Senin, 24 Oktober 2011

POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA


POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Oleh : Aditia Syaprillah
ABSTRAK
Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi, terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokok-tokoh masyarakat, dan para kritisi pembangunan. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, tujuan dari pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yang pertama isinya yang disingkat menjadi 6P, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasaan, dan penegakan hukum, untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Implementasi dari Undang-undang ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang lingkungan hidup secara terbuka.

Kata Kunci :  Pembangunan dan Lingkungan Hidup
A.                Pendahuluan
Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mula pertama, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku Building a Substainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui Brundtland, Our Common Future (1987).[1]
Untuk selama lebih dari satu dasawarsa masalah-masalah yang berkenaan dengan pencemaran lingkungan hidup manusia telah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari masyarakat internasional. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi, terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokok-tokoh masyarakat, dan para kritisi pembangunan. Dalam berbagai kesempatan pertemuan international rasa prihatin yang sangat beralasan itu sempat dituangkan ke dalam deklarasi-deklarasi[2] politik penting yang dapat dipandang sebagai kritik terhadap gaya-gaya pembangunan yang tidak memperdulikan tuntutan-tuntutan keseimbangan ekologis.[3] Dalam perkembangannya sampai hari ini pun paradigma pembangunan yang berkelanjutan yang di deklarasikan oleh para kaum politisi, kaum intellektual, dan pemerhati lingkungan di dunia tersebut tidak dijalankan sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama-sama tersebut bisa dibilang mengalami kegagalan. itu bisa dilihat dari kerusakan lingkungan (dampak dari Gas Rumah Kaca (GRK), semakin panasnya bumi, dan perubahan iklim) yang terjadi diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Menurut A Sonny Keraf penyebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, (a) paradigma tesebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. (b) mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme.[4]
            Ideologi developmentalisme[5] lebih mengutamakan kepentingan pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, walhasil dari pembangunan yang lebih memfokuskan kepada pertumbuhan ekonomi ialah terjadinya perampokan terhadap sumber daya alam[6] secara besar-besaran yang tidak lagi memperdulikan kelangsungan lingkungan hidup, dan dimana-mana terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan hidup yang di akibatkan oleh pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi belaka.
            Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan[7] tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Gagasan di balik itu adalah, pembangunan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya.[8]
            Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, harus ditambah juga dengan pendekatan pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Di Indonesia sudah salah kaprah dalam memahami pembangunan yang berkelanjutan, pemahamannya disini ialah pemahaman yang hanya fokus terhadap pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya dalam pembangunan nasional. Sudah telah di singgung diatas bahwa pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi hanya membawa bangsa Indonesia kedalam kehancuran, kemiskinan, kebodohan, belum lagi terjangkit penyakit yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup oleh pihak perusahaan, dan menurunnya kualitas sumber daya alam yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat disekitar yang kehidupannya bergantung kepada sumber daya alam.[9] Jika kita melihat dari kerugian-kerugian sosial-budaya dan lingkungan hidup yang di timbulkan oleh pembangunan yang berkelanjutan dan lebih fokus terhadap pertumbuhan ekonomi, sangat tidak relevan dengan dampak yang di timbulkan tersebut,bila dibandingkan dengan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan sosial-budaya.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi, ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :[10] 1. Memberikan kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung meupun tidak langsung; 2. Memanfaatkan sumber alam sebanyak alam atau teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari; 3. Memberikan kesempatan kepada sector dan kegiatan lainnya untuk berkembang secara bersama-sama baik di daerah dan kurun waktu yang sama maupun di daerah dan kurun waktu yang berbeda secara sambung menyambung; 4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber alam dan melindungi serta mendukung perkehidupan secara terus menerus; 5. Menggunakan prosedur dn tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.
            Disini bisa dilihat bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi juga baik bagi perbaikan pendapatan per kapita dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai sumber daya alam yang begitu banyak dengan mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya alam, tapi tidak disadari bahwa akibat mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat mengakibat kerusakan lingkungan yang sangat besar belum lagi konflik sosial di tingkat masyarakat yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sangat berkaitan erat dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat, dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang baik dan benar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Dan penyelenggara Negara disini harus bekerja lebih baik lagi agar bisa memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut dengan memanfaatkan atau menguasai sumber daya alam tersebut dengan baik.
            Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Alenia IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan Negara ialah untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mewujudkan kesejahteraan umum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk mengusai seluruh sumber daya alam, yang secara jelas di sebutkan dalam Pasal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Bahwa sesungguhnya dalam penguasaan dan/atau kewenangan yang di miliki Negara dalam mengelola sumber daya alam harus memenuhi keinginan seluruh rakyat Indonesia.
            Seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa untuk mewujudkan Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Bukan berarti aspek ekonomi tidak penting, tapi bagaimana caranya untuk ketiga aspek ini bisa saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal pembangunan ekonomi harus disertai dengan aspek lingkungan hidup dan aspek sosial-budaya. Itu semua dapat diwujudkan dengan cara sebelum pembangunan itu dilaksanakan terutama pembangunan ekonomi, harus melalui kewajiban prosedur Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penegakan hukum (pidana, administrasi dan perdata) yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup  No 32 Tahun 2009. Dan pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan prosedur dan administrasi yang baik, cermat dan teliti tersebut sehingga dapat dirasakan oleh generasi kini dan generasi yang akan datang.





B.                 POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Berdasarkan arti-arti politik dan asumsi-asumsi diatas maka studi politik hukum mencakup minimal tiga level:
1.      Level 1 : Politik hukum dalam arti legal policy: garis resmi Negara tentang hukum yang akan diberlakukan dan tak kan diberlakukan (membuat yang baru, mengganti yang lama)
2.      Level 2 : Politik hukum dalam arti pergulatan dan perdebatan politik yang kemudian melahirkan hukum berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik.
3.      Level 3 : Politik hukum dalam arti implementasi kebijakan hukum dilapangan.[11]

Politik hukum, secara sederhana, dapat di rumuskan sebagai :

“Kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan dan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik hukum mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembentukan dan penegakan hukum itu”.

Definisi hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi muatan dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.[12]
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara definisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[13]
Reformasi politik hukum, menurut Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), seharusnya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal, yaitu[14]:
a.       Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system);
b.      Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan professional;
c.       Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang kokoh;
d.      Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog) dan penekanan (pressure);
e.       Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh local civil society yang juga kuat (democratic decentralization) ;
f.       Adanya mekanisme resolusi konflik.

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan Konsideran mengingat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
            Bahwa hukum merupakan produk politik dapatlah difahami menakala difahami ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan :
(1)   Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
(2)   Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
(3)   Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4)   Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang
(5)   Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Dari beberapa uraian tentang definisi politik hukum, terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan di bangun.[15] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan dasar dari kebijakan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan :
            “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

            Pasal 33 ayat (3) menyebutkan :

            “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

            Pasal 33 ayat (4) menyebutkan :

            “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

            Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945, terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakan hukum negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam :
1.      Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam harus diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam.
2.      Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.
3.      Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam  dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
4.      Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan sarana untuk  mencapai pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan kemajuan ekonomi nasional.
5.      Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang.[16]

C.    Isi Pokok Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, pertama kalinya lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesuai dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat dalam memahami lingkungan hidup, sehingga materi muatan yang terkandung di dalam Undang-undang tersebut perlu di revisi atau di sempurnakan lagi, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang ini pun perlu di sempurnakan lagi karena tidak dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin hari semakin meningkat dan perlunya paradigma baru dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, lahir sebelum adanya otonomi daerah, karena yang kita semua ketahui sebelum lahirnya otonomi daerah semua kewenangan berada di pemerintah pusat termasuk kewenangan untuk mengatur lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, kewenangan pemerintah pusat di desentralisasikan ke pemerintah daerah, termasuk untuk mengatur lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dari hal-hal itu lah di perlukan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru yang lebih komprehensif, konsisten dan substansif isinya.
Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. secara filosofis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, ini memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.[17]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.[18]
Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, berbunyi :
“ Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.”
           
            Dalam kebijakan hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang baru ini, bahwa nampak jelas kontruksi dan alur pikir politik hukum sebagai legal policy, telah memuat cita-cita bangsa, tujuan negara, dan cita hukum. Kebijakan hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia bertujuan sebagai berikut :
1.      Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2.      Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3.      Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4.      Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5.      Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6.      Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7.      Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
8.      Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9.      Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10.  Mengantisipasi isu lingkungan global.[19]

Untuk mewujudkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yang pertama isinya yang disingkat menjadi 6P, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasaan, dan penegakan hukum,[20] untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Sebagai dasar pijakan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah perencanaan.[21] Dengan perencanaan yang baik dan benar, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan dapat berjalan dengan baik pula. Begitu juga dengan pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan penegakan hukum bisa baik dan benar kalau perencanaannya juga baik sebelumnya.
Selain perencanaan yang baik dan benar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kita juga bisa menjumpai di dalam Undang-Undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam.[22] Agar pemanfaatan sumber daya alam itu tidak rusak keberlanjutan proses, fungsi, produktivitas lingkungan hidup dan keselamatan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat, harus didasarkan oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tersebut untuk tetap menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dari keenam aspek penting perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada empat (4) aspek yang mempunyai posisi sangat strategis, yaitu (a) perencanaan sebagai dasar dari semua perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (b) pengendalian yang berisikan berbagai instrument penting yang menentukan keberhasilan kita dalam mencapai sasaran utama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; (c) pengawasan sebagai aspek atau faktor penting yang menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan (d) penegakan hukum sebagai aspek atau faktor paling penting yang menjamin keberhasilan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[23]
Selain empat (4) aspek diatas tadi yang menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, masih ada lagi instrumen penting lainnya yang mendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, yaitu pertama Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup yang meliputi : kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan hidup, UKL-UPL, izin lingkungan hidup, instrument ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan yang berbasis lingkungan hidup, anggaran yang berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, kedua Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan.
D.                Implementasi Kebijakan Hukum ( Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup)

Apa yang telah di bahas diatas merupakan isi pokok dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, ada sekikit hal yang perlu di kritisi dari Undang-undang tersebut ialah, Dalam pasal 46, berbunyi :
“ Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup”.

Dari ketentuan ini sangat merugikan rakyat dan pemerintah sendiri dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Yang kita ketahui bersama pada 2000-2008 banyak sekali kerusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam hal menjaga kelestarian lingkungan hidup, seperti illegal loging, kegiatan pertambangan batu bara yang tidak ada niat dari pengusaha tambang tersebut untuk tidak mereklamasi lahan yang sudah di kerok sumber daya alam nya, jadi dimana-mana di wilayah tambang tersebut banyak lobang-lobang yang mengnga-nga layak nya kolam air.
Pembicaraan mengenai komponen sistem penerapan hukum meliputi tiga komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi, jaksa, hakim, dan berbagai institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum secara administratif pada jajaran eksekutif.[24]
Sebaik apapun produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semuanya hanya tergantung dari instansi terkait atau pihak yang berkepentingan dari produk hukum tersebut harus mempunyai keahlian di bidang lingkungan hidup, serta penegakan hukum lingkungan yang harus jelas dan tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada dibawahnya dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri sangat di butuhkan dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
 Berdasarkan sub bab ini akan membahas implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup. A Sonny Keraf ada memberikan beberapa catatan penting dalam implementasi dari undang-undang lingkungan hidup yang baru tersebut, yaitu :
a.       Undang-undang ini jangan hanya dilihat sebagai perangkat hukum untuk mengamankan kepentingan lingkungan hidup belaka. Lebih dari itu, jangan pula dilihat sebagai batu sandungan bagi pembangunan dan kepentingan ekonomi di berbagai sektor.
b.       Demi menjalankan semua tugas dan kewenangan yang diatur di dalam undang-undang ini, disadari bahwa diperlukan sebuah institusi Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) yang baru, yaitu yang lebih mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Dan dukungan anggaran sangat besar untuk KNLH dalam menjalankan tanggung jawab, tugas, fungsi, dan kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-undang ini.
c.       Semua pemangku kepentingan (DPR, media massa, para pakar, dan pengiat lingkungan hidup serta lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup) diharapkan diajak untuk terlibat dalam satu dan lain bentuk sesuai dengan peran mereka masing-masing untuk bersama-sama mensukseskan implementasi Undang-undang ini sebagai sebuah mimpi dan jawaban bersama atas berbagai krisis dan bencana lingkungan hidup global. Dan KNLH harus bersedia untuk membuka diri dan merangkul berbagai pemangku kepentingan untuk berperan aktif mendukung pelaksanaan Undang-undang ini. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk menyakinkan sektor lain bahwa, pertama, lingkungan hidup merupakan masalah bersama yang sudah waktunya ditempatkan sebagai bagian utama dari arus utama pembangunan nasional, kedua, dibutuhkan undang-undang untuk mengontrol kita semua dalam rangka kegiatan pembangunan sedemikian rupa untuk tidak mengabaikan begitu saja masalah lingkungan hidup, ketiga, aktifitas ekonomi produktif tetap diberi tempat dan dijamin tidak akan diganggu gugat selama mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, keempat, Undang-undang ini tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat dan memperlambat laju pembangunan ekonomi nasional demi mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan Undang-undang ini perlu di dukung oleh semua sektor untuk kepentingan bersama seluruh rakyat Indonesia baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.[25]

E.     PENUTUP
1.      Perlunya perubahan paradigma pembangunan yang fokus terhadap pembangunan ekonomi saja harus di rubah/atau ditambah menjadi pembangunan yang melihat aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan.
2.      Perubahan budaya masyarakat harus lebih diarahkan cinta terhadap lingkungannya sendiri, selama budaya masyarakat kita yang antroposentrime atau yang merusak lingkungan maka sulit untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
3.      Berdasarkan apa yang telah di uraikan diatas, bahwa politik hukum pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sudah hampir sempurna karna pembentukannya sudah lebih baik dari sebelumnya.
4.      Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, sebagai payung dari peraturan yang dibawahnya, belum memiliki Peraturan Pemerintah tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dalam hal pembuatan perizinan lingkungan hidup sudah saatnya dilakukan dengan pengkajian yang lebih baik lagi agar diperoleh data yang baik pula sebelum dilakukan pembangunan.
5.      Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berbasis lingkungan hidup.
6.      Perlunya penegakan hukum yang jelas bagi para pelaku/perusak lingkungan hidup agar menimbulkan efek jera dan diantara 3 sanksi (pidana, perdata dan administrasi) tersebut tidak adanya tumpang tindih.
7.      Dibutuhkan anggaran yang cukup besar dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.



[1]. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta 2010; hlm 190
[2]. Salah satu deklarasi tersebut ialah Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janerio, Brazil (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002) paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Lihat juga A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta 2010; hlm 190
[3]. Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Cetakan Pertama, Jakarta 1988, hlm; 131
[4]. Op cit. hlm 19
[5]. Pola Developmentalisme ialah yang mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi harus ditinggalkan dan diganti dengan sebuah pendekatan pembangunan yang holistic dan integrative dengan member perhatian serius kepada pembangunan sosial – budaya dan lingkungan hidup. Lihat juga A Sonny Keraf, Op cit hlm 193
[6]. Definisi SDA adalah yang diajukan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI (2006). Dalam definisi tersebut dinyatakan bahwa SDA adalah kesatuan tanah, air, dan ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya yang merupakan hasil proses alamiah baik hayati maupun nonhayati, terbarukan dan tidak terbarukan, sebagai fungsi kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan (Pasal 1, butir 1, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, 2006, hlm. 2). Dan lihat juga Pasal 1 Angka 9 UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[7]. World Commission on Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya baru dimulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring yang terbit pertama kali pada 1962. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Green Constitution
[8]. Hans-Joachim Hoehn, “Environmental Etnics and Enviromental Politics”, dalam Josef Thessing dan Wilhelm Hofmenister (ed), Environmental Protection as An Element of Order Policy (Rathausalle:Konrad-Adenauer Stiftung, 1996), hlm 64, seperti yang dikutip oleh A. Sonny Keraf, Op cit hlm 192
[9]. Lihat juga A. Sonny Keraf, Op cit, hlm 193-194
[10]. Sudi Fahmi, Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, NO: 2 Vol 18 April 2011, hlm 221
[11]. Mahfud MD, Bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII Yogjakarta, tanpa tahun, hlm 2
[12]. Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia; penerbit LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 1-2.
 
[13]. Abdul Hakim Garuda Nusantara, seperti yang di kutip Oleh Mahfud MD, Ibid, hlm;
[14]. Koesnadi Hardjasoemantri, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003,hlm;3
[15]. Op Cit. hlm 9
 
[16].Edra Satmiadi, POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA (http://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/11/03/politik-hukum-pengelolaan-lingkungan-hidup-di-indonesia/)
 
[17].Siti Kotijah, Tag:Siti Kotijah, UU Nomor 32 Tahun 2009, Diterbitkan November 19, 2009 Artikel Dosen Ditutup
[18]. Penjelasan Umum 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
[19]. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
[20]. Pasal 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[21]. Lihat Bab III Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[22]. Lihat Bab IV Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[23]. A Sonny Keraf, Op cit hlm 254
[24]. Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem ; Penerbit CV. Mandar Maju,2003, Bandung, hlm; 165
[25]. A Sonny Keraf, Op cit hlm 287-291


(Mohon Saran dan Kritiknya, untuk kesempurnaan sebuah karya ilmiah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar