PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP MASYARAKAT ADAT
DI SEKITAR
WILAYAH PERTAMBANGAN BATU BARA
DI KALIMANTAN
TIMUR.
Oleh : Aditia
Syaprillah
A.
Pendahuluan
Masyarakat
adat[1]
merupakan suatu kesatuan masyarakat bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik,
ekonomi, dsb).Ia lahir dari, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu
sendiri. Keberadaan masyarakat adat di
Indonesia telah dinyatakan oleh sarjana-sarjana penekun hukum adat, diantaranya
Van Vollenhoven mengatakan bahwa di wilayah Nusantara, yang kini disebut negeri
multicultural, terdapat 19 wilayah hukum adat (rechtstringen), yaitu wilayah hukum adat (1) Aceh; (2) Gayo Alas
Batak, dan Nias; (3) Minangkabau; (4) Sumatera Selatan, Enggano; (5) Melayu;
(6) Bangka, Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja;
(11) Sulawesi Utara; (12) Kepulauan Ternate; (13) Maluku; (14) Irian Barat;
(15) Kepulauan Timor; (16) Bali, Lombok; (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura;
(18) Solo, Yogjakarta; (19) Jawa Barat, Jakarta.[2]
Komite
Hak Asasi Manusia, pada komentar umumnya Pasal 27 Konvensi Internasional Hak
Sipil dan Politik, mengamati pentingnya hubungan masyarakat asli, dan merupakan
hak mereka untuk itu, dengan tanah dan sumberdaya alam, dalam manifestasi dan
pelaksanaan hak-hak budaya mereka[3]. Bagaimanapun,
program-program yang berkaitan dengan sumberdaya alam dalam banyak kasus telah
merusak budaya masyarakat asli. Relokasi akibat penggunaan tanah mereka, telah
mencabut mereka dari setting budaya mereka. Industri minyak, tambang batu bara
dan penebangan hutan (Ilegal Loging)
telah menghancurkan budaya mereka dan mengorbankan budaya dan kesucian tempat
mereka dan menurunkan kualitas lingkungan hidup mereka.
Hutan
merupakan sumber kehidupan manusia yang sangat penting, sebab hutan menyimpan
banyak sekali unsur penunjang yang tidak diperoleh dari sumber daya alam
lainnya. Fungsi hutan dapat dikategorikan dalam 2 (dua) faktor penting,
masing-masing ekonomi dan ekologi.Dari sisi ekonomi, hutan menjadi pemasok kayu
dan non kayu, pertambangan, perkebunan dan sumber daya alam lainnya yang
menunjang kehidupan (manusia dan hewan).Dari sisi ekologi, hutan merupakan
sumber kesuburan tanah dan iklim serta penyimpanan karbon dan sumber daya
genetik.[4]
Disekitar
kawasan hutan, hidup masyarakat asli atau masyarakat adat yang berdasarkan
hukum adatnya memiliki hak sumber daya alam disekitar hutan. Hukum adat
menetapkan bahwa masyarakat adat tersebut mempunyai hak atas hutan disekitar
mereka berupa hak untuk menggunakan lahan di teritorialnya, hak untuk tinggal
dalam jangka waktu tertentu disekitar kawasan, serta hak untuk memanfaatkan
hutan disekitar kawasan. Dalam perkembangannya disuatu kawasan lahir masyarakat
lokal yaitu masyarakat yang berasal dari daerah lain, tetapi kemudian menetap
untuk jangka waktu yang lama di kawasan tersebut.[5]
Keberadaan
industri pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur telah banyak
merusak atau memperparah kondisi lingkungan hidup yang berakibat adanya banjir,
pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan di perparah lagi tidak ada niat dari
pengusaha tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok
sumber daya alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak
lobang-lobang yang mengnga-nga layak nya kolam air. Menurut data dari Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang yang di
tinggalkan oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara (Kukar)
kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan
begitu saja. Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan
bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.Di Kutai
Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya
838 hektar yang ditinggalkan begitu saja.Sementara di Samarinda tercatat 839
hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh
perusahaan tambang.“Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269
ijin daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim.Kini, satu per
satu mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan
kesehatan karena pencemaran, penggusuran
masyarakat adat dan budaya korupsi. Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini
dikapling Izin Tambang Batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut
akibat ekspansi tambang, sawit dan HPH,”
Masyarakat
hukum adat, yang umumnya berada di desa-desa yang jauh dari Ibukota, berada
pada strata paling bawah dari rakyat Indonesia yang hak-haknya sebagai manusia
tidaklah demikian terjamin. Seperti pernah disampaikan oleh H. Amidhan, Ketua
Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, masyarakat hukum adat ini berada pada posisi yang lemah, baik dalam
bidang ekonomi, dalam bidang hukum, maupun atau apalagi dalam bidang politik.
Mereka bukan saja tidak bisa bersaing, tetapi juga hampir tidak berdaya membela
diri. Dengan posisi yang amat rentan itu, telah terjadi rangkaian pelanggaran
hak masyarakat hukum adat, baik yang dilakukan oleh para usahawan swasta
bermodal besar, maupun oleh atau bersamaan dengan oknum-oknum penyelenggaraan
Negara yang pada sisi yang satu mempunyai kekuasaan dan kekuatan besar, pada
sisi yang lain mempunyai motif keuntungan pribadi yang sama rakusnya dengan
pengusaha swasta tersebut.[6]
Pembangunan
dapat menimbulkan resiko-resiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam
dan lingkungan hidup. Resiko-resiko tersebut dapat berupa :[7] a.
rusaknya berbagai sistem pendukung perikehidupan yang vital bagi manusia, baik
sistem biofisik maupun sosial; b. munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan
manusia seperti bahan berbahaya dan beracun dan hasil-hasil bioteknologi; c.
pengalihan beban resiko kepada generasi berikutnya atau kepada sektor atau
kepada daerah lainnya; dan d. Kurang berfungsinya sistem organisasi sosial
dalam masyarakat
Dari
sini dapat lah kita lihat bahwa oknum-oknum penyelenggara Negara dalam proses pembangunan
hanya mengejar nilai ekonomis saja, tapi tidak melihat dari keberadaan
masyarakat adat ataupun masyarakat transmigrasi di sekitar wilayah pertambangan.
Dari
beberapa dampak yang di akibatkan oleh kegiatan pertambangan di Kalimantan
Timur yaitu penggusuran masyarakat lokal di sekitar wilayah yang akan di buka
untuk kegiatan industri pertambangan, bisa dilihat dari kasus di
Masyarakat
Adat Dayak Punan Kaltim, operasi HPH mencapai 20.000 ha, proyek ini menyebabkan
terjadinya kerusakan ekologis seperti hutan, tanah dan spesies endemic. Dampak
lainnya adalah banjir, krisis air bahkan pemukiman dan perkebunan masyarakat
digusur yang lebih parah hal itu menyebabkan terjadinya tindak pelanggaran HAM
di antaranya intimidasi dan penangkapan masyarakat secara sewenang-wenang[8]. Kabupaten
Kutai Timur Kecamatan Bengalon tepatnya di desa Sepaso dan Keraitan terdapat
tambang batu bara yang sedang melakukan pembebasan tanah untuk memperluas
usahanya, dalam pembebasan untuk tambang batu bara di wilayah ini ganti rugi
hanya di perhitungkan terhadap pohon dan bangunan yang diberikan sebesar Rp
200,- (dua ratus rupiah) per meter persegi tanah.[9]Dan
Kabupaten Berau Kalimantan Timur yang menolak pertambangan batu baradi blok
prapatan, Bujangga Kelurahan Sungai Bedungun, Kabupaten Berau.Terkait maraknya
penolakan itu, Bupati Berau, H. Makmur kepada media menyatakan bahwa jika
memang aktifitas tambang mengganggu aktifitas warga maka bisa dihentikan. Salah
satu alasan lain, perusahaan itu ternyata konsesi tambangnya dekat dengan
pemukiman warga setempat.
Selain
kasus diatas, di kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan
September lalu, memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota
Samarinda dengan membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar
limbah batu bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab
sawah dan kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan
tertimbun lumpur kehitaman pada musim hujan.Tak hanya transmigran, masyarakat
adat juga merasakan pil pahit pertambangan.Itu dirasakan Kampung Putak, Desa
Loa Duri Ilir, yang sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini
sekitar 80 persen lahan pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini,
sejak otonomi daerah, sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah
setempat.Dinas pertanian dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang
2008-2009, 5.2 persen lahan pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi
menjadi tambang batubara.[10]
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah di uraikan oleh penulis, dapat di rumuskan beberapa
masalah, sebagai berikut :
1.
Bagaimana penerapan hukum untuk
melindungi hak-hak masyarakat adat ?
2.
Bagaimana pengelolaan pertambangan yang
baik dan benar di Provinsi Kalimantan Timur ?
C.
Kerangka
Teori
Bagaimana
dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial berkembang juga sejak zaman pemerintahan
kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan sarana-sarana bantu
saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba menguasai
tanah jajahannya melalui cara indirect
rule yang melahirkan dengan segera suasana dualisme, dengan struktur supra
yang Barat dan dengan struktur infra pribumi. Ilmu-ilmu sosial (khususnya
Antropologi – yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya
pada umumnya – dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan
memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum
dipakai untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka
komitmen ilmu-ilmu sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society dari pada kepentingan the state di negeri ini bolehlah
dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun
menjelang Van Volenhoven “menemukan Hukum Adat”, yaitu ketika kaum partikularis
(seperti misalnya, antara lain, Snouck Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan
politik kolonial kaum universalis.[11] Dan
tatkala ilmu-ilmu sosial (entah teorinya entah metodenya) didayagunakan untuk
mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka
berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum sebagai law as it in society.[12]
Jadi sesuai dengan apa
yang telah dijelaskan diatas, Nampak lah bahwa ilmu sosial sangat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu hukum. Dengan gaya berfikir yang hanya mengandalkan ilmu
hukum saja sepertinya Nampak bahwa adanya penyempitan cara pandang untuk
melihat hukum itu secara murni. Hukum sekarang tidak lah tertutup tetapi harus
terbuka dalam pergaulan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya dengan ilmu sosial
(kajian ilmu-ilmu sosial). Perkembangan zaman kian bergeser kearah yang tidak
memihak keadilan sosial, hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat
perubahan dan alat untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan tidak mungkin akan
tercapai apabila hukum di tempatkan di ruangan yang tertutup atau hampa, tanpa
menggunakan interdisiplener dari ilmu pengetahuan. Hukum dewasa ini hanya
dijadikan oleh pengusa sebagai kedok untuk menjamin ketertiban di masyarakat,
dan hukum hanya memihak penguasa saja sebagai pembuat kebijakan.
Untuk memahami lebih
jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial
atau perilaku interaktif antar warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau
harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan
berbagai variasi paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang
makro dan klasik sampai ke teori aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus
ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir. Adapun metode kajian/penelitian
yang hendak dipakai tentu saja bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya
seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang
sesungguhnya juga amat berpengaruh di dalam dunia pemikiran serta penelitian
hukum adat.[13]
Friedman mengemukakan
bahwa suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur. “Hukum sebagai suatu sistem
pada pokoknya mempunyai 3 (elemen), yaitu (a) struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri
dari lembaga pembuat undang-undang (legislative),
institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan kepolisian
negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum
(substance of legal) yang berupa
norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku
masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai,
ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam
perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum”.[14]
Pendapat serupa juga
dikemukakan dalam teori hukum pembangunan dari Mucthar Kusumaatmadja.
Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta
kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan
atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan
pandangan tentang hukum dari Eugen
Ehrlich dan hukum Roscou Pound, dan
mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana
pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.[15]
Kegunaan sosiologi
hukum[16]
sebagai ilmu pengetahuan untuk memahami perkembangan masyarakat dalam kacamata
kerangka terorganisir dan berproses yang sepantasnya terjadi di masyarakat
(bukan kerangka logis atau ideal) dalam studi hubungan atau interaksi sosial
masyarakat berhukum, maka dapatlah kita runtut bahwa sosiologi hukum sebagai
alat memahami perkembangan masyarakat mempunyai kegunaan antara lain sebagai
berikut[17] :
a.
Sosiologi
hukum berguna dalam memberikan dasar-dasar kemampuan bagi proses pemahaman
sosiologis fakta sosial hukum yang beranak pinak di masyarakat
b.
Sosiologi
Hukum dapat memberikan kemampuan untuk manganalisa aktivitas kegiatan dalam
masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep dasar sosiologi (baik
secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya).
c.
Sosiologi
Hukum dapat memberikan kemampuan dalam memprediksi dan evaluasi “sosial fact” yang berkaitan dengan hukum
yang bersifat empiris, non-doktrinal
dan non-normatif.
d.
Sosiologi
Hukum dapat mengungkapkan tentang ideologi dan falsafah yang berkristal
mendasari cara berhukumnya dalam masyarakat.
e.
Mengetahui
kenyataan stratifikasi yang timbul dan berkembang serta berpengaruh dalam hukum
di masyarakat.
f.
Sosiologi
Hukum juga mampu memberikan tentang pengetahuan perubahan sosial hukum.
Maka, sosiologi
hukum memiliki makna untuk mempelajari secara sistematis tentang “hukum sebagai
fakta sosial (law in the action)[18]”
ketimbang hukum sebagai fakta hukum (law
in the books) sejauh masih dan terutama ditinjau dan diamati dengan motode
empiris. Sosiologi hukum adalah juga termasuk dari human science yang menyoroti salah satu kekhususan dari perilaku
dan tindakan manusia baik struktur masyarakat maupun kebudayaannya kaitan dengan
karakteristik hukum yang hidup dan berakar di masyarakat (tidak bisa dipisahkan
dari keutuhan hukum sebagai suatu sistem[19].
D.
Analisis
1.
Perlindungan
Masyarakat Adat.
Menurut definisi yang
diberikan oleh UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau tradisional
adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan
masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda
dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. ILO mengkategorikan
masyarakat adat sebagai (a) suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial-budaya
dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah Negara, dan
yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi
atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus; (b) suku-suku yang
menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena
mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut
sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya
pengaturan batar-batas wilayah administrative seperti yang berlaku sekarang,
dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan-terlepas dari apa pun
status hukum mereka-sebagian atau semua ciri dan lembaga social, ekonomi,
budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu, masyarakat adat
juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budayam agama, tanah dan teritori yang
terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya
Negara bangsa modern.[20]
Definisi-definisi yang
pernah diberikan mengenai hukum adat mengungkapkan antara lain, hukum adat
adalah :
1.
Hukum
yang tidak dibuat dengan sengaja;
2.
Hukum
yang memperlihatkan aspek-aspek kerohanian yang kuat;
3.
Hukum
yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat.[21]
Menurut Maria
Sumardjono, ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan
masyarakat adat itu sendiri.
Sementara, indikator
keberadaan dimaksud adalah :
a.
Adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak
ulayat;
b.
Adanya
tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan objek hak ulayat;
c.
Adanya
kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain, serta perbuatan-perbuatan
hukum.[22]
Kegiatan pertambangan
acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak melibatkannya ikut bekerja
karena mereka dianggap tidak punya keterampilan, keahlian, dan kemampuan kerja
tambang. Selama berlangsung penambangan, tumbuh kota permukiman dalam kantong
enclave di tengah hutan belantara. Tumbuh pula system “kawin kontrak”, hidup
dalam perkawinan selama sang pekerja bertugas kontrak di pedalaman. Tidak ada
hak asasi manusia, tdak pula hak perempuan di belantara.[23]
Banyak daerah tidak
mengakui hak ulayat masyarakat adat atas tanah karena tanah hutan dianggap
milik Negara. Masyarakat adat sulit menerima keadaan ini sehingga potensi
konflik membara dalam hati, dan perusahaan pertambangan terjepit. Kondisi
seperti ini praktis terdapat di semua Negara pertambangan, termasuk Amerika
Serikat dan Australia yang kini masih bergelut dengan masalah penduduk aslinya. Maka, bagi banyak masyarakat adat lokal berlaku anggapan, “pertambangan lebih
banyak bawa derita ketimbang sejahtera”.[24]
Satjipto
Rahardjo memberi catatan terhadap Pasal 18 B UUD tersebut sebagai berikut. Pertama, Pasal 18 B sudah menjadi hukum
positif, sehingga setiap warga Negara terikat kepadanya. Terikat berarti
menerima dan harus dimulai dengan membaca isi peraturan tersebut. Membaca bukan
sekedar mengeja kalimat demi kalimat, akan tetapi memberi makna terhadap
peraturan tersebut. makna yang diberikan haruslah bertolak dari tata pikiran (mind set) bahwa hukum adalah suatu hukum
yang khas mengandung bahan-bahan muatan sosio-antropologis Indonesia. Sifatnya
yang penuh dengan afeksi membuat para penggunanya merasa bahagia. Hal ini
menjadi alasan penting untuk menjaga dan merawatnya. Kedua, tata pikir (mind-set)
yang demikian itu harus menjadi pemandu dalam mencermati dan memahami keempat
syarat di atas. Keempat persyaratan tersebut dijabarkan oleh Rahardjo
sebagaimana berikut ini.
Persyaratan
sepanjang masih hidup perlu dimaknai
bahwa persyaratan tersebut diteliti dengan seksama dan hati-hati, tidak hanya
menggunakan tolak ukur kuantitatif-rasional, melainkan lebih dengan empati dan
partisipasi.Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan
juga dari dalam, dengan menyelami perasaan masyarakat setempat.Metode yang di
gunakan adalah partisipatif.
Sesuai dengan perkembangan
masyarakat harus ditafsirkan tidak dari segi
ekonomi dan politik, melainkan dari kacamata masyarakat setempat. Penafsiran
dari segi ekonomi politik mengandung resiko untuk memaksakan kepentingan
raksasa atas nama perkembangan masyarakat. Masyarakat adat perlu diberi peluang
dan dibairkan berproses sendiri secara bebas.
Sesuai dengan prinsip NKRI
perlu dipahami dan dimaknai bahwa masyarakat adat (lokal) adalh satu kesatuan
tubuh NKRI, keduanya tidak perlu dihadapkan secara dikhotomis atau hitam-putih.
Masyarakat adat (lokal) adalah bagian dari darah daging NKRI itu sendiri.Metode
yang perlu dikembangkan adalah metode holistic untuk melihat masalah tersebut.
Diatur dalam undang-undang
harus diberi catatan bahwa Negara hukum Indonesia, kehidupan sehari-hari tidak
mamadai segalanya diserahkan kepada undang-undang, karena akan menjadi tidak
produktif.[25]
Pengakuan
dan perlindungan masyarakat adat dalam konstitusi terdapat dalam Pasal 18b
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1954 yang secara tegas
menyebutkan, bahwa : “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam
undang-undang “ dan Pasal 28 I
menyebutkan “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban “
Untuk
melindungi keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan tradisi
budayanya, termasuk kearifan tradisionalnya-dan dalam rangka itu melindungi
keanekaragaman hayati –beberapa hak masyarakat adat berikuti ini perlu diakui,
dijamin dan dilindungi. Sebagai berikut[26] :
a)
Hak
untuk menentukan
diri sendiri
b)
Hak
atas teritori dan tanah.
d)
Hak
budaya
e)
Hak
untuk menganut system kepercayaan serta nilai-nilai religious dan moral mereka
sendiri, yang tidak boleh dilanggar oleh pihak luar.
f)
Hak
untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif (the right of non-discrimination)
g)
Masyarakat
adat mempunyai hak untuk ikut berpartisifasi secara penuh dalam proses politik
yang nyangkut kepentingan bersama semua kelompok masyarakat.
h)
Hak
untuk memperoleh ganti rugi atas setiap kegiatan yang menimbulkan dampak
merugikan bagi lingkungan hidup dan nilai-nilai social, budaya, spiritual dan
moral masyarakat adat
Kebijakan nasional yang
berkaitan dengan sumber daya alam misalnya undang-undang kehutanan dan
undang-undang air mengakui keberadaan masyarakat adat.
Agar
keberadaan masyarakat adat/lokal lebih diakui seharusnya pemerintah daerah
kabupaten/kota harus membuat suatu kebijakan daerah atau Peraturan daerah yang
isinya lebih substansi mengatur tentang keberadaan masyarakat adat yang
berisikan tentang konsep masyarakat adat itu sendiri. Dan hal yang penting
dalam melindungi keberadaan masyarakat adat perlunya dilakukan inventarisir
wilayah ulayat adat, masyarakat adat, dan perbaikan peraturan
perundang-undangan di wilayah kabupaten/kota yang masih ada masyarakat adatnya
(pendampingan dan pemberdayaan masyarakat adat).[27]
2.
Pengelolaan
Pertambangan Batu Bara Yang Baik
Salah satu jenis bahan tambang adalah batu bara.
Istilah batu bara merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu coal.
Batu bara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam
dalam tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbitumine, antarasit.[28]
Batu bara dapat digolongkan menurut kualitasnya dan
sifatnya. Penggolongan batu bara berdasarkan kualitasnya merupakan penggolongan
batu bara yang didasarkan pada tingkat baik atau buruknya mutu baru bara
tersebut. penggolongan batu bara berdasarkan kualitasnya dibagi menjadi dua
macam, yaitu kualitas tinggi dan kualitas rendah. Batu bara kualitas tinggi
merupakan batu bara yang nilai kalorinya di atas 5.000 kkal/kg. Sementara itu,
batu bara kualitas rendah (lignite) adalah batu bara yang nilai di bawah
5.000 kkal/kg. berdasarkan data, cadangan batu bara Indonesia sebesar 43,6
miliar ton. Sebanyak 58,6% dari cadangan itu merupakan batu bara kualitas
rendah.[29]
Sebagian batu bara yang terdapat di dalam isi bumi di Indonesia di gunakan
untuk pembangkit tenaga listrik.
Kontribusi sektor
pertambangan di Indonesia, sejak dari zaman penjajahan sampai sekarang masih
sangat membantu dalam sistem perekonomian di negara kita. Pada zaman
penjajahan, sumber daya alam tidak dapat di nikmati atau di manfaati oleh
rakyat indonesia, pada waktu zaman penjajahan tersebut sumber daya alam di
Indonesia di kuasai oleh para penjajahan belanda, bangsa belanda menguasai
sumber daya alam tersebut secara penuh untuk kepentingan belanda saja, dan
rakyat indonesia tidak dapat menikmatinya dengan sewajarnya malah membuat
rakyat Indonesia sengsara dan miskin. Dalam konteks ini, rakyat indonesia sudah
merdeka selama 65 tahun, dan apa yang dirasakan pada zaman penajajahan tidak
jauh berbeda dengan zaman sekarang, masih banyak rakyat yang sengsara dan tidak
dapat menikmati hasil dari sumber daya lama yang dimilikinya.
Dari penelitian yang
dilakukan oleh Abrar Saleng di dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan.
Pengusahaan pertambangan, memiliki peran yang strategis dan mempunyai
kontribusi yang besar dalam pembangunan di daerah. Sebab dengan penguasahaan
pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komonitas baru dan pengembangan
wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan
pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap
perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan
tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Banyak contoh mengenai pelaksanaan
konsep pengembangan wilayah sekitar kegiatan pengusahaan pertambangan yang
dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Misalnya saja di Kalimantan Timur, PT
Kaltim Prima Coal (KPC), pengembangan wilayah dilakukan di sanggata dan
sekitarnya adalah pembangunan sarana jalan yang menghubungkan berbagai kampung
di sekitarnya, pembangunan sarana kesehatan yang dapat digunakan oleh penduduk
sekitarnya dan menjadi rumah sakit rujukan, pembangunan pusat perbelanjaan,
pembangunan desa-desa tertinggal dengan memberikan bimbingan dan dana penunjang
bagi usaha masyarakat setempat, khususnya usaha kecil.[30]
Dampak positif dari industri pertambangan batu bara
di indonesia adalah[31]
:
1. Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan dan
pelabuhan.
2. Sumber devisa Negara.
3. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
4. Sumber energy alternative untuk masyarakat local
5. Menampung tenaga kerja.
Syafruddin Karimi mengemukakan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan batu bara menjadi komoditas yang sangat strategis
bagi perekonomian suatu daerah, khususnya Sumatera Barat. Keempat faktor itu
adalah sebagai berikut[32]
:
1. Batu bara merupakan hasil pertambangan terpenting bagi Sumatera Barat.
Tanpa batu bara, pertambangan batu bara di Sumatera Barat hamper tak ada sama
sekali. Batu bara telah menyumbang ke dalam pendapatan daerah dan menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
2. Pertambangan batu bara merupakan pendapatan dominanbagi pemerintah daerah
dan bagi masyarakat, khususnya kota Sawahlunto
3. Kehadiran pabrik semen menjadi industry terpenting bagi Sumatera Barat.
4. Batu bara merupakan penghasil devisa.
Dampak negatif penambangan batu bara di Indonesia yaitu[33]
:
1. Sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memerhatikan
kelestarian lingkungan;
2. Penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan;
3. Limbah kegiatan pertambangan yang mencemari lingkungan;
4. Areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga;
5. Membahayakan masyarakat sekitar;
6. Sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar;
7. Kontribusi bagi masyarakat sekitar ayng dirasakan masih kurang;
8. Hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegaiatan pertambangan
masih kurang
Suyartono dkk, menyebutnya sebagai paradigma
praktik/pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang baik dan benar/good
mining practice, yaitu membangun peradaban suatu kegiatan usaha
pertambangan yang memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah-kaidah, dan
norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan
hasil yang optimal dan dampak buruk yang minimal.[34]
Lebih lanjut, good mining practice meliputi, aspek perizinan, teknis
penambangan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), lingkungan, keterkaitan
hulu-hilir/konservasi/nilai tambah dan pengembangan masyarakat/wilayah di
sekitar lokasi kegiatan, dan mempersiapkan penutupan pascatambang, dalam
bingkai kaidah peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku sesuai
tahap-tahap kegiatan pertambangan.[35]
Selain dari yang dikemukakan diatas, hal yang
penting dalam pengelolaan pertambangan yang baik dan benar adalah pemberdayaan
masyarakat disekitar wilayah pertambangan tersebut. Dalam kaitan dengan konsep
pemberdayaan wilayah dan masyarakat oleh pelaku kegiatan usaha pertambangan,
merupakan upaya dan proses dalam rangka mendorong terjadinya keseimbangan sosial,
kesejahteraan rakyat, dan kemandirian masyarakat, sehingga mendekati cita-cita
atau ide keadilan sosial-ekonomi. Dalam kasus ini, masyarakat didorong untuk
mengerti dan memahami, sehingga secara sadar akan ikut terlibat dalam aktivitas
pertambangan. Aktivitas dimaksud, bukan berarti masyarakat ikut melakukan kegiatan
eksploitasi bahan galian, tetapi menjaga keberlangsungan kegiatan penambangan
yang berada di lingkungannya.[36]
Pola ini merupakan pendekatan sosial budaya, yaitu dengan cara mengadaptasi
fungsi integrasi sosial dan hukum yang dikemukakan Parson,[37]
bahwa masyarakat memperoleh pembinaan melalui konsep pemberdayaan lingkungan
dan masyarakat di mana tambang itu beroperasi. Proses pembinaan tersebut
diarahkan agar berjalannya proses interaksi antara masyarakat setempat dengan
masyarakat tambang (pendatang), sehingga terjadi harmonisasi hubungan antara
keduanya, bukan ketimpangan social yang cenderung terjadi selama ini.
Rancangan atau konsep pemberdayaan wilayah dan
masyarakat, idealnya merupakan bagian integral dari rancangan penutupan pasca
tambang. Tujuannya tidak lain agar masyarakat paham bahwa setelah bahan galian
habis dieksploitasi perusahaan, maka kegiatan usaha pertambangan akan selesai.
Artinya, perusahaan akan meninggalkan lokasi itu, yang tertinggal adalah hanya
tonggak-tonggak fisik fasilitas bangunan bekas sarana dan prasarana tambang,
lahan tambang yang telah berubah menjadi rona lingkungan baru, dan catatan
peristiwa-peristiwa selama proses kegiatan usaha tambang itu berjalan.
Lebih penting lagi dari pengelolaan pertambangan
batu bara yang baik dan benar, sebelum melakukan pertambangan sebaiknya yang
dilakukan adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dimana tempat wilayah
pertambangan tersebut. KLHS adalah instrument kebijakan yang berfungsi dan
bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelajutan telah menjadi
dasar telah terintegrasi dalam pembangunan di sebuah wilayah ekorigion maupun
wilayah administrative tertentu, baik pada tingkat perumusan kebijakan maupun
tingkat implementasi kebijakan di lapangan, selain itu, KLHS berfungsi dan
bertujuan untuk memastikan dan menjamin bahwa kebijakan, rencana dan/atau
program pembangunan di suatu wilayah ekoregion ataupun wilayah administrative
telah benar-benar didasarkan dan mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Selain itu juga instrument yang lainnya yaitu izin lingkungan,
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana,
perdata dan administrasi) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
E.
Penutup
1. Agar
keberadaan masyarakat adat lebih diakui seharusnya yang dilakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota, ialah :
a.
Harus membuat suatu kebijakan daerah
atau Peraturan Daerah yang isinya lebih substansi mengatur tentang keberadaan
masyarakat adat yang berisikan tentang konsep masyarakat adat itu semdiri.
b.
Hal yang penting dalam melindungi
keberadaan masyarakat adat perlunya dilakukan inventarisir wilayah ulayat adat,
masyarakat adat, dan perbaikan peraturan perundang-undangan di wilayah
kabupaten/kota yang masih ada masyarakatnya (pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat adat)
2.
Penggelolaan pertambangan yang baik dan
benar adalah pemberdayaan masyarakat disekitar wilayah pertambangan tersebut
dan penutupan pasca tambang (reklamasi). Selain itu juga instrument yang
lainnya yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Izin Lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan
penegakan hukum (pidana, perdata dan administrasi) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Bahar. Saaroedin, Inventarisir
dan Perlindungan Hak Masyarakat hukum Adat, sub Komisi Hak ekonomi, Sosial,
dan Budaya Komnas HAM, Jakarta
Fahmi.
Sudi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18
April 2011
H.
S. Halim, Hukum Pertambangan Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008
Keraf. A.
Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta,
Oktober, 2010
Otje
Salman dan Anton F. Sutanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni,
Bandung, 2004
Rahardjo.
Satjipto, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial
Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua GENTA PUBLISING, Maret 2010
Saptomo.
Ade, Hukum & Kearifan Lokal
Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2010
Surono.
Agus, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan
Sumber Daya Hutan, Cetakan ke-1 Jakarta; Fakultas Hukum Universitas
Al-Azhar Indonesia, 2008
Salim.
Emil, Ratusan Bangsa
Merusak Bumi, Kompas, Jakarta, 2010
Saleng. Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press,
Yogjakarta, September, 2004
Sudrajat.
Nandang, Teori dan Praktek Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum,
Pustaka Yustisia, Yogjakarta, 2010
Utsman.
Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna
Dialog antara Hukum & Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum
(Legal Research), Pustaka Pelajar, Yogyakarat, Cetakan Pertama, April, 2009
Wignjosoebroto.
Soetandyo, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM & HUMA,
Cetakan pertama, November, 2002
B.
Artikel dan Bahan Kuliah
Human
Right Committee, General Comment 23L, Ther Rights of Minorities (Article 27):
08/04/94
Penelitian
yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan Pengakuan
Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat
Syamsudin.
M, Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum
Negara, JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM, NO: 3 Vol 15 Juli 2008
Opini, Batubara dan Mimpi Swasembada Pangan, Harian Kompas, Kamis 6 Oktober 2011
Wignjosoebroto.
Soetandyo, Hukum : Paradigma, Konsep, dan
Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana
Ilmu Hukum UII,2008
[1].
Menurut Kongres Masyarakat
Adat Nusantara I (Maret 1999), masyarakat adat dirumuskan sebagai :kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem
nilai, ideology, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.
[2]. Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi
Hukum Adat Nusantara, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm;14
[3]. Human Right Committee, General
Comment 23L, Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94
[4]. John Haba-Irane H. Gayatri, Konflik Di Kawasan Ilegal Logging di
Kalimantan Tengah. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
2003,hlm 7. Seperti yang dikutip oleh Agus Surono, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Cetakan ke-1
Jakarta; Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008, hlm 1
[5]. Ibid..hlm1-2
[6]. Saaroedin
Bahar, Inventarisir dan Perlindungan Hak
Masyarakat hukum Adat, sub Komisi Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya Komnas HAM, Jakarta,
2005, hlm; 17-18
[7]. Harun M. Husein, Lingkungan
Hidup: Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,
1995, hlm 108-109. Yang dikutip oleh Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara
Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[8].
Data di olah dari Walhi dan Jatam, Dikutip dari M. Ridha Saleh, Mitologi
Pembangunan Adalah Per-tumbuhannya Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, ”Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”, Vol.3 Tahun
2005, hlm.113
[9].
Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan
Pengakuan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat, tanpa tahun
[11].
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya,
ELSAM & HUMA, Cetakan pertama November 2002, hal 113.
[12]. Ibid, hal. 114.
[13].
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum :
Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum,
pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008.
Hlm 62
[14].
Lawrence W Friedman.America Law.( New York: W. W Norton & Company. 1984).
Hlm 7. Seperti yang di kuitp oleh Agus Surono, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Op Cit….. hlm 17
[15]. Ibid.
[16].
Pertumbuhan dan perkembangan sosiologi hukum diawali oleh pemikiran seorang
ahli yang bernama Anzilotti (1882). Hal ini diungkapkan oleh Mulyana W.Kusuma
dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Perkembangan dan Masalah dalam Sosiologi
Hukum”(1981) yang mana dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk pertama
kali dipergunakan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882.
Lebih lanjut Kusuma menyatakan bahwa lahirnya sosiologi hukum bukan saja dari
individu-individu, akan tetapi juga berasal dari mahzab-mahzab atau
aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir yang mana berasal dari
beberapa tokoh antara lain; Eugene Ehrlich, Roscoe Pound, Karl Lieurllyn, Emile
Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Lebih jelas nya lihat Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog
antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal
Research).
[17].
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi
Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian
Hukum (Legal Research), Cetakan Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 111-112
[18].
Apabila hukum sebagai fakta sosial (law
in action) bahwa dimana ada masyarakat di sana ada hukum yang hidup dan
berkembang. Lebih jelas nya lihat Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat
Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research).
[19]. Ibid, hlm. 314
[20].
Darrell Addison Posey (ed), Cultural and
Spritual Values Of Biodiversity, hlm 3-4 ... yang dikutip oleh A sonny
keraf, Etika Lingkungan Hidup,
Kompas, Jakarta, Oktober, 2010, hlm;361-362
[21]. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 161
[24]. Ibid.
[25].
M. Syamsudin, Beban Masyarakat Adat
Menghadapi Hukum Negara, JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM, NO: 3 Vol 15 Juli
2008
[26]. Lihat Selengkapnya, A Sonny Keraf,Op Cit, hlm;381- 390
[27]. Op Cit, Lihat juga Komisi
Hukum Nasional, hlm 120-121
[28]. Sukandarrumidi, 1995;hlm 26,
yang dikutip oleh Halim HS, Hukum Pertambangan Pertambangan di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 217
[29]. Halim HS, Hukum Pertambangan
Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 217
[30]. Abrar
Saleng, Hukum Pertambangan, UII
Press, Yogjakarta, September, 2004, hlm 200-201
[31]. Asis Djajadiningrat, 2003. Ibid,
hlm 221
[32]. Syafrudin karimi, Kompas, 30
Juli 2004.Ibid, hlm 222
[33].
Op Cit. Asis Djajadiningrat, 2003, hlm 222-223
[34]. Suyartono, dkk., Good Mining
Practice hlm 3, dikutip oleh Nandang Sudrajat, Teori dan Praktek
Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogjakarta,
2010, hlm 144-145
[35]. Ibid.
[36]. Ibid
[37]. Talcot Parson, di kutip dari
Otje Salman dan Anton F. Sutanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Alumni, Bandung, 2004, hlm 71-81. Fungsi Integrasi (Integration). Ini
adalah sub sistem yang berhubungan erat dengan proses interaksi dalam
masyarakat. Dalam rangka teori parson ini, proses interaksi tersebut tidak
cukup untuk digarap oleh fungsi mempertahankan pola saja, yaitu yang berupa
penegakkan nilai-nilai. Seperti yang dikutip oleh Nandang Sudraja, Op Cit …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar