Senin, 31 Oktober 2011

STUDI HUKUM DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL ATAU PEMANFAATAN ILMU SOSIAL DALAM STUDI HUKUM

A.    Pendahuluan
Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial berkembang juga sejak zaman pemerintahan kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan sarana-sarana bantu saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba menguasai tanah jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera suasana dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra pribumi. Ilmu-ilmu sosial (khususnya Antropologi – yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya pada umumnya – dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum dipakai untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society dari pada kepentingan the state di negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun menjelang Van Volenhoven “menemukan Hukum Adat”, yaitu ketika kaum partikularis (seperti misalnya, antara lain, Snouck Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan politik kolonial kaum universalis.[1] Dan tatkala ilmu-ilmu sosial (entah teorinya entah metodenya) didayagunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum sebagai law as it in society.[2]
Jadi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas, nampak lah bahwa ilmu sosial sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Dengan gaya berfikir yang hanya mengandalkan ilmu hukum saja, terkesan bahwa adanya suatu penyempitan cara pandang untuk melihat hukum itu secara murni. Hukum sekarang tidak lah tertutup tetapi harus terbuka dalam pergaulan dengan ilmu-ilmu lainnya khususnya dengan ilmu sosial (kajian ilmu-ilmu sosial). Perkembangan zaman kian bergeser kearah yang tidak memihak keadilan sosial, hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan alat untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan tidak mungkin akan tercapai apabila hukum di tempatkan di ruangan yang tertutup atau hampa, tanpa menggunakan interdisiplener dari ilmu pengetahuan. Hukum dewasa ini hanya dijadikan oleh pengusa sebagai kedok untuk menjamin ketertiban di masyarakat, dan hukum hanya memihak penguasa saja sebagai pembuat kebijakan.
Ilmu hukum dalam perkembangannya yang berabad-abad lamanya telah kuasa untuk membentuk semacam ‘kerajaan tersendiri’ yang tidak mudah dengan begitu saja dapat dimasuki oleh orang-orang yang tidak ‘ingetwijd’ terlebih dahulu. Dalam hubungan ini, kita akan terpikir pada adanya istilah-istilah, pengertian-pengertian, sistematika maupun konstruksi-konstruksi hukum yang khususnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memang sengaja mempelajarinya. Keadaannya adalah sedemikian rupa sehingga bahkan orang-orang dari kelompok ilmu-ilmu sosial di luar hukum segan-segan untuk memasuki bidang yang esoterik itu.[3] Ilmu hukum seperti di dalam ruang yang sangat sterill atau hampa, ilmu hukum tidak bisa berinteraksi dengan ilmu-ilmu sosial budaya, politik, dan ekonomi di karenakan ilmu hukum menjaga kemurniaanya.
Suatu hal lain yang sangat penting yang mempengaruhi adanya semacam pemisahan di dalam kelompok ilmu-ilmu sosial, antara ilmu hukum di satu pihak berhadapan dengan yang lain, adalah hakekat ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang normatif  hakekat normatif  dari ilmu hukum menyebabkan dengan mudah memisahkan diri dari pengelompokannya di dalam ilmu-ilmu sosial yang diketahui mempunyai hakekat diskriptif.[4]
Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaic sosial dan kemanusian. Melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan lagi dengan keadilan. Melalui Marx, Holmes, Rawls dan yang lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, muncul kehendak meninggalkan tradisi analitycal jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan (yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek), dirangkul kembali dalam pemikiran hukum. Di sinilah muncul gagasan Frei Rechtslehre, sociological jurisprudence, realistic jurisprudence, critical legal theory, hukum responsive, dan juga hukum progresif. Kiranya jelas, rechtsdogmatiek, yang masih dianut kuat dalam dunia hukum di Indonesia, merupakan salah satu tipe saja dari sekian ragam pemikiran tentang hukum sepanjang peradaban manusia.[5]
The Sociological Jurisprudence[6]. Pound bangkit untuk mengedepankan pendapat bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat. Bersetuju pada alur pemikiran seorang sosiolog Amerika bernama Edward Ross yang amat berpengaruh pada masa itu, Pound mengatakan bahwa pada hakikatnya hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif.[7] Berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, hukum akan dapat menjaga stabilitas dan keseimbangan-keseimbangan dalam masyarakat. Bukan proses terjadinya putusan-putusan hukum lewat deduksi yang dikatakan mekanika, menurut irasionalitas formal itu yang harus dipandang penting. Bagi Pound yang lebih penting untuk dicermati adalah hasil kerja hukum itu. Seberapa jauh putusan-putusan hukum berpengaruh positif pada kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dari argumen yang berkembang seperti inilah lahir pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of social engineering.[8] 
            Menurut catatan Nonet-Selzick, masa dua puluh tahun terakhir, merupakan masa bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaruan[9].
            Dalam konteks itulah, hukum responsife menurut Nonet-Selznick, merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang[10]. Jadi teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimiliknya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial[11]. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu[12].
            Dalam hubungan ini kita lalu teringat pada analisa Francois Geny (Freidmann, 1953;231), yang menguliti lembaga-lembaga hukum sehingga ditemukannya beberapa unsur yang membentuknya dan yang  disebutnya sebagai ‘donnes’, sebagai berikut :
1.      Le donne reel, bahwa hukum positif itu berdasar pada kenyataan psikologis dan fisis tertentu, seperti seks, iklim, tradisi, kebiasaan social rakyat dan sebagainya.
2.      Le donne historique, berupa semua kenyataan, tradisi keadaan lingkungan yang membentuk kenyataan-kenyataan fisis dan psikologis tersebut menurut cara tertentu.
3.      Le donne rationnel, yang terdiri dari azas-azas yang dialirkan dari penalaran akal (reasonable consideration) mengenai hubungan-hubungan di antara manusia.
4.      Le donne ideal, yang memberikan unsur dinamika berupa semangat moral tertentu yang sedang dominan dalam suatu tertentu.[13]
Apabila melalui teknik-teknik hukum tertentu para ahli sarjana hukum akan mengacu bahan atau kenyataan yang ada sehingga terbentuklah bangunan-bangunan hukum yang memenuhi kebutuhan kebutuhan sosial.[14]
Untuk sekedar melengkapi bukti keterikatan pekerjaan hukum pada kenyataan-kenyataan sosial kita masih dapat menambahkan apa yang dilakukan para hakim pada waktu harus membuat keputusan. Keputusan hakim dilihat dalam konteks ini akan menampakan diri sebagai pemberian suatu kerangka hukum terhadap kenyataan sosial yang dipermasalahkan. Di dalam amar putusan akan dijumpai pertimbangan mengenai faktanya untuk kemudian disusul dengan pertimbangan mengenai hukumnya.[15]
Apa yang telah dikemukakan diatas telah memberitahukan bahwa, hukum memang tidak tunggal. Hukum yang berhakikat multi dimensi dan logika itu, tidak bisa dikaji oleh satu disiplin ilmu, ilmu hukum membutuhkan pengkajian interdisipliner. Intinya sekarang ialah dapat disimpulkan, apapun pertimbangan dan analisa hukum, hukum yang bersifat formal dan di dalam konteksnya tidak bisa meninggalkan dari kenyataan yang ada didalam lingkungan sosial dan/atau lingkungan masyarakatnya.
B.     Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial.
Mengikuti tradisi reine Rechtslehre atau rechtgeleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya tidaklah terbilang ke dalam kerabat sains. Ilmu hukum di Indonesia tidaklah ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science. Sekalipun ilmu ini memang benar bekerja dengan berpangkal dari – serta berseluk-beluk dengan proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud dengan positive legal di sini bukanlah hasil observasi –observasi dan/atau pengukuran –pengukuran atas gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive judgement – baik in abstracto maupun in concreto – oleh otoritas-otoritas tertentu yang berkewenangan. (Kata “positif” di sini nyata kalau lebih dekat ke makna “non-moral” atau “netral” daripada ke makna “empiris” atau “sesuatu yang observable”).[16]
Pemanfaatan dari ilmu-ilmu sosial didalam studi hukum nampaknya tidak dapat dilakukan begitu saja sebelum kita siap untuk menerimanya. Apabila seperti di muka diuraikan, aliran berpikir yang kita ikuti adalah analitis-positivistis, maka ilmu-ilmu sosial tidak akan dimanfaatkan. Ilmu-ilmu sosial baru benar-benar dibutuhkan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat. Dalam hal yang disebut terakhir ini, maka minat kita terutama akan tertarik kepada 2 hal, yaitu :
1.      Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, yaitu hanya melihat kejadian itu sebagai suatu perjalanan penerapan atau penafsiran peraturan-peraturan hukum saja. Melainkan, ia kita lihat sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial di dalam hukum. maka yang tengah berlangsung disitu adalah juga suatu proses interchanges dari kekuatan-kekuatan sektor-sektor kehidupan di dalam masyarakat. Misalnya kita akan melihat pekerjaan pengadilan adalah salah satu matarantai saja dari suatu proses sosial yang lebih besar. Lembaga pengadilan tidak berdiri sendiri secara otonom dengan cara menetapkan menurut pendapatnya sendiri apa yang merupakan hukum, melainkan ia sesungguhnya melakukan sebagian saja dari suatu rangkaian proses yang panjang. Pengadilan itu sesungguhnya menerima input-nya dari bidang-bidang atau sektor kehidupan lain di dalam masyarakat, seperti politik, ekonomi dan sebagainya. Demikian pula maka output yang dihasilkannya harus memperoleh tempatnya di dalam masyarakat.
2.      Sehubungan dengan apa yang telah disinggung di atas, maka kita juga akan tertarik untuk melihat tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankannya disitu. Berbicara tentang masalah tempat hukum itu di dalam masyarakat akan mengurangi pendapat bahwa hukum itu otonom dan dapat dipelajari sebagai demikian. Pernyataan mengenai tempat hukum itu di dalam masyarakat akan membawa kita kepada orientasi kearah sistem sosial yang lebih besar, tempat hukum itu termasuk di dalamnya.[17]

Sepakat dengan apa yang telah diuraikan diatas, bahwa kita melihat hukum bukan saja dari penerapan suatu hukum yang otonom atau berdiri sendiri, tapi hukum juga perlu masukan dari ilmu-ilmu lainya seperti sosial, politik, ekonomi, psikologi, dan antropologi.
Untuk memahami lebih jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial atau perilaku interaktif antar warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai variasi paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang makro dan klasik sampai ke teori aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir. Adapun metode kajian/penelitian yang hendak dipakai tentu saja bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnya juga amat berpengaruh di dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.[18]
Ilmu pengetahuan yang di peroleh melalui ilmu-ilmu sosial akan membentuk suatu peraturan hukum yang di harap-harapkan oleh masyarakat, dan suatu peraturan tersebut dalam perkembangannya lebih baik dalam pembuatan peraturan hukum.
C.       Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian makalah ini ialah, bahwa ilmu hukum tidaklah mungkin dapat bisa berjalan dengan sendirinya untuk bisa bekerja dengan baik, tanpa bantuan dari atau pendekatan dari ilmu-ilmu sosial secara lengkap. Dan ilmu hukum mau tidak mau, siap atau tidak siap harus mengakui atau menerima ilmu-ilmu sosial lainnya untuk bersama-sama berinteraksi satu sama lainnya. Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang selalu cepat berubah mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, ilmu hukum harus bersifat terbuka untuk menerima ilmu-ilmu sosial lainnya dan tidak bersifat normatif.
Pertanyaan apakah di masa mendatang ilmu hukum akan berkembang menjadi ilmu/sains social, ataukah “hanya” berkembang sejauh capainnya sebagai sociological jurisprudence, haruslah dijawab oleh para yuris sendiri. Namun perlu dicatat dan diingatkan terlebih dahulu, bahwa yang dimaksudkan dengan “para yuris” disini bukanlah hanya mereka yang berkhidmat di kampus-kampus fakultas hukum dan di semua jurusannya yang klasik tapi juga mereka yang berkhidmat di profesi-profesi praktis, yang di dalam menghadapi masalah-masalah hukum tidak hanya harus mendayagunakan logikanya berpikir yang formal – deduktif. Menghadapi masalah-masalah hukum yang rill dan beraspek sosio – kultural, kemahiran metodelogis untuk melakukan observasi berikut analisis-analisisnya – entah yang kuantitatif entah pula kualitatif – materi pula benar-benar taat kepada silogisme induksi.[19]


[1]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Mitode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM & HUMA, Cetakan pertama November 2002, hal 113.
[2]. Ibid, hal. 114.
[3].  Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua
GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 10
[4]. ibid
[5]. Bernard L.Tanya Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Publising cetakan Ke III April 2010, hal 221
[6]. Sociological Jurisprudence dengan Roscoe Pound yang diakui banyak kalangan sebagai bapak pendirinya tumbuh-kembang pada dasawarsa awal abad 20. The Sociological Jurisprudence ini dirintis oleh Pound sebagai reaksi atas apa yang sejak tahun 1870-an diajarkan oleh C.Langdell dari Universitas Harvard. (baca; Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008)
[7]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008 mengutip dari Roscoe Pound, Social Control Through law (New York: Archon Books,1968), hal 41-49.
[8]. Ibid..
[9]. Philppe Nonet & Philip Selznick, Law and Society …. Seperti yang dikutip oleh Bernard L. Tanya dkk, Hal 211
[10]. ibid
[11]. ibid
[12]. ibid
[13]. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cetakan Kedua
GENTA PUBLISING, Maret 2010. Hal 12-13.
[14]. ibid
[15].ibid
[16]. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Konsep, dan Metode, Kumpulan bahan Kuliah Dalam Teori Hukum, pada program Pasca sarjana Ilmu Hukum UII,2008. Hal 57
[17]. Satjipto Rahardjo, Op cit Hal 18-19
[18]. Soetandyo Wignjosoebroto, Op cit  Hlm 62
[19]. Soetandyo Wignjosoebroto, Op cit hlm 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar