. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah Dan Masa Kini, Cetakan keempat, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2010, hal 83-83.
[5]. Ridwan HR, Op
Cit, hal 2
[6].
Taher Azhary, Negara Hukum
Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, Hal 20
[7]. Ibid, hal 20-21
[8]. Miriam Budiardjo, seperti yang
dikutip oleh Ridwan HR, Op Cit, Hal 3
[9]. Ibid, hal 3
[10]. Kesimpulan konferensi
internasional commission of jurists, Bangkok 1965, seperti yang dikutip oleh H.
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara
Hukum dan Konstitusi, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, 2000 hal 25
[11]. Ibid
[12]. Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, yang dikutip
oleh H. Dahlan Thaib, Ibid, hal 27
[13]. Ridwan HR, Op Cit, Hal 4-5
[14]. Sumrah, Penegakan Hak Asasi Manusia ditinjau dari pelaksanaan the rule of law
(dalam Rule of Law dan Praktek Penahanan di Indonesia, dihimpun oleh Eddy
Damian) yang di kutip oleh Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis
Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS),
1995, Jakarta, hal 32-33
[15]. Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,
Op Cit, hal 72
[16]. Ibid. Hal 72
[17]. Taher Azhary, Op Cit, hal 36
[18]. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[19]. Sjahran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap – Tindak
Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Bandung, 1992, hal 1-2
[20]. Padmo Wahjono, yang dikutip
oleh Azhary, Op Cit, hal 36
[21].Harjono, Rancang Bangun Republik Indonesia, dalam Proceeding Sarasehan Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Nasional, Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011, hal. 39
[22]. Moh Mahfud MD, Pancasila Sebagai Tonggak Konvergensi
Pluralitas Bangsa, dalam Proceeding
Sarasehan Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Nasional, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2011, hal. 18
[23]. Ibid. Hal. 19
[24]. Harjono, Op Cit. Hal 44
[25]. Franz Magnis Suseno, Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Orientasi
Pembudayaan Kehidupan Berkonstitusi, dalam Proceeding Sarasehan Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Nasional, Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011, hal. 117
[26]. Ibid, hal. 117
[27]. Ibid, hal. 117-118
[28]. Philipus M. Hadjon, Op Cit, hal 84
[29] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum Moral Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, cetakan pertama, (Yogyakarta: Kanisius,1990), ,hlm.
126.
[30]. M. Tahir Azhary, , Negara Hukum Suatu Studi tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992
hlm
69.
[31]. Philipus M. Hadjon, Loc cit, hal 90
[32]. Ibid. Hal 95
[33] A. Hamid S. Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan
Perspektif Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada seminar sehari
dalam rangka dies natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke-42, diselenggarakan
oleh Universitas 17 Agustus Jakarta, 9 Juli 1994, hlm. 17.
[34]. Ibid. Hal 65
[35]. Ahmad Syafii Ma’arif, lslam dan Pancasilan Sebaga Dasar Negara Studi
Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, edisi revisi (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2006), hlm. 150.
[36]. Philipus M Hadjon, Op Cit. Hal 66-67
[37]. Moh Mahfud MD, Peran Mahkamah Konstitusi...., Seperti
yang dikutip oleh Saldi Isra, Penguatan
dan Pengawalan Pancasila Dalam Proses Legislasi, dalam Proceeding Sarasehan Nasional 2011 Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Nasional, Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011, hal. 140
[38] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat
Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 163-164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar