Rabu, 16 November 2011

Sosiologi Hukum


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT ADAT
DI SEKITAR WILAYAH PERTAMBANGAN BATU BARA
DI KALIMANTAN TIMUR.

Oleh : Aditia Syaprillah

A.                Pendahuluan
Masyarakat adat[1] merupakan suatu kesatuan masyarakat bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi, dsb).Ia lahir dari, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaan  masyarakat adat di Indonesia telah dinyatakan oleh sarjana-sarjana penekun hukum adat, diantaranya Van Vollenhoven mengatakan bahwa di wilayah Nusantara, yang kini disebut negeri multicultural, terdapat 19 wilayah hukum adat (rechtstringen), yaitu wilayah hukum adat (1) Aceh; (2) Gayo Alas Batak, dan Nias; (3) Minangkabau; (4) Sumatera Selatan, Enggano; (5) Melayu; (6) Bangka, Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja; (11) Sulawesi Utara; (12) Kepulauan Ternate; (13) Maluku; (14) Irian Barat; (15) Kepulauan Timor; (16) Bali, Lombok; (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura; (18) Solo, Yogjakarta; (19) Jawa Barat, Jakarta.[2]
Komite Hak Asasi Manusia, pada komentar umumnya Pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, mengamati pentingnya hubungan masyarakat asli, dan merupakan hak mereka untuk itu, dengan tanah dan sumberdaya alam, dalam manifestasi dan pelaksanaan hak-hak budaya mereka[3]. Bagaimanapun, program-program yang berkaitan dengan sumberdaya alam dalam banyak kasus telah merusak budaya masyarakat asli. Relokasi akibat penggunaan tanah mereka, telah mencabut mereka dari setting budaya mereka. Industri minyak, tambang batu bara dan penebangan hutan (Ilegal Loging) telah menghancurkan budaya mereka dan mengorbankan budaya dan kesucian tempat mereka dan menurunkan kualitas lingkungan hidup mereka.
Hutan merupakan sumber kehidupan manusia yang sangat penting, sebab hutan menyimpan banyak sekali unsur penunjang yang tidak diperoleh dari sumber daya alam lainnya. Fungsi hutan dapat dikategorikan dalam 2 (dua) faktor penting, masing-masing ekonomi dan ekologi.Dari sisi ekonomi, hutan menjadi pemasok kayu dan non kayu, pertambangan, perkebunan dan sumber daya alam lainnya yang menunjang kehidupan (manusia dan hewan).Dari sisi ekologi, hutan merupakan sumber kesuburan tanah dan iklim serta penyimpanan karbon dan sumber daya genetik.[4]
Disekitar kawasan hutan, hidup masyarakat asli atau masyarakat adat yang berdasarkan hukum adatnya memiliki hak sumber daya alam disekitar hutan. Hukum adat menetapkan bahwa masyarakat adat tersebut mempunyai hak atas hutan disekitar mereka berupa hak untuk menggunakan lahan di teritorialnya, hak untuk tinggal dalam jangka waktu tertentu disekitar kawasan, serta hak untuk memanfaatkan hutan disekitar kawasan. Dalam perkembangannya disuatu kawasan lahir masyarakat lokal yaitu masyarakat yang berasal dari daerah lain, tetapi kemudian menetap untuk jangka waktu yang lama di kawasan tersebut.[5]
Keberadaan industri pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur telah banyak merusak atau memperparah kondisi lingkungan hidup yang berakibat adanya banjir, pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan di perparah lagi tidak ada niat dari pengusaha tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok sumber daya alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak lobang-lobang yang mengnga-nga layak nya kolam air. Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur ada beberapa titik lubang yang di tinggalkan oleh perusahaan tambang misalnya saja di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu saja. Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.Di Kutai Kartanegara (Kukar) kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya 838 hektar yang ditinggalkan begitu saja.Sementara di Samarinda tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelan-tarkan oleh perusahaan tambang.“Belum lagi Terdapat 33 ijin dari Kementerian ESDM dan 1.269 ijin daerah tambang batubara yang mencongkeli perut bumi Kaltim.Kini, satu per satu mulai terasa akibatnya, mulai dari banjir, krisis energi, gangguan kesehatan karena pencemaran, penggusuran masyarakat adat dan budaya korupsi. Sekitar 4,4 Juta hektar lahan saat ini dikapling Izin Tambang Batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, sawit dan HPH,”
Masyarakat hukum adat, yang umumnya berada di desa-desa yang jauh dari Ibukota, berada pada strata paling bawah dari rakyat Indonesia yang hak-haknya sebagai manusia tidaklah demikian terjamin. Seperti pernah disampaikan oleh H. Amidhan, Ketua Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, masyarakat hukum adat ini berada pada posisi yang lemah, baik dalam bidang ekonomi, dalam bidang hukum, maupun atau apalagi dalam bidang politik. Mereka bukan saja tidak bisa bersaing, tetapi juga hampir tidak berdaya membela diri. Dengan posisi yang amat rentan itu, telah terjadi rangkaian pelanggaran hak masyarakat hukum adat, baik yang dilakukan oleh para usahawan swasta bermodal besar, maupun oleh atau bersamaan dengan oknum-oknum penyelenggaraan Negara yang pada sisi yang satu mempunyai kekuasaan dan kekuatan besar, pada sisi yang lain mempunyai motif keuntungan pribadi yang sama rakusnya dengan pengusaha swasta tersebut.[6]
Pembangunan dapat menimbulkan resiko-resiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan hidup. Resiko-resiko tersebut dapat berupa :[7] a. rusaknya berbagai sistem pendukung perikehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial; b. munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia seperti bahan berbahaya dan beracun dan hasil-hasil bioteknologi; c. pengalihan beban resiko kepada generasi berikutnya atau kepada sektor atau kepada daerah lainnya; dan d. Kurang berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat
Dari sini dapat lah kita lihat bahwa oknum-oknum penyelenggara Negara dalam proses pembangunan hanya mengejar nilai ekonomis saja, tapi tidak melihat dari keberadaan masyarakat adat ataupun masyarakat transmigrasi di sekitar wilayah pertambangan.
Dari beberapa dampak yang di akibatkan oleh kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur yaitu penggusuran masyarakat lokal di sekitar wilayah yang akan di buka untuk kegiatan industri pertambangan, bisa dilihat dari kasus di
Masyarakat Adat Dayak Punan Kaltim, operasi HPH mencapai 20.000 ha, proyek ini menyebabkan terjadinya kerusakan ekologis seperti hutan, tanah dan spesies endemic. Dampak lainnya adalah banjir, krisis air bahkan pemukiman dan perkebunan masyarakat digusur yang lebih parah hal itu menyebabkan terjadinya tindak pelanggaran HAM di antaranya intimidasi dan penangkapan masyarakat secara sewenang-wenang[8]. Kabupaten Kutai Timur Kecamatan Bengalon tepatnya di desa Sepaso dan Keraitan terdapat tambang batu bara yang sedang melakukan pembebasan tanah untuk memperluas usahanya, dalam pembebasan untuk tambang batu bara di wilayah ini ganti rugi hanya di perhitungkan terhadap pohon dan bangunan yang diberikan sebesar Rp 200,- (dua ratus rupiah) per meter persegi tanah.[9]Dan Kabupaten Berau Kalimantan Timur yang menolak pertambangan batu baradi blok prapatan, Bujangga Kelurahan Sungai Bedungun, Kabupaten Berau.Terkait maraknya penolakan itu, Bupati Berau, H. Makmur kepada media menyatakan bahwa jika memang aktifitas tambang mengganggu aktifitas warga maka bisa dihentikan. Salah satu alasan lain, perusahaan itu ternyata konsesi tambangnya dekat dengan pemukiman warga setempat.
Selain kasus diatas, di kota Samarinda tepat nya di desa Makroman, pada bulan September lalu, memperingati Hari Tani, mereka mendatangi Kantor Wali Kota Samarinda dengan membawa ikan mati, cabe, orang-orangan sawah, dan air tercemar limbah batu bara. Mereka menuntut penutupan tambang di sekeliling desa penyebab sawah dan kolam ikan disana menyempit, kekurangan air pada musim kemarau, dan tertimbun lumpur kehitaman pada musim hujan.Tak hanya transmigran, masyarakat adat juga merasakan pil pahit pertambangan.Itu dirasakan Kampung Putak, Desa Loa Duri Ilir, yang sebagaian besar dihuni masyarakat Dayak Tunjung. Kini sekitar 80 persen lahan pertanian mereka berubah menjadi kawasan tambang. Kini, sejak otonomi daerah, sekitar 676 izin pertambangan dikeluarkan pemerintah setempat.Dinas pertanian dan tanaman pangan setempat mencatat, sepanjang 2008-2009, 5.2 persen lahan pertanian atau sekitar 1.950 ha beralih fungsi menjadi tambang batubara.[10]
B.                 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan oleh penulis, dapat di rumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1.      Bagaimana penerapan hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat adat ?
2.      Bagaimana pengelolaan pertambangan yang baik dan benar di Provinsi Kalimantan Timur ?
C.                Kerangka Teori
Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial berkembang juga sejak zaman pemerintahan kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan sarana-sarana bantu saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba menguasai tanah jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera suasana dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra pribumi. Ilmu-ilmu sosial (khususnya Antropologi – yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya pada umumnya – dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum dipakai untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society dari pada kepentingan the state di negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun menjelang Van Volenhoven “menemukan Hukum Adat”, yaitu ketika kaum partikularis (seperti misalnya, antara lain, Snouck Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan politik kolonial kaum universalis.[11] Dan tatkala ilmu-ilmu sosial (entah teorinya entah metodenya) didayagunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum sebagai law as it in society.[12]
Jadi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas, Nampak lah bahwa ilmu sosial sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Dengan gaya berfikir yang hanya mengandalkan ilmu hukum saja sepertinya Nampak bahwa adanya penyempitan cara pandang untuk melihat hukum itu secara murni. Hukum sekarang tidak lah tertutup tetapi harus terbuka dalam pergaulan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya dengan ilmu sosial (kajian ilmu-ilmu sosial). Perkembangan zaman kian bergeser kearah yang tidak memihak keadilan sosial, hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan alat untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan tidak mungkin akan tercapai apabila hukum di tempatkan di ruangan yang tertutup atau hampa, tanpa menggunakan interdisiplener dari ilmu pengetahuan. Hukum dewasa ini hanya dijadikan oleh pengusa sebagai kedok untuk menjamin ketertiban di masyarakat, dan hukum hanya memihak penguasa saja sebagai pembuat kebijakan.
Untuk memahami lebih jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial atau perilaku interaktif antar warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai variasi paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang makro dan klasik sampai ke teori aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir. Adapun metode kajian/penelitian yang hendak dipakai tentu saja bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnya juga amat berpengaruh di dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.[13]
Friedman mengemukakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur. “Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 (elemen), yaitu (a) struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislative), institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum (substance of legal) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum”.[14]
Pendapat serupa juga dikemukakan dalam teori hukum pembangunan dari Mucthar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.[15]
Kegunaan sosiologi hukum[16] sebagai ilmu pengetahuan untuk memahami perkembangan masyarakat dalam kacamata kerangka terorganisir dan berproses yang sepantasnya terjadi di masyarakat (bukan kerangka logis atau ideal) dalam studi hubungan atau interaksi sosial masyarakat berhukum, maka dapatlah kita runtut bahwa sosiologi hukum sebagai alat memahami perkembangan masyarakat mempunyai kegunaan antara lain sebagai berikut[17] :
a.       Sosiologi hukum berguna dalam memberikan dasar-dasar kemampuan bagi proses pemahaman sosiologis fakta sosial hukum yang beranak pinak di masyarakat
b.      Sosiologi Hukum dapat memberikan kemampuan untuk manganalisa aktivitas kegiatan dalam masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep dasar sosiologi (baik secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya).
c.       Sosiologi Hukum dapat memberikan kemampuan dalam memprediksi dan evaluasi “sosial fact” yang berkaitan dengan hukum yang bersifat empiris, non-doktrinal dan non-normatif.
d.      Sosiologi Hukum dapat mengungkapkan tentang ideologi dan falsafah yang berkristal mendasari cara berhukumnya dalam masyarakat.
e.       Mengetahui kenyataan stratifikasi yang timbul dan berkembang serta berpengaruh dalam hukum di masyarakat.
f.       Sosiologi Hukum juga mampu memberikan tentang pengetahuan perubahan sosial hukum.

Maka, sosiologi hukum memiliki makna untuk mempelajari secara sistematis tentang “hukum sebagai fakta sosial (law in the action)[18]” ketimbang hukum sebagai fakta hukum (law in the books) sejauh masih dan terutama ditinjau dan diamati dengan motode empiris. Sosiologi hukum adalah juga termasuk dari human science yang menyoroti salah satu kekhususan dari perilaku dan tindakan manusia baik struktur masyarakat maupun kebudayaannya kaitan dengan karakteristik hukum yang hidup dan berakar di masyarakat (tidak bisa dipisahkan dari keutuhan hukum sebagai suatu sistem[19].
D.                Analisis
1.                  Perlindungan Masyarakat Adat.
Menurut definisi yang diberikan oleh UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. ILO mengkategorikan masyarakat adat sebagai (a) suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah Negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus; (b) suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batar-batas wilayah administrative seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan-terlepas dari apa pun status hukum mereka-sebagian atau semua ciri dan lembaga social, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu, masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budayam agama, tanah dan teritori yang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya Negara bangsa modern.[20]
Definisi-definisi yang pernah diberikan mengenai hukum adat mengungkapkan antara lain, hukum adat adalah :
1.      Hukum yang tidak dibuat dengan sengaja;
2.      Hukum yang memperlihatkan aspek-aspek kerohanian yang kuat;
3.      Hukum yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat.[21]

Menurut Maria Sumardjono, ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan masyarakat adat itu sendiri.
Sementara, indikator keberadaan dimaksud adalah :
a.       Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat;
b.      Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan objek hak ulayat;
c.       Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain, serta perbuatan-perbuatan hukum.[22]

Kegiatan pertambangan acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak melibatkannya ikut bekerja karena mereka dianggap tidak punya keterampilan, keahlian, dan kemampuan kerja tambang. Selama berlangsung penambangan, tumbuh kota permukiman dalam kantong enclave di tengah hutan belantara. Tumbuh pula system “kawin kontrak”, hidup dalam perkawinan selama sang pekerja bertugas kontrak di pedalaman. Tidak ada hak asasi manusia, tdak pula hak perempuan di belantara.[23]
Banyak daerah tidak mengakui hak ulayat masyarakat adat atas tanah karena tanah hutan dianggap milik Negara. Masyarakat adat sulit menerima keadaan ini sehingga potensi konflik membara dalam hati, dan perusahaan pertambangan terjepit. Kondisi seperti ini praktis terdapat di semua Negara pertambangan, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang kini masih bergelut dengan masalah penduduk aslinya. Maka, bagi banyak masyarakat adat lokal berlaku anggapan, “pertambangan lebih banyak bawa derita ketimbang sejahtera”.[24]
Satjipto Rahardjo memberi catatan terhadap Pasal 18 B UUD tersebut sebagai berikut. Pertama, Pasal 18 B sudah menjadi hukum positif, sehingga setiap warga Negara terikat kepadanya. Terikat berarti menerima dan harus dimulai dengan membaca isi peraturan tersebut. Membaca bukan sekedar mengeja kalimat demi kalimat, akan tetapi memberi makna terhadap peraturan tersebut. makna yang diberikan haruslah bertolak dari tata pikiran (mind set) bahwa hukum adalah suatu hukum yang khas mengandung bahan-bahan muatan sosio-antropologis Indonesia. Sifatnya yang penuh dengan afeksi membuat para penggunanya merasa bahagia. Hal ini menjadi alasan penting untuk menjaga dan merawatnya. Kedua, tata pikir (mind-set) yang demikian itu harus menjadi pemandu dalam mencermati dan memahami keempat syarat di atas. Keempat persyaratan tersebut dijabarkan oleh Rahardjo sebagaimana berikut ini.
Persyaratan sepanjang masih hidup perlu dimaknai bahwa persyaratan tersebut diteliti dengan seksama dan hati-hati, tidak hanya menggunakan tolak ukur kuantitatif-rasional, melainkan lebih dengan empati dan partisipasi.Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyelami perasaan masyarakat setempat.Metode yang di gunakan adalah partisipatif.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat harus ditafsirkan tidak dari segi ekonomi dan politik, melainkan dari kacamata masyarakat setempat. Penafsiran dari segi ekonomi politik mengandung resiko untuk memaksakan kepentingan raksasa atas nama perkembangan masyarakat. Masyarakat adat perlu diberi peluang dan dibairkan berproses sendiri secara bebas.
Sesuai dengan prinsip NKRI perlu dipahami dan dimaknai bahwa masyarakat adat (lokal) adalh satu kesatuan tubuh NKRI, keduanya tidak perlu dihadapkan secara dikhotomis atau hitam-putih. Masyarakat adat (lokal) adalah bagian dari darah daging NKRI itu sendiri.Metode yang perlu dikembangkan adalah metode holistic untuk melihat masalah tersebut.
Diatur dalam undang-undang harus diberi catatan bahwa Negara hukum Indonesia, kehidupan sehari-hari tidak mamadai segalanya diserahkan kepada undang-undang, karena akan menjadi tidak produktif.[25]
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam konstitusi terdapat dalam Pasal 18b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1954 yang secara tegas menyebutkan, bahwa : “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang “ dan  Pasal 28 I menyebutkan “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban “
            Untuk melindungi keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan tradisi budayanya, termasuk kearifan tradisionalnya-dan dalam rangka itu melindungi keanekaragaman hayati –beberapa hak masyarakat adat berikuti ini perlu diakui, dijamin dan dilindungi. Sebagai berikut[26] :
a)      Hak untuk menentukan diri sendiri
b)      Hak atas teritori dan tanah.
c)      Hak asasi kolektif
d)     Hak budaya
e)      Hak untuk menganut system kepercayaan serta nilai-nilai religious dan moral mereka sendiri, yang tidak boleh dilanggar oleh pihak luar.
f)       Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif (the right of non-discrimination)
g)      Masyarakat adat mempunyai hak untuk ikut berpartisifasi secara penuh dalam proses politik yang nyangkut kepentingan bersama semua kelompok masyarakat.
h)      Hak untuk memperoleh ganti rugi atas setiap kegiatan yang menimbulkan dampak merugikan bagi lingkungan hidup dan nilai-nilai social, budaya, spiritual dan moral masyarakat adat

Kebijakan nasional yang berkaitan dengan sumber daya alam misalnya undang-undang kehutanan dan undang-undang air mengakui keberadaan masyarakat adat.
            Agar keberadaan masyarakat adat/lokal lebih diakui seharusnya pemerintah daerah kabupaten/kota harus membuat suatu kebijakan daerah atau Peraturan daerah yang isinya lebih substansi mengatur tentang keberadaan masyarakat adat yang berisikan tentang konsep masyarakat adat itu sendiri. Dan hal yang penting dalam melindungi keberadaan masyarakat adat perlunya dilakukan inventarisir wilayah ulayat adat, masyarakat adat, dan perbaikan peraturan perundang-undangan di wilayah kabupaten/kota yang masih ada masyarakat adatnya (pendampingan dan pemberdayaan masyarakat adat).[27]
2.                  Pengelolaan Pertambangan Batu Bara Yang Baik
Salah satu jenis bahan tambang adalah batu bara. Istilah batu bara merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu coal. Batu bara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbitumine, antarasit.[28]
Batu bara dapat digolongkan menurut kualitasnya dan sifatnya. Penggolongan batu bara berdasarkan kualitasnya merupakan penggolongan batu bara yang didasarkan pada tingkat baik atau buruknya mutu baru bara tersebut. penggolongan batu bara berdasarkan kualitasnya dibagi menjadi dua macam, yaitu kualitas tinggi dan kualitas rendah. Batu bara kualitas tinggi merupakan batu bara yang nilai kalorinya di atas 5.000 kkal/kg. Sementara itu, batu bara kualitas rendah (lignite) adalah batu bara yang nilai di bawah 5.000 kkal/kg. berdasarkan data, cadangan batu bara Indonesia sebesar 43,6 miliar ton. Sebanyak 58,6% dari cadangan itu merupakan batu bara kualitas rendah.[29] Sebagian batu bara yang terdapat di dalam isi bumi di Indonesia di gunakan untuk pembangkit tenaga listrik.
Kontribusi sektor pertambangan di Indonesia, sejak dari zaman penjajahan sampai sekarang masih sangat membantu dalam sistem perekonomian di negara kita. Pada zaman penjajahan, sumber daya alam tidak dapat di nikmati atau di manfaati oleh rakyat indonesia, pada waktu zaman penjajahan tersebut sumber daya alam di Indonesia di kuasai oleh para penjajahan belanda, bangsa belanda menguasai sumber daya alam tersebut secara penuh untuk kepentingan belanda saja, dan rakyat indonesia tidak dapat menikmatinya dengan sewajarnya malah membuat rakyat Indonesia sengsara dan miskin. Dalam konteks ini, rakyat indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, dan apa yang dirasakan pada zaman penajajahan tidak jauh berbeda dengan zaman sekarang, masih banyak rakyat yang sengsara dan tidak dapat menikmati hasil dari sumber daya lama yang dimilikinya.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Abrar Saleng di dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan. Pengusahaan pertambangan, memiliki peran yang strategis dan mempunyai kontribusi yang besar dalam pembangunan di daerah. Sebab dengan penguasahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komonitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Banyak contoh mengenai pelaksanaan konsep pengembangan wilayah sekitar kegiatan pengusahaan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Misalnya saja di Kalimantan Timur, PT Kaltim Prima Coal (KPC), pengembangan wilayah dilakukan di sanggata dan sekitarnya adalah pembangunan sarana jalan yang menghubungkan berbagai kampung di sekitarnya, pembangunan sarana kesehatan yang dapat digunakan oleh penduduk sekitarnya dan menjadi rumah sakit rujukan, pembangunan pusat perbelanjaan, pembangunan desa-desa tertinggal dengan memberikan bimbingan dan dana penunjang bagi usaha masyarakat setempat, khususnya usaha kecil.[30]
Dampak positif dari industri pertambangan batu bara di indonesia adalah[31] :
1.      Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan dan pelabuhan.
2.      Sumber devisa Negara.
3.      Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
4.      Sumber energy alternative untuk masyarakat local
5.      Menampung tenaga kerja.

Syafruddin Karimi mengemukakan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan batu bara menjadi komoditas yang sangat strategis bagi perekonomian suatu daerah, khususnya Sumatera Barat. Keempat faktor itu adalah sebagai berikut[32] :
1.      Batu bara merupakan hasil pertambangan terpenting bagi Sumatera Barat. Tanpa batu bara, pertambangan batu bara di Sumatera Barat hamper tak ada sama sekali. Batu bara telah menyumbang ke dalam pendapatan daerah dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
2.      Pertambangan batu bara merupakan pendapatan dominanbagi pemerintah daerah dan bagi masyarakat, khususnya kota Sawahlunto
3.      Kehadiran pabrik semen menjadi industry terpenting bagi Sumatera Barat.
4.      Batu bara merupakan penghasil devisa.

Dampak negatif penambangan batu bara di Indonesia yaitu[33] :
1.      Sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memerhatikan kelestarian lingkungan;
2.      Penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan;
3.      Limbah kegiatan pertambangan yang mencemari lingkungan;
4.      Areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga;
5.      Membahayakan masyarakat sekitar;
6.      Sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar;
7.      Kontribusi bagi masyarakat sekitar ayng dirasakan masih kurang;
8.      Hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegaiatan pertambangan masih kurang

Suyartono dkk, menyebutnya sebagai paradigma praktik/pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang baik dan benar/good mining practice, yaitu membangun peradaban suatu kegiatan usaha pertambangan yang memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah-kaidah, dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dan dampak buruk yang minimal.[34] Lebih lanjut, good mining practice meliputi, aspek perizinan, teknis penambangan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), lingkungan, keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah dan pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan, dan mempersiapkan penutupan pascatambang, dalam bingkai kaidah peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku sesuai tahap-tahap kegiatan pertambangan.[35]
Selain dari yang dikemukakan diatas, hal yang penting dalam pengelolaan pertambangan yang baik dan benar adalah pemberdayaan masyarakat disekitar wilayah pertambangan tersebut. Dalam kaitan dengan konsep pemberdayaan wilayah dan masyarakat oleh pelaku kegiatan usaha pertambangan, merupakan upaya dan proses dalam rangka mendorong terjadinya keseimbangan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kemandirian masyarakat, sehingga mendekati cita-cita atau ide keadilan sosial-ekonomi. Dalam kasus ini, masyarakat didorong untuk mengerti dan memahami, sehingga secara sadar akan ikut terlibat dalam aktivitas pertambangan. Aktivitas dimaksud, bukan berarti masyarakat ikut melakukan kegiatan eksploitasi bahan galian, tetapi menjaga keberlangsungan kegiatan penambangan yang berada di lingkungannya.[36] Pola ini merupakan pendekatan sosial budaya, yaitu dengan cara mengadaptasi fungsi integrasi sosial dan hukum yang dikemukakan Parson,[37] bahwa masyarakat memperoleh pembinaan melalui konsep pemberdayaan lingkungan dan masyarakat di mana tambang itu beroperasi. Proses pembinaan tersebut diarahkan agar berjalannya proses interaksi antara masyarakat setempat dengan masyarakat tambang (pendatang), sehingga terjadi harmonisasi hubungan antara keduanya, bukan ketimpangan social yang cenderung terjadi selama ini.
Rancangan atau konsep pemberdayaan wilayah dan masyarakat, idealnya merupakan bagian integral dari rancangan penutupan pasca tambang. Tujuannya tidak lain agar masyarakat paham bahwa setelah bahan galian habis dieksploitasi perusahaan, maka kegiatan usaha pertambangan akan selesai. Artinya, perusahaan akan meninggalkan lokasi itu, yang tertinggal adalah hanya tonggak-tonggak fisik fasilitas bangunan bekas sarana dan prasarana tambang, lahan tambang yang telah berubah menjadi rona lingkungan baru, dan catatan peristiwa-peristiwa selama proses kegiatan usaha tambang itu berjalan.
Lebih penting lagi dari pengelolaan pertambangan batu bara yang baik dan benar, sebelum melakukan pertambangan sebaiknya yang dilakukan adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dimana tempat wilayah pertambangan tersebut. KLHS adalah instrument kebijakan yang berfungsi dan bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelajutan telah menjadi dasar telah terintegrasi dalam pembangunan di sebuah wilayah ekorigion maupun wilayah administrative tertentu, baik pada tingkat perumusan kebijakan maupun tingkat implementasi kebijakan di lapangan, selain itu, KLHS berfungsi dan bertujuan untuk memastikan dan menjamin bahwa kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan di suatu wilayah ekoregion ataupun wilayah administrative telah benar-benar didasarkan dan mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Selain itu juga instrument yang lainnya yaitu izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, perdata dan administrasi) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
E.                 Penutup
1.      Agar keberadaan masyarakat adat lebih diakui seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, ialah :
a.       Harus membuat suatu kebijakan daerah atau Peraturan Daerah yang isinya lebih substansi mengatur tentang keberadaan masyarakat adat yang berisikan tentang konsep masyarakat adat itu semdiri.
b.      Hal yang penting dalam melindungi keberadaan masyarakat adat perlunya dilakukan inventarisir wilayah ulayat adat, masyarakat adat, dan perbaikan peraturan perundang-undangan di wilayah kabupaten/kota yang masih ada masyarakatnya (pendampingan dan pemberdayaan masyarakat adat)
2.      Penggelolaan pertambangan yang baik dan benar adalah pemberdayaan masyarakat disekitar wilayah pertambangan tersebut dan penutupan pasca tambang (reklamasi). Selain itu juga instrument yang lainnya yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Izin Lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, perdata dan administrasi) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A.    Literatur
Bahar. Saaroedin, Inventarisir dan Perlindungan Hak Masyarakat hukum Adat, sub Komisi Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya Komnas HAM, Jakarta
Fahmi. Sudi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011
H. S. Halim, Hukum Pertambangan Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008

Keraf. A.  Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, Oktober, 2010

Otje Salman dan Anton F. Sutanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004

Rahardjo. Satjipto, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua GENTA PUBLISING, Maret 2010

Saptomo. Ade, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010
Surono. Agus, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Cetakan ke-1 Jakarta; Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008
Salim. Emil, Ratusan Bangsa Merusak Bumi, Kompas, Jakarta, 2010

Saleng. Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogjakarta, September, 2004

Sudrajat. Nandang, Teori dan Praktek Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogjakarta, 2010

Utsman. Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research), Pustaka Pelajar, Yogyakarat, Cetakan Pertama, April, 2009
Wignjosoebroto. Soetandyo, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM & HUMA, Cetakan pertama, November, 2002

B. Artikel dan Bahan Kuliah

Human Right Committee, General Comment 23L, Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94
Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat
Syamsudin. M, Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara, JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM, NO: 3 Vol 15 Juli 2008

Opini, Batubara dan Mimpi Swasembada Pangan, Harian Kompas, Kamis 6 Oktober 2011

Wignjosoebroto. Soetandyo, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008





[1]. Menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (Maret 1999), masyarakat adat dirumuskan sebagai :kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideology, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.
[2]. Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010, hlm;14
[3]. Human Right Committee, General Comment 23L, Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94
[4]. John Haba-Irane H. Gayatri, Konflik Di Kawasan Ilegal Logging di Kalimantan Tengah. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2003,hlm 7. Seperti yang dikutip oleh Agus Surono, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Cetakan ke-1 Jakarta; Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008, hlm 1
[5]. Ibid..hlm1-2
[6]. Saaroedin Bahar, Inventarisir dan Perlindungan Hak Masyarakat hukum Adat, sub Komisi Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya Komnas HAM, Jakarta, 2005, hlm; 17-18
[7]. Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm 108-109. Yang dikutip oleh Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[8]. Data di olah dari Walhi dan Jatam, Dikutip dari M. Ridha Saleh, Mitologi Pembangunan Adalah Per-tumbuhannya Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, ”Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”, Vol.3 Tahun 2005, hlm.113
[9]. Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat, tanpa tahun
[10]. Opini, Batubara dan Mimpi Swasembada Pangan, Harian Kompas, Kamis 6 Oktober 2011
[11]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM & HUMA, Cetakan pertama November 2002, hal 113.
[12]. Ibid, hal. 114.
[13]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008.  Hlm 62
[14]. Lawrence W Friedman.America Law.( New York: W. W Norton & Company. 1984). Hlm 7. Seperti yang di kuitp oleh Agus Surono, Hak Masyarakat Lokal Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Op Cit….. hlm 17
[15]. Ibid.
[16]. Pertumbuhan dan perkembangan sosiologi hukum diawali oleh pemikiran seorang ahli yang bernama Anzilotti (1882). Hal ini diungkapkan oleh Mulyana W.Kusuma dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Perkembangan dan Masalah dalam Sosiologi Hukum”(1981) yang mana dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk pertama kali dipergunakan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Lebih lanjut Kusuma menyatakan bahwa lahirnya sosiologi hukum bukan saja dari individu-individu, akan tetapi juga berasal dari mahzab-mahzab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir yang mana berasal dari beberapa tokoh antara lain; Eugene Ehrlich, Roscoe Pound, Karl Lieurllyn, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Lebih jelas nya lihat Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research).
[17]. Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research), Cetakan Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 111-112
[18]. Apabila hukum sebagai fakta sosial (law in action) bahwa dimana ada masyarakat di sana ada hukum yang hidup dan berkembang. Lebih jelas nya lihat Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research).
[19]. Ibid, hlm. 314
[20]. Darrell Addison Posey (ed), Cultural and Spritual Values Of Biodiversity, hlm 3-4 ... yang dikutip oleh A sonny keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, Oktober, 2010, hlm;361-362
[21]. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 161
[22]. Op Cit, Ade Saptomo, hlm;15
[23] . Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Bumi, Kompas, Jakarta, 2010, hlm;45
[24].  Ibid.
[25]. M. Syamsudin, Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara, JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM, NO: 3 Vol 15 Juli 2008
[26]. Lihat Selengkapnya, A Sonny Keraf,Op Cit, hlm;381- 390
[27]. Op Cit, Lihat juga Komisi Hukum Nasional, hlm 120-121
[28]. Sukandarrumidi, 1995;hlm 26, yang dikutip oleh Halim HS, Hukum Pertambangan Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 217
[29]. Halim HS, Hukum Pertambangan Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 217
[30].  Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogjakarta, September, 2004, hlm 200-201
[31]. Asis Djajadiningrat, 2003. Ibid, hlm 221
[32]. Syafrudin karimi, Kompas, 30 Juli 2004.Ibid, hlm 222
[33].  Op Cit. Asis Djajadiningrat, 2003, hlm 222-223
[34]. Suyartono, dkk., Good Mining Practice hlm 3, dikutip oleh Nandang Sudrajat, Teori dan Praktek Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogjakarta, 2010, hlm 144-145
[35]. Ibid.
[36]. Ibid
[37]. Talcot Parson, di kutip dari Otje Salman dan Anton F. Sutanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004, hlm 71-81. Fungsi Integrasi (Integration). Ini adalah sub sistem yang berhubungan erat dengan proses interaksi dalam masyarakat. Dalam rangka teori parson ini, proses interaksi tersebut tidak cukup untuk digarap oleh fungsi mempertahankan pola saja, yaitu yang berupa penegakkan nilai-nilai. Seperti yang dikutip oleh Nandang Sudraja, Op Cit …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar